Rasa keadilan akhirnya terpenuhi dari keputusan majelis kasasi Mahkamah Agung yang memperberat vonis bagi Angelina Sondakh alias Angie. Putusan itu tidak hanya memperberat hukuman penjara, tapi juga menambah hukuman berupa keharusan membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan US$ 2,35 juta (sekitar Rp 27,4 miliar). Besaran ini sesuai dengan nilai dugaan suap yang diterima bekas anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Kita masih ingat betapa ringannya vonis majelis hakim yang diketuai hakim Sudjatmiko di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 10 Januari 2013 lalu. Angie, terdakwa kasus korupsi anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga, dinyatakan terbukti menerima gratifikasi.
Anehnya, meski Angie terbukti menerima uang, majelis tidak memerintahkan dia mengembalikan uang itu kepada negara. Vonis hukuman penjara bagi bekas model ini pun sangat ringan. Dia hanya dihukum kurungan empat setengah tahun, tidak sampai dua pertiga dari tuntutan jaksa yang 12 tahun.
Soal tidak adanya hukuman tambahan itu, hakim, termasuk di tingkat banding, berdalih uang yang diterima Angie bukan milik negara, melainkan dari swasta. Uang itu berasal dari Grup Permai milik M. Nazaruddin, bekas Bendahara Partai Demokrat. Inilah yang dikoreksi di tingkat kasasi. Ketua Majelis Kasasi Artidjo Alkostar dan hakim anggota M.S. Lumme serta Mohammad Askin mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Oleh hakim, Angie dinilai berperan aktif, bukannya pasif, dalam menggiring pencairan anggaran untuk Kementerian Pendidikan Nasional. Angie, misalnya, diketahui meminta imbalan sebesar 7 persen atas perannya. Dia juga menentukan kapan imbalan itu harus diterima, yakni separuh saat pembahasan anggaran dan sisanya ketika Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran turun. Angie pulalah yang mempertemukan pihak-pihak berkepentingan (perusahaan dan Kementerian Pendidikan Nasional) sehingga anggaran mengalir lancar.
Dari sejumlah fakta itulah, majelis kasasi memutuskan Angie melanggar Pasal 12(a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Artinya, Angie bukan melanggar Pasal 11 seperti yang menjadi rujukan vonis Pengadilan Tipikor dan tingkat banding sebelumnya. Pasal 12(a) menyebutkan pegawai negeri atau pejabat negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga pemberian itu untuk menggerakkannya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau kurungan setidaknya 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Pertimbangan hakim kasasi sangat tepat. Sudah terlalu banyak koruptor dihukum ringan. Putusan ini semestinya menjadi yurisprudensi bagi penanganan kasus-kasus korupsi yang lain. Jangan sampai ada lagi koruptor yang dihukum rendah padahal jelas-jelas kejahatannya merugikan keuangan negara yang artinya uang kita semua. Kalau memang hukuman ini bertujuan memberi efek jera kepada pelaku korupsi dan mencegah calon-calon koruptor menunaikan niat jahatnya, vonis hukuman maksimal sangatlah setimpal dengan perbuatannya.