Siapa yang pernah sendiri akan tahu bahwa ia tak pernah sendiri. Bahkan sebuah bilik adalah sebuah dunia: selalu ada lumut yang tumbuh dan genting yang bercelah. Waktu, yang mengubah sejarah di jalan-jalan raya, selalu menyeruak ke dalam. Seperti di paruh kedua tahun 1940-an, di Jakarta, ketika sejarah guncang dan getarnya terasa bahkan di ruang privat yang terpisah: di hari itu sebuah negeri nyaris dibatalkan. Hanya tiga tahun setelah Indonesia berdiri, satu pasukan besar datang dari Nederland. Bekas koloni ini pun sekali lagi diambil alih, dan yang mendukung republik baru harus disingkirkan. Di kota itu seorang penyair pernah memimpikan hidup seperti pelaut yang melupakan daratan, tapi di hari itu ia tahu ia tak bisa?. Rivai Apin menggambarkan keadaan itu dalam
Dari Dua Dunia Yang Belum Sudah, sebuah sajak panjang yang mencekam. Ia, yang hidup di Jakarta, di hari itu menyaksikan jam-jam pertama kota itu diduduki Belanda. Orang tetap berangkat kerja, tapi ketakutan. Truk, penuh dengan serdadu musuh, berkeliling. Tank mereka bersiap, gagah dan garang. Suasana beku, meskipun manusia, benda dan udara toh masih ?memperlihatkan harga?. Orang-orang berbisik bahwa di Yogya, ibu kota Republik waktu itu, Bung Karno, Hatta, dan Syahrir tertangkap. Republik di ambang hilang. Tapi menarik, bahwa dalam keadaan itu, ada sesuatu yang menyatukan orang banyak: ?Semua dari satu kata dan untuk satu kata.? Satu kata itu mungkin ?kemerdekaan?, mungkin juga ?Indonesia?. Tapi sejauh mana sebenarnya ?satu kata? itu diterima sebagai bagian dari dunia si penyair? Ketika ia pulang, ia resah:
Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus aku sudahkan? Di ruangnya sendiri itu, ia tahu ia belum juga bisa bereskan ?keakuan? itu. Sesuatu belum selesai (?belum sudah?) dalam dirinya. Tapi di malam hari ia dengar teror berjalan. Sepatu lares berderap dalam gelap. Ada suara perempuan yang menangis. Mungkin suara seorang istri, mungkin seorang ibu: suami atau anak mereka malam itu ?dibawa? oleh pasukan musuh. Dan penyair itu merasa tak berdaya:
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar pula ke dalam dunia yang belum sudah Rivai tak menyebut apa itu ?kata yang belum punya bumi?, tapi kita tahu: ?Indonesia?, ?republik?, ?kemerdekaan?. Hanya anehnya hari itu, di tengah kesewenang-wenangan pasukan yang menduduki kota itu, kata yang belum mantap berakar itu justru ?mengejar? ke biliknya, ke dunianya: ?republik??dengan tekanan pada ?publik?, betapapun tak jelasnya akar dan batas kata itu?masuk ke sepetak dunia privat. Rivai Apin pernah menulis sebuah sajak yang menyatakan hasratnya untuk ke laut yang dahsyat. ?Aku ingin taufan gila,? tulisnya. Ia ingin berada di sebuah kapal dengan angin sebagai ?teman dan lawan? sekaligus. Ia tinggalkan sebuah lingkungan yang baginya hanya seperti ?batu semua?: sebuah komunitas kebekuan yang mengepung, dungu, membatasi. Ia ingin seperti seorang Sinbad yang gagah berdiri di bawah tiang agung, sebuah subyek yang mandiri, sebuah gumpalan kesadaran yang liat di tengah badai yang hiruk. Tapi di hari itu, di Jakarta, ia tahu ia bukan Sinbad. Ia seorang anggota sebuah kota yang ketakutan; ia sebuah dunia yang ?belum sudah?. Berada di antara ?buku yang terbuka, yang belum dibaca? dan ?buku yang harus aku sudahkan?, ia tak utuh tertutup, tak utuh. Ia risau. Tapi seharusnya ia tak perlu punya ilusi: kini kita tahu bahwa siapa pun adalah sebuah subyek yang buncah. Sebab kini, setelah Freud dan Marx, kita tahu subyek adalah sesuatu yang meleleh, kesadaran yang dirundung bawah sadar, diri yang terasing dari dirinya sendiri karena kerja yang dipaksakan modal dan masyarakat. Kemudian, soalnya: sebagai subyek yang tak pernah ?sudah?, akan lebih jadi manusiakah manusia, bila ia masuk ke dalam sebuah kebersamaan?seperti yang di hari itu terasa di seantero Jakarta?di mana ?semua dari satu kata dan untuk satu kata?? Sebuah dunia publik, di mana ?semua [datang] dari satu kata dan [pergi] untuk satu kata?, bisa menggoda kita?sebuah godaan politik totaliter. Sajak
Dari Dua Dunia belum terperangkap ke sana. Teks itu sebuah saksi bahwa di saat itu dunia publik yang ada belum selesai dirumuskan, ?belum sudah?, bahkan nyaris gagal, meskipun sudah bernama: sebuah kebersamaan yang belum jadi batu, sebuah pengertian yang ?belum punya bumi?, sebuah komunitas yang tak berfondasi. Bertahun-tahun kemudian Indonesia berusaha punya jangkar di satu fondasi, tempat menambatkan kebersamaan. Kini hasrat itu jadi problematis. Di tahun 2001 Indonesia tetap sebuah ?dunia yang belum sudah?. Tapi bukankah itu yang justru perlu dicita-citakan: sebuah komunitas yang selalu dalam proses, dalam laku? Politik seharusnya adalah hidup dalam sebuah komunitas yang
des?vree?seperti konon dilukiskan pemikir Prancis Jean-Luc Nancy: sebuah kebersamaan yang menampik bila upaya menciptakan diri sebagai komunitas itu menjadi sebuah pekerjaan. Sebab mungkin itulah demokrasi: sesuatu yang selamanya dicari bersama, dengan sedikit pedoman dan ikatan?dengan kata yang senantiasa ?belum punya bumi?.
Goenawan Mohamad