Di sebuah stasiun kereta api yang sepi, yang dikepung salju Februari, seorang gadis bertemu dengan seorang yang datang dari jauh--seseorang dari zaman lain, benua lain, tubuh yang lain, dengan kereta api yang berhuruf lain, dengan peluit yang menyuarakan bunyi lain. Katakankah ini terjadi di Hamburg, sebuah kota Jerman, karena gadis itu membaca sajak Rilke (dan ini terjadi ketika kota menjadi makin putih, dan di ruang duduk di peron itu mereka cuma berdua, dan orang asing itu merundukkan kepalanya yang separuh terlindung topi Mao), yakni sebuah sajak yang bukan sajak, entah apa namanya, sesuatu yang berbicara tentang wajah: "
Ada berlaksa manusia, tetapi ada lebih banyak lagi wajah, sebab setiap orang punya lebih dari satu. Ada orang-orang yang mengenakan wajah yang sama bertahun-tahun, tentu saja muka itu jadi aus, kotor, retak di jahitannya, jadi logro seperti sarung tangan yang dipakai dalam sebuah perjalanan panjang?." Gadis itu berhenti membaca. Ia memandang sejenak ke tempat orang asing itu duduk, dan ia agak gentar, sehingga sebelum paragraf yang dibacanya selesai, ia telah berpindah ke alinea berikutnya: "
Orang-orang lain berganti wajah dengan luar biasa cepat, memasang satu setelah melepaskan yang lain?. Mula-mula, mereka menduga mereka punya persediaan yang tak terbatas; tapi ketika mereka belum lagi empat puluh tahun, mereka sampai pada paras penghabisan?." Siapakah orang asing ini? Adakah ia seseorang yang mengenakan satu wajah yang sama bertahun-tahun, ataukah ia seseorang yang bisa berganti muka dengan cepat? Ataukah ia seseorang yang sudah sampai pada parasnya yang penghabisan, yang kini sudah lungset, berlobang-lobang, dengan lapisan yang telah tersingkap, hingga yang tampak sebenarnya yang-bukan-wajah,
das Nichtgesicht? Gadis itu sedikit bingung. Dan Rilke tak menolongnya. "Wajah adalah wajah," tulis Rilke, seakan-akan sang penyair ingin mengatakan bahwa ada "hakikat" wajah--dan hakikat itu satu. Tapi bila ada hakikat yang satu, buat apa bicara tentang "banyak" wajah milik manusia? Bila wajah yang "banyak" itu mencerminkan yang sama, maka "banyak" hanyalah sebuah ilusi. Gadis itu memandang orang dari benua lain, zaman lain itu, dan berpikir: jika sosok yang duduk itu adalah sebuah yang-bukan-wajah, apa gerangan orang ini? Sebuah topeng tanpa warna, tanpa ciri? Ia pun dengan takut-takut melirik (melalui buku sajaknya,
Buku Catatan Malte Laurids Brigge karya Rainer Maria Rilke), dan menangkap sekilas muka orang asing itu--yang ternyata sedang menatap ke arahnya. Kita, para pembaca, yang tak hadir di peron itu, hanya bisa menduga bahwa gadis itu agak tertarik kepada lelaki bertopi Mao itu. Juga sebaliknya. Tapi kita tak tahu apa artinya "tertarik". Tertarik bisa berarti terdorong kesepian dan rasa senasib: bukankah hanya mereka berdua yang duduk di peron yang dikepung salju itu? Tertarik bisa berarti terpesona oleh kebaruan, ketika sesuatu tampak elok, eksotis--seperti seorang turis Swedia terkesima oleh dompet daun nyiur. Tertarik bisa juga berarti suatu dorongan seksual, sesuatu yang sebaiknya tak diterangkan di sini, karena banyak orang takut akan seks dan keajaibannya. Tertarik bisa juga berarti berhasrat untuk mengetahui lebih jauh--dan mengetahui berarti merengkuh, menguasai sesuatu dalam satu kesimpulan, membentuk yang lain jadi sesuatu yang "tak bisa lain lagi". Baiklah, gadis Hamburg itu dan lelaki dari zaman lain itu akhirnya memang saling tertarik--tanpa tahu betul apa arti "tertarik". Tapi tiap pertemuan memang mengandung risiko. Gadis itu ingat akan beberapa baris dalam
Elegia Duino yang ditulis Rilke: "
Bersengketa/ adalah kodrat kita yang kedua." Bukankah dua orang yang bercinta "selalu tiba ke perbatasan masing-masing", meskipun mereka menjanjikan luasnya ruang, asyiknya perburuan, dan ramahnya rumah tinggal? Ah, tak ada yang akan menyelamatkan kita, pikir gadis itu: konflik selalu punya benihnya di ruang bersama--juga di ruang tunggu yang sempit itu. Mungkin lelaki bertopi Mao itu juga akan fasih berbicara tentang kontradiksi. Jika itulah corak satu-satunya ketika manusia berbagi tempat--kebersamaan yang niscaya mengandung konflik, ruang luas yang ternyata terbatas, perburuan yang pasti akan menimbulkan luka--maka seseorang jangan-jangan lebih baik menyendiri. Atau bunuh diri. Tiba-tiba laki-laki dari benua lain itu tersenyum, dan senyum itu tiba-tiba menjelaskan: dari wajahnya ada sisa sebuah kepedihan. Tapi justru itu ia meyakinkan: bahwa di bawah topi biru itu yang ada adalah sebuah wajah, yang sudah aus tapi utuh, bukan sesuatu yang sudah gerowong,
das Nichtgesicht. Dalam senyum yang tulus, dalam pedih yang membekas, dalam kesepian yang kangen, tiap wajah mengandung sejarah sebagai wajah lain, atau bersama wajah lain, yang senantiasa bisa berbeda, berubah, tak terduga, mungkin tak tercatat. Dan yang pasti tak akan tertangkap, tak akan terengkuh penuh. "
Betapa susah sungguh/ mengingat Kau penuh seluruh," kata sebuah sajak Chairil Anwar, dengan kerendahan hati di depan Tuhan. Bukankah aku juga harus berendah hati di depanmu? Ya, gadis itu ingin berkata begitu, juga mungkin laki-laki itu. "
Aku telah pasrah tak akan mencoba mengenalimu kembali di gelombang saat yang kemudian." Itu juga sajak Rilke: puisi untuk seseorang yang dicintai. Dan gadis itu pun ingat: ia di sebuah perjalanan, sebelum kereta datang, sebelum kereta pergi, dan orang bertopi Mao itu (tak lagi sepenuhnya asing, tapi tetap saja lain) akan tak ada di sisinya lagi.
Goenawan Mohamad