SEBUAH republik lahir dengan harapan yang bagus, tapi kita sering lupa bahwa ada hubungan yang lama antara dirinya dan kekerasan. Republik Indonesia, India, Cina, Aljazairuntuk menyebut beberapa sajamenumpahkan darah pada abad ke-20 sebagaimana Republik Prancis pada abad ke-18. "Republik," kata Saint-Just, teoretikus Revolusi Prancis itu, "terdiri dari pembasmian atas setiap hal yang menentangnya." "Republik" di situ berarti sebuah negara-bangsa yang mendesakkan dirinya ke dalam sejarah. Di bawah fanatisme kaum Jakobin ia menjadi Teror: bersikeras, gigih, karena baginya, seia-sekata dalam "dunia baru" adalah sebuah keniscayaan. Demikianlah 209 tahun yang lalu, pasukan revolusioner dari Pusat datang menghancurkan Lyons. Kota ini berdosa karena mendukung gagasan federalisme, yang bagi kaum Jakobin sama artinya dengan menolak derap serempak ke masa depan. Marseille dijuluki "Kota-Tanpa-Nama", seolah-olah tak perlu ada dalam peta, karena penduduknya dianggap hanya setia kepada daerah sendiri, seakan-akan Prancis bukan apa-apa. Dan tentu saja Vendee. Pada tahun 1793, wilayah ini pernah berontak dan berhasil mengalahkan kaum revolusioner. Para petani, dengan dukungan para padri, mengembalikan apa yang oleh Revolusi dianggap kuno dan lintah darat, dan sebab itu harus dijebol: kekuasaan Gereja. Bagi para petani Vendee, Revolusi dan Repubik yang sekuler telah mencopot tradisi Katolik dari hidup mereka. Maka mereka bangkitdan menuliskan sebuah versi kebalikan dari lagu revolusioner Marseillaise:
"Allons armies catholiques, le jour de gloire est arrive." Tapi, di pertengahan April 1794, "tentara Katolik" itu dihabisi. Hari kejayaan,
le jour de gloire, lenyap. Sebanyak kurang-lebih seperempat juta orang tewas di wilayah itu dan sekitarnya; dengan kata lain, hampir sepertiga jumlah penduduk. Tentara Republik memang kepanjangan tangan sang Teror. Hasil panen dibakar, prasarana dihancurkan, para perempuan diperkosa. Pada suatu hari di bulan Januari yang dingin, 200 penduduk diperintah untuk berlutut dekat lubang besar yang telah mereka gali. Semuanya ditembak. Yang luput dihantam martil. Ada 30 anak dan dua wanita yang masih hidup. Tapi mereka terkubur ketika lubang itu diuruk tanah kembali. Vendee pun menjadi Venge ("dibalas"). Dan Prancis pun tegak, megah, makmur. Sejarah dan perang besar memang mengguncangnya berkali-kali, Revolusi telah dikhianati, tapi Republik tak perlu lagi membantai. Di Vendee sebuah masa lalu yang telah dihancurkan tetap punah, lewat. Syahdan, dua ratus tahun kemudian, September 1993, di dusun Lucs-sur-Boulogne, hadir Alexander Solzhenitsyn. Penulis besar Rus yang bertahun-tahun hidup dalam kamp tahanan politik Stalin itu ke sana buat memberikan penghormatan kepada para korban Revolusi Prancis. Ia mendampingi Philippe de Villiers, tokoh sayap kanan yang ingin menghidupkan kembali "identitas Vendee", dengan segala tradisinya. Di dusun Prancis itu Solzhenitsyn menyambut masa silam. Masa silam baginya penting, ingatan itu esensial. Revolusi cuma memaksakan lupa. Semua "revolusi," demikianlah ia bicara, "menghancurkan watak organis masyarakat." "Watak organis" itu ada hubungannya dengan "kebudayaan nasional": sesuatu yang lokal, rapat dengan adat, jumbuh dengan akar di sebuah tempat. Revolusi Prancis, seperti halnya Revolusi Rusia pada tahun 1917, membabat akar itu. Atas nama Akal dan Pencerahan, kaum revolusioner merusak sifat Katolik Prancis yang lama dan sifat Rusia Ortodoks yang asli. Revolusi, bagi Solzhenitsyn, telah melahirkan sebuah struktur yang dari "atas" memencongkan apa yang secara alamiah hidup di "bawah". Yang hendak dibentuk adalah manusia yang sama. Betapa sia-sia. Sebab, kata Solzhenitsyn, "umat manusia tak berkembang dalam sebuah cetakan tunggal, melainkan acap kali melalui kebudayaan yang tertutup, masing-masing dengan hukumnya sendiri." Pendirian ini bisa memikat, memang, kini, ketika bentuk kekuasaan modern terasa represif, ketika nostalgia akan masa yang hilang menguat, dan perbedaan budaya disambut sebagai pembebasan. Tapi Solzhenitsyn tak menjelaskan di mana batas wilayah "kebudayaan yang tertutup" itu. Dari padanya kita juga tak tahu, haruskah dan bisakah siapa saja yang ada dalam batas wilayah itu diasumsikan sama. Apa yang terjadi bila seseorang ingin berbeda dari patokan budaya tempat ia dibesarkan? Mungkin Solzhenitzyn perlu membaca novel Indonesia tahun 1920-an.
Siti Nurbaya adalah tentang seorang gadis yang tertindas oleh sebuah "kebudayaan yang tertutup". Surat-surat Kartini pada awal abad ke-20 menginginkan emansipasi. Rekaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi tentang masyarakat Melayu di Singapura abad ke-19 bercerita bahwa sesuatu yang lokal, rapat dengan adat, jumbuh dengan akar di sebuah tempatyang oleh Solzhenitsyn disebut "watak organis"bisa amat represif. Sebaliknya, modernitas memang mengandung kekerasan, tapi ia juga bisa membebaskan. Ketika Republik Indonesia didirikanseperti halnya Republik India, Cina, Aljazair, dan lain-lainia sebenarnya menghendaki modernitas yang seperti itu. Ia memang bisa melampiaskan apa yang gelap dalam dirinya, dan menumpahkan darah dan membasmi. Tapi pada akhirnya ia, seperti Teror dalam Revolusi Prancis, bertolak atas nama Akal dan Pencerahan, dan sebab itu akan digugat oleh Akal dan Pencerahan. Ia tak bisa mengelak. Sebab ia, sebuah modernitas dengan segala kesalahannya, tak melihat dirinya datang dari surga. Ia tak sakral dan telah selesai berbicara. Ia belum tertutup. Ia mustahil untuk selamanya tertutup.
Goenawan Mohamad