Taliban

Penulis

Senin, 11 Februari 2002 00:00 WIB

TALIBAN tak sepatutnya dikecam sendirian. Ketika di kantor-kantor Afganistan perempuan dilarang bekerja, ketika pemerintahan Mullah Umar menutup sekolah bagi gadis-gadis, yang terjadi sebenarnya adalah perpanjangan sejarah misogynydan kita bisa tercengang: ternyata kebencian kepada wanita punya riwayat yang begitu panjang. Dalam teks dan kealiman Yahudi. Dalam pengalaman Kristen. Dalam kehidupan Muslim. Di zaman Yunani, di masa Romawi, di kancah orang Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu, di pelbagai adat istiadat dari Kutub Utara sampai dengan New Guinea, tampaknya wacana yang berlaku adalah, untuk memakai kata-kata Hamlet di pentas Shakespeare, "Kelemahan, namamu adalah perempuan!" Kini kita mampu untuk bertanya: kenapa ketidakadilan yang merendahkan perempuan itu diteruskan, dan tak jarang dikukuhkan, oleh agama-agama? Sejauh mana Tuhan, sebagai sumber keadilan, bekerja, dengan kalam dan sabda, di sebuah dunia yang tak adil? Ketika pekan lalu saya mendengarkan ceramah yang memikat yang diberikan di Teater Utan Kayu oleh Dr. Nasaruddin Umar, guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah, tentang "bias gender dalam penafsiran Al-Quran," saya kira-kira mendapatkan secercah jawab: Tuhan, diwakili oleh sehimpun sabda, adalah selamanya Tuhan-dalam-bahasa. Sebab itu, kalam-Nya bukan sebuah inspirasi yang utuh sebagai wahyu asal. "Ketika wahyu Al-Quran turun dengan menggunakan bahasa Arab, sudah barang tentu timbul persoalan yang perlu dicermati secara kritis," kata Nasaruddin Umar. Al-Quran, sebagaimana kita kenal sekarangsebuah ilham agung yang diungkapkan dalam kata-kata manusiamengalami serangkaian transformasi: ia adalah kalm al-+ti yang masuk menjelma kalm al-lafz, dan akhirnya "turun" ke dunia bahasa di muka bumi. Tiap rangkaian transformasi, kata Nasaruddin Umar, selalu bertemu dengan reduksi arti atau distorsi makna. Bahasa manusia bagaimanapun punya batas dan coraknya sendiri. Bila bahasa itu, sebagai bagian dari kebudayaan, mengunggulkan laki-laki di atas perempuanseperti tampak dalam struktur dan kosakata bahasa Arab dan bahasa Ibranipesan yang disampaikan tak akan bisa bersih dari ketimpangan itu. Atau, seperti tampak dalam Al-Quran, wahyu itu bekerja dalam sebuah paradoks: ada "semangat" membebaskan wanita dari ketidakadilan, namun sekaligus "semangat" itu menemukan tubuhnya dalam sebuah tutur yang, untuk mengutip Nasaruddin Umar, "memojokkan kaum perempuan." Bahasa memang bukan sebuah lorong bersih, bukan sebuah garis lurus yang bisa sepenuhnya dikuasai si pengguna. Bahasa adalah sebuah rimba yang menakjubkan, tapi di dalamnya terdapat untaian akar mimang yang sering membuat pengertian sesat. Di sana juga tersembunyi jurang yang membentangkan jarak. Maurice Blanchot bahkan berbicara tentang l'entretien infini, "percakapan yang tak terlarai": percakapan sebagai entretien, yang "tergantung di antara [se tient entre] dua titik yang tak membentuk sebuah sistem, sebuah kosmos, sebuah totalitas." Dalam pandangan ini, percakapan antara A dan B tak akan melebur B ke dalam A, dan begitu juga sebaliknya. Entre itu ibarat sebuah lurah yang dalam, sebuah "jarak yang tak bisa direduksi." Percakapan itu bukan dialog yang menuju ke arah sebuah simetri. A dan B masing-masing menemukan yang lain dalam keutuhannya, dalam "keasingannya". Apalagi sebuah percakapan yang dahsyat: antara Tuhan (wujud yang secara absolut "lain" itu) dan manusia. Sebab itulah "percakapan yang tak terlarai" tumbuh. Tafsir tak akan berakhir. Sebagaimana dikatakan Nasaruddin Umar, "yang paling mengerti arti sebuah teks Al-Quran tentu hanya Allah." Kini, ketika tak seorang pun bisa meminta penjelasan langsung kepada-Nya, bahkan para aulia ulung tak bisa menyatakan diri sebagai pemberi kata pamungkas. Suara yang berbeda tak terkuburkan. Apalagi untuk sebuah bahasa seperti yang dipakai dalam Al-Quran: di sini, "sejumlah ayat," kata Nasaruddin Umar, "dimungkinkan untuk ditulis dan dibaca lebih dari satu macam." Tapi keadaan "lebih dari satu macam" itu memang menimbulkan problem. Tuhan-dalam-bahasa juga berarti Tuhan-dalam-sejarah. Mau tak mau ada ketegangan ketika Yang Tunggal dan Mutlak terkait dengan dunia, dengan realitas yang "lebih dari satu macam" dan berubah-ubah. Tak ayal, ada selalu rasa cemas yang ingin meneguhkan yang tunggal-dan-mutlak, tapi pada saat yang sama ada keniscayaan hidup yang nisbi, beragam, dan terbatas. Bagaimana memecahkan ketegangan itu? Akhirnya, seperti tercatat dalam tarikh, agama-agama pun mempersatukan tafsir tentang Tuhan, dengan satu pusat "kebenaran" yang satu, dengan sebuah cara: kekuasaan, bahkan kekerasan. Kelompok pendukung tafsir yang lain pun dijadikan "kafir", bisu, tenggelam. Dalam persaingan yang praktis tanpa wasit ini, bagaimanakah mereka yang hadir dengan kekuasaan yang lemah, misalnya perempuan, terlindungi? Dulu, manusia mencoba mencari satu bentuk perwasitan dengan merekam sabda Tuhan di dalam satu dokumen, sebagai pelindung dari penjajahan tafsir yang semena-mena. Maka sabda pun jadi kitab, dan kitab jadi sumber wewenang. Tapi bukannya tanpa risiko. Justru ketika dia dinobatkan jadi wewenang kukuh yang lurus selurus Yang Mahabenar, sang kitab berhenti menggugah hati. Di saat itu manusia pun kehilangan "percakapan yang tak terlarai." Goenawan Mohamad

Berita terkait

Ternyata Bukan Bachrumsyah yang Tewas Bom Bunuh Diri di Suriah

15 Maret 2017

Ternyata Bukan Bachrumsyah yang Tewas Bom Bunuh Diri di Suriah

Siapakah yang meninggal dalam bom bunuh diri di Palmyra, Suriah, jika bukan Bachrumsyah.

Baca Selengkapnya

Bekas Kombatan Afghanistan Ragukan Kematian Abu Jandal

9 November 2016

Bekas Kombatan Afghanistan Ragukan Kematian Abu Jandal

Bekas kombatan Afghanistan dan Moro Ali Fauzi, 46 tahun, meragukan kematian milisi ISIS asal Pasuruan, Jawa Timur, Abu Jandal.

Baca Selengkapnya

Antisipasi Kepulangan Hambali, BNPT Siapkan Task Force  

28 Oktober 2016

Antisipasi Kepulangan Hambali, BNPT Siapkan Task Force  

BNPT akan berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Luar Negeri, guna mempelajari berbagai kemungkinan yang terjadi.

Baca Selengkapnya

AS Tolak Pulangkan Hambali, Kemlu: Masih Terus Komunikasi

27 Oktober 2016

AS Tolak Pulangkan Hambali, Kemlu: Masih Terus Komunikasi

Pemerintah AS kabarnya menolak permohonan pembebasan Hambali.

Baca Selengkapnya

Kelompok Militan Serang Akademi Kepolisian Pakistan  

25 Oktober 2016

Kelompok Militan Serang Akademi Kepolisian Pakistan  

Operasi keamanan besar tengah berlangsung untuk mengamankan akademi kepolisian di Pakistan yang diserbu milisi bersenjata.

Baca Selengkapnya

Hambali Muncul Setelah 10 Tahun Mendekam di Guantanamo  

21 Agustus 2016

Hambali Muncul Setelah 10 Tahun Mendekam di Guantanamo  

Hambali alias Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin muncul pertama kali dalam persidangan setelah hampir sepuluh tahun mendekam di Guantanamo.

Baca Selengkapnya

Ali Azhari, Terpidana Teroris Bebas di Hari Lebaran

7 Juli 2016

Ali Azhari, Terpidana Teroris Bebas di Hari Lebaran

Ali Azhari atau Jakfar dijemput keluarganya di Cilacap.

Baca Selengkapnya

Keluarga Masih Ragukan Penyebab Kematian Siyono

21 Maret 2016

Keluarga Masih Ragukan Penyebab Kematian Siyono

Tim investigasi Komnas HAM masih bekerja mengungkap kematian Siyono.

Baca Selengkapnya

Rilis Video, ISIS Tunjukkan Kuasai Libya?  

22 Desember 2015

Rilis Video, ISIS Tunjukkan Kuasai Libya?  

Video itu menunjukkan ISIS mencoba mengisi kekosongan kekuasaan di negara tersebut.

Baca Selengkapnya

Eks Kombatan Afghanistan: Pemerintah Abaikan Anak Teroris

25 Oktober 2015

Eks Kombatan Afghanistan: Pemerintah Abaikan Anak Teroris

Akibat kurang perhatiannya pemerintah, anak-anak dari orang yang dituding sebagai teroris cenderung meneruskan perjuangan orang tuanya.

Baca Selengkapnya