TIAP zaman punya pertanyaan pokoknya sendiri. Pertanyaan pokok zaman menjelang akhir 1977 barangkali adalah: samakah pengakuan hak-hak asasi manusia dengan Coca Cola? Samakah? Jawabannya tergantung dari banyak faktor. Tapi mungkin orang Indonesia akan menyahut sesuai dengan letak duduknya, nasib mulutnya atau kecenderungan Orde-nya. Lama atau baru, Silakan pilih A. Pengakuan akan hak-hak asasi manusia adalah sama dengan Coca Cola. Keduanya produk Amerika. Keduanya menyatalkan diri bisa "di mana saja, kapan saja." Keduanya mau diekspor ke tanah lain. Keduanya termasuk "imperialisme kebudayaan asing," yang mau merembes masuk ke negeri kita. Keduanya patut ditolak. B. Pengakuan hak-hak asasi manusia harus dibedakan dari Coca Cola. Sebab Coca Cola itu minuman orang-orang berjiwa internasional, boleh disenangi orang banyak -- tentunya kalau punya uang -- dan karena itu modalnya layak ditampung di sini tanpa banyak reserve. Sementara itu pengakuan hak-hak asasi manusia harus dilihat-lihat dulu, atau lebih baik ditolak saja, karena mungkin tidak cocok untuk kebudayaan dan kerongkongan kita. Mungkin kita memang berbeda dengan orang India. Setidaknya dengan para pemimpin India kini. Di bawah Perdana Menteri Desai yang sangat sederhana hidupnya, yang meminum air kencingnya sendiri sebagai obat, India menuntut syarat berat dari Coca Cola. Perusahaan minuman itu pun memutuskan untuk lebih baik tak menanam modal di situ. Sementara itu di bawah Desai pula, pengakuan hak-hak asasi manusia dipulihkan -- mungkin karena itulah yang lebih dibutuhkan sebagai "the Real Thing"..... PENGAKUAN akan hak-hak asasi manusia sebetulnya memang tak bisa karena didesakkan. Presiden Amerika Jimmy Carter mungkin berniat baik -- ia seorang yang taat beragama -- tapi Amerika Serikat biasa dikenal sebagai kekuatan besar. Kekuatan besar tak mudah untuk dipercaya sebagai, sekaligus, kekuatan moral. Ia selalu terasa mendesak. Mungkin itu juga sebabnya Peter L, Berger bertanya rialam majalah Commentary nomor September 1977: "Universilkah Hak-hak Asasi Manusia?" Berger, seorang sosiolog, mencoba meyakinkan. Baginya, pelanggaran hak asasi manusia yang paling kasar -- pembunuhan massal, oleh pemerintah sendiri atau penakluk, penyiksaan dalam tahanan, penyingkiran penduduk dari tempat tinggal dan keluarga dan lain-lain -- bisa dihukum dengan mengingatkan orang pada "konsensus yang lebih luas ketimbang yang ada pada peradaban Barat." Konsensus itu menurut Berger, lahir dari semua kebudayaan besar di dunia, "terutama dalam dasar-dasar agamanya." Yang menyedihkan ialah bahwa tak selamanya terbukti dasar agama bisa mengerakkan hati orang untuk tidak menyiksa, tidak menahan orang yang belum tentu bersalah selama 10 tahun, tidak membungkem suara yang pantas mengeluh. Prinsip inii mulia ternyata tiba-tiba bisa menghilang begitu pintu tahanan ditutupkan dan kenikmatan menindas orang lain menggejolak. Bahkan prinsip itu sering membikin kita merasa paling benar dan paling suci -- dan seperti mendapatkan lisen si untuk melikwidir pendapat dan kehadiran orang lain. Maka mungkin yang dibutuhkan ialah suatu sejarah. Yang dibutuhkan agar kita bisa mengakui dengan teguh hak-hak asasi manusia mungkin ialah pengalaman, tentang kapasitas manusia untuk berbuat tak adil sewenang-wenang. Terutama bila kita berada dalam todongan ketakutan, sendiri.
Berita terkait
Puluhan Anggota Gangster Hendak Tawuran Diciduk di 3 Lokasi di Semarang, Sebagian Besar Masih di Bawah Umur
6 menit lalu
Puluhan Anggota Gangster Hendak Tawuran Diciduk di 3 Lokasi di Semarang, Sebagian Besar Masih di Bawah Umur
Pada saat penangkapan anggota gangster yang hendak tawuran itu, tiga orang melarikan diri dengan cara menceburkan diri ke sungai.
Profil dan Kontroversi Tien Soeharto: Kisah Perjalanan Seorang Ibu Negara
4 jam lalu
Profil dan Kontroversi Tien Soeharto: Kisah Perjalanan Seorang Ibu Negara
Tien Soeharto memiliki profil yang kompleks, seorang ibu negara yang peduli hingga terlibat dalam berbagai kontroversi yang mengiringi masa pemerintahan suaminya.