Setelah setahun memimpin, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama cukup banyak mengubah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Waduk-waduk yang telantar mulai dibenahi, pedagang kali lima ditertibkan, dan penduduk miskin bisa berobat gratis. Tapi duet ini membutuhkan waktu lebih lama untuk menata birokrasi pemerintah serta mengatasi kemacetan lalu lintas dan kesemrawutan permukiman.
Upaya merelokasi penduduk dari bantaran sungai dan waduk ke rumah susun patut diapresiasi. Program seperti ini biasanya dihindari pemerintah lantaran tak gampang. Pejabat mesti berhadapan dengan protes penduduk dan harus memberi solusi bagi mereka. Di beberapa lokasi, seperti Waduk Pluit, Gubernur Joko Widodo alias Jokowi cukup berhasil menaklukkan penduduk. Tapi masih banyak tempat serupa yang perlu ditata.
Begitu pula penertiban pedagang kali lima. Keberhasilan membenahi kawasan Tanah Abang masih harus dibuktikan oleh waktu. Jangan sampai para pedagang kembali membuka lapak di jalan sehingga menimbulkan kemacetan. Penertiban seperti ini harus dilakukan pula di kawasan lain, seperti Pasar Minggu, Jatinegara, Pasar Palmerah, dan kawasan Pasar Gembrong.
Ikhtiar Jokowi mengubah budaya birokrasi DKI tak kalah sulit. Ia telah menggelar lelang jabatan lurah dan camat. Tapi perubahan tak segera bisa dilihat. Pelayanan terhadap masyarakat, seperti pengurusan kartu tanda penduduk dan berbagai perizinan, belum secepat yang diharapkan. Jangan heran bila Jokowi marah saat berkunjung ke Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Wali Kota Jakarta Timur, Jumat pekan lalu. Pelayanan masih lamban. Sebagian masyarakat juga masih mengeluhkan adanya pungutan liar.
Program utama yang lain, misalnya mencegah banjir, masih harus dibuktikan efektivitasnya pada musim hujan nanti. Sebagian drainase, kali penghubung, dan waduk sudah dibersihkan. Tapi pekerjaan ini belum tuntas. Dari 40 waduk di Jakarta yang kondisinya memprihatinkan, baru empat yang dinormalisasi, yaitu Pluit, Ria Rio, Tomang Barat, dan Pondok Labu.
Begitu pula upaya mengatasi kemacetan lalu lintas. Hingga kini masyarakat masih menanti gebrakan Jokowi-Basuki. Benar, proyek mass rapid transit dan monorel telah dimulai. Tapi semua ini merupakan proyek jangka panjang yang untuk sementara waktu justru mengundang kemacetan. Pengadaan 3.000 bus berukuran sedang dan 1.000 bus Transjakarta merupakan solusi jangka pendek. Hanya, diperkirakan proyek ini baru terealisasi pada akhir 2014.
Diharapkan pemerintah DKI segera memberlakukan kebijakan electronic road pricing. Langkah ini bisa mengurangi kemacetan. Peraturan pemerintah mengenai hal ini sudah ada, tapi masih diperlukan peraturan daerah dan infrastruktur. Jokowi berharap kebijakan tersebut bisa diterapkan pada awal tahun depan.
Harus diakui, banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Jokowi-Basuki. Tapi, dalam setahun, setidaknya dua pemimpin ini telah memperlihatkan upaya yang sungguh-sungguh untuk membenahi Jakarta.