Kesungguhan Kejaksaan Agung memerangi korupsi pantas dipertanyakan. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi pekan ini merilis data yang menyebutkan ada 36 kasus korupsi yang tidak dieksekusi. Padahal kasus-kasus yang melibatkan 40 terpidana itu sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) selama kurun 2004-2012.
Pada 25 kasus, terpidananya buron. Selebihnya, 4 kasus karena terpidananya sakit, 1 kasus ada peninjauan kembali, dan 6 lagi tidak jelas. Yang buron sebetulnya sudah dimasukkan ke daftar pencarian orang (DPO). Namun upaya pengejaran mereka tampaknya tak sungguh-sungguh, sehingga para terdakwa ini masih melenggang bebas.
Ketidaksungguhan ini, misalnya, bisa dilihat dalam kasus cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko S. Tjandra. Meskipun dinyatakan buron, bisnis Djoko Tjandra masih jalan terus, salah satunya Hotel Mulia di Bali. Pihak kejaksaan memang sudah menyatakan bahwa kepemilikan atas hotel itu sudah dipindahtangankan, tapi banyak kalangan yakin Djoko masih menguasainya.
Ini bukan pertama kalinya kalangan pegiat antikorupsi mempertanyakan langkah Kejaksaan Agung yang ogah-ogahan melakukan eksekusi terhadap para terpidana kasus korupsi. Mei lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan ada 57 terpidana korupsi yang belum dimasukkan ke bui.
Pada saat itu, Wakil Jaksa Agung Darmono berjanji akan menelisik informasi tersebut dalam waktu sebulan. Nyatanya, sudah lima bulan berlalu, orang nomor dua di Kejaksaan Agung itu pensiun, tapi kasusnya menguap begitu saja bagai asap tertiup angin. Jumlah terpidana yang belum dieksekusi memang berkurang, tapi penurunannya tidak signifikan.
Kejaksaan juga sering berdalih bahwa mereka tidak bisa segera melakukan eksekusi karena salinan putusan belum diterima para pihak yang terlibat. Kejaksaan mendasarkan pendapatnya pada Pasal 270 UU KUHAP yang menyatakan bahwa eksekusi dilaksanakan Kejaksaan setelah panitera menyerahkan salinan putusan Mahkamah Agung kepada mereka.
Pada saat menunggu inilah, kejaksaan sering melepas terpidana karena masa penahanan sudah habis demi hukum. Situasi itu kemudian dimanfaatkan para terpidana untuk melarikan diri. Salah satunya Bupati Lampung Timur Satono. Ia kabur meskipun dinyatakan bersalah karena kasus korupsi APBD dan merugikan negara sebesar Rp 119 miliar. Kejaksaan hanya bisa memasukkan namanya ke DPO.
Hal semacam ini semestinya tak perlu terjadi jika Kejaksaan menuruti pendapat Mahkamah Agung bahwa petikan putusan sudah cukup untuk melakukan eksekusi. Sebab, petikan itu berisi amar yang diputuskan majelis hakim. Sungguh aneh jika kejaksaan tetap ngotot dengan argumentasi di atas, sedangkan MA sudah menyatakan tak ada masalah dengan petikan putusan.
Komisi Kejaksaan selayaknya segera menelisik kasus ini. Komisi memiliki kewenangan tersebut, juga dalam menyusun rekomendasi yang ditujukan kepada Presiden. Adapun Presiden sudah sepatutnya menegur Jaksa Agung atas kelambanan dalam melaksanakan kewajibannya. Sesuai dengan janjinya pada awal menjabat, Presiden akan berdiri paling depan dalam perang melawan korupsi.