Manipulasi opini publik lewat survei politik semakin menunjukkan gejala tidak sehat. Kian mendekati pelaksanaan pemilu, kian banyak lembaga survei yang memakai trik curang dalam mempengaruhi khalayak untuk memilih kandidat tertentu. Lembaga survei itu "berselingkuh" dengan media milik sang kandidat untuk mengatrol popularitas. Praktek tersebut sungguh menodai demokrasi. Mereka membohongi masyarakat, terutama kelompok awam yang tak bisa membedakan mana lembaga polling kredibel dan mana yang tidak.
Mendekati Pemilihan Umum 2014, cara-cara licik itu marak lagi. Banyak politikus membeli popularitas lewat survei. Akibatnya, kini bertaburan survei politik dengan kualitas ala kadarnya. Survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia baru-baru ini merupakan contoh. Survei ini, secara aneh, menobatkan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden terpopuler kedua setelah Megawati Soekarnoputri. Menurut lembaga yang dikomandani oleh Denny J.A. itu, Aburizal mengantongi dukungan 28,6 persen dari total responden.
Hasil survei tersebut mengundang pertanyaan. Soalnya, enam lembaga survei lainnya-seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, dan Indobarometer-menempatkan Joko Widodo sebagai kandidat terpopuler, disusul Prabowo Subianto. Menurut survei-survei itu, justru popularitas Aburizal berada di urutan buncit.
Tak peduli pada keanehannya, hasil survei ini malah digunakan sebagai bahan kampanye besar-besaran lewat stasiun-stasiun televisi dan portal berita milik sang kandidat. Tak mengherankan, ada kesan media-media itu diorkestrasikan untuk menunjukkan dukungannya terhadap sang calon presiden.
Media-media itu seperti menutupi data bahwa, dalam survei, Aburizal menjadi terpopuler lantaran nama Jokowi dan Prabowo tak dimasukkan ke daftar pertanyaan. Dalih LSI, "Jokowi dan Prabowo hanya presiden wacana." Kedua orang itu dianggap belum mencalonkan diri atau memenuhi persyaratan untuk maju menjadi kandidat presiden.
"Selingkuh" antara lembaga survei dan media serta kandidat juga terlihat dalam survei-survei lain. Survei yang dilakukan Lembaga Pemilih Indonesia merupakan salah satu contoh. LPI menjadikan Hary Tanoesoedibjo sebagai calon presiden paling berkualitas setelah Megawati. Hasil survei mencengangkan ini menjadi isu utama di stasiun-stasiun televisi, koran, dan situs online milik Hary.
Komisi Penyiaran dan Dewan Pers seharusnya tak membiarkan persekongkolan seperti ini terus berlangsung. Apalagi bila stasiun televisi mereka menggunakan frekuensi milik publik, yang semestinya tidak digunakan untuk kepentingan sendiri.
Lembaga-lembaga survei yang kredibel semestinya juga tak boleh hanya berdiam diri. Bila praktek kotor seperti itu terus dibiarkan, kepercayaan publik kepada lembaga survei bakal rontok. Mereka juga yang menanggung rugi. Untuk mencegah kerusakan yang lebih besar, seharusnya lembaga-lembaga survei tersebut membentuk asosiasi atau semacam dewan pengawas yang mengawasi kode etik. Bila ada lembaga survei yang nakal, yang menerapkan metode sembarangan, organisasi inilah yang menyemprit dan menjatuhkan sanksi. Mereka pula yang akan meneliti validitas survei-survei yang ada. Hanya dengan cara itulah survei-survei politik bisa dipercaya dan menyumbang kebaikan bagi demokrasi. (*)