BARANGKALI di sebuah sudut Indonesia yang tak terlihat, ada seorang jaksa yang sedang mengubah sejarah. Kita bayangkan ia berada di kamarnya, sendiri, di atas kursi yang sudah usang peliturnya, di depan sebuah meja tulis, dengan segelas kopi yang tinggal separuh. Di atas meja itu: sebuah map; sebuah daftar nama pejabat dan orang bisnis; beberapa paragraf kesimpulan tentang kejahatan apa yang dilakukan oleh nama-nama itu; sederet pasal KUHP; sehimpun kalimat tentang hukuman yang akan dituntutkan. Dan tak jauh dari kertas-kertas itu: sebuah terjemahan novel Albert Camus yang telah selesai ia baca, La Peste. Indonesia, begitulah ia akan berkata dalam hati, adalah kota Oran yang dilanda wabah. Di kota yang dihuni oleh "orang-orang yang tertidur seraya jalan dan berdiri" itu pada suatu hari ditemukan seekor tikus yang mati, dan dengan segera semua tahu: sampar menyebar dan melumpuhkan kota dari rumah ke rumah. Dalam novel Camus, pes mungkin sebuah alegori tentang Prancis yang menjadi gelap dalam pendudukan Nazi, tapi di meja jaksa kita itu, wabah itu adalah korupsi. Pes itu meruyak ke setiap sudut, di setiap hari, hingga kata "korupsi" begitu biasa, menandai sebuah kejahatan yang sudah jadi banal. Para pejabat tinggi bank sentral melakukannya. Para bankir melakukannya. Juga para pengusaha. Juga anggota parlemen. Para hakim. Para jaksa (dan di sini jaksa kita, yang kita bayangkan sebagai manusia ajaib, karena ia jujur, tersenyum pahit). Para polisi. Jenderal-jenderal. Menteri ini dan itu. Para dirjen dan sekjen dan irjen. Orang-orang di Istana. Pejabat kantor pajak. Para petugas bea cukai. Bupati. Camat. Lurah. Carik. Opas. Mantri garam. Guru yang pada suatu hari menerima sekian ratus ribu rupiah untuk membuat seorang murid naik kelas. Dokter muda yang membayar petugas tata usaha departemen kesehatan agar ia tak jadi ditugasi ke Ambon. "Kita semua ada dalam sampar ini," kata tokoh Tarrou dalam novel Camus. Di tengah-tengah itu, seseorang bisa menjadi merasa bersendiri, seperti terbuang. Tapi haruskah ia membiarkan diri tenggelam, lumer, dan jadi bagian dari pes itu? Tarrou menampik. "Orang lain akan membuat sejarah. Yang bisa aku katakan hanyalah bahwa di muka bumi ini ada wabah dan ada para korbandan sejauh mungkin seseorang harus menolak untuk berada di pihak wabah," ia berkata. "Dan itu sebabnya saya memutuskan untuk menolak setiap hal yang, secara langsung atau tak langsung, menyebabkan orang mati, atau menghalalkan mereka yang membuat orang mati." Mati, kalah. Tapi seseorang yang terserang memang bisa sembuh (dan menjadi penyembuh), ketika ia, seperti Tarrou, tak menyerah. Dengan kata lain, ketika ia tak hendak menerima ucapan seorang pastor yang berkata tentang keadaan yang mengerikan itu seperti membuat nubuat, "Saudara-saudaraku, kalian memang pantas mendapatkan ini." Sebuah negeri, sebuah masyarakat, bisa brengsek sekali, tapi ia tak pernah pantas untuk dilaknat runtuh. Menghancurkan kota Sodom dan Gomorrah bukanlah tindakan yang adil. Sebab biarpun di tengah sampar yang menyebar dan korupsi yang menggoda setiap orang agar jadi keji, manusia senantiasa mengandung kemungkinan untuk berbeda. Kejahatan (seperti halnya kebaikan) tak bisa total. Kebanyakan orang tetap baik, dan Tarrou percaya: "Kita hanya perlu memberi mereka kesempatan untuk itu." Untuk menegaskan itulah harus selalu ada seseorang yang mengambil sikap seperti Dokter Rieux, tokoh terdepan dalam La Peste. Dokter yang "capek dengan dunia tempat ia hidup" itu, di tengah Oran yang sedang ambruk itu, melakukan yang sederhana tapi berarti. "Bila kita lihat penderitaan yang diakibatkannya," ia berkata, "hanya orang gila, buta, atau pengecut yang menyerahkan diri pada sampar ini." Maka ia memutuskan untuk "menolak setiap ketidakadilan dan setiap kompromi" dan membentuk satu regu kesehatan yang bekerja habis-habisan, tapi tanpa heroisme. Orang seperti Rieux tak perlu menyusun sebuah agenda besar atau berpegang pada petunjuk Tuhan dan agama. Ia bahkan menolak untuk itu. Baginya, Tuhan dan agama yang ingin menunjukkan kebenaran-Nya dengan mengutuk dan meruntuhkan sebuah kota adalah Tuhan dan agama yang tak layak. Rieux justru membuktikan bahwa orang bisa menjadi baik dengan memberontak, bersendiri, tapi pada akhirnya bukan untuk "aku", melainkan untuk membuat "kita". Memang tidak gampang. Jaksa kita, di atas kursi yang telah usang peliturnya itu, tahu benar bahwa dalam keadaan seperti sekarang, orang bisa mengambil sikap seperti tokoh Cottard: bagi orang ini, sampar yang mengancam telah menjadi demikian kuat, sehingga membentuk regu kesehatan hanya sebuah aksi yang percuma. Orang macam Cottard bersedia untuk bekerja sama dengan penyakit. Korupsi yang begitu menyebar memang bisa seakan-akan membuat keburukan adalah sesuatu yang sah. Ada yang mengatakan bahwa cita-cita tertinggi Iblis adalah menang, dengan membuat orang percaya bahwa si Iblis sebenarnya tidak ada. Pada akhir tahun 1960-an,
Harian Kami, dalam editorial yang ditulis Nono Anwar Makarim, sudah memperingatkan akan bahaya "kleptokrasi", sebuah pemerintahan yang berdiri dan berjalan dengan korupsi di tiap sudut, bahkan hidup dalam jalinan antar-maling dari barat sampai ke timur. Kini jika "kleptokrasi" itu telah begitu menyatu dengan hidup lumrah setiap hari, seperti Iblis yang telah membuat orang percaya bahwa ia tak ada. Sebab itu, bagaikan seorang ninja yang menyelinap di sebuah kastil agung untuk memulai sebuah perlawanan, jaksa kita yang sendiri itu berjalan, tanpa suara, waspada. Ia tahu ia tak akan menang dalam pertempuran sebentar lagi. Tapi ia tahu harus selalu ada seseorang, atau lebih, yang tak ingin menghalalkan pes, tak ingin berada di pihak sampar.
Goenawan Mohamad