Saya melihat Taj Mahal buat pertama kalinya: pualam putih, kubah bagaikan sebutir bawang besar dari surga, menara-menara langsing, dan simetri. Kecantikan itu mungkin mengagumkan, tapi ia tak menggetarkan hati. Ada sesuatu yang dingin pada mausoleum ini. Dingin seperti marmer, dingin seperti kamar yang steril, dingin seperti ruang yang antiwaktu: sebuah kerapian mutlak yang tak hendak tersentuh debu dari Agra, tak mau terkait dengan apa yang bergerak, yang ribut. Saya bertanya dalam hati, bagaimana itu mungkin. Setiap brosur pariwisata menceritakan bahwa di kemegahan inilah Syah Jehan mengenang istrinya yang wafat, dan membangun sebuah lambang cinta yang dalam. Tapi di manakah perasaan itu bergetar di Taj Mahal? Di antara kaligrafi ayat Quran yang elok berbaris di pintu dan dinding? Di ragam daun yang renik? Di relief kembang lembut yang bertatahkan safir, giok, dan rubi di tembok marmer? Kenapa puisi itu pucat dan gelora tak terasa? Apakah ini gerangan: pernyataan cinta yang membebaskan, ataukah ekspresi cinta yang ingin mengungkung? Pemujaan, atau pemenjaraan? Tapi ini sebuah makam, pemandu turis itu akan berkata. Makam adalah sebuah tempat untuk mereka yang tak lagi berjantung: jauh di bawah sana yang tak terkena matahari, si mati sudah jadi satu suhu dengan tanah. Dan ingat, Taj Mahal adalah sebuah monumen, dan setiap monumen mengatakan "tidak" kepada gerak, sebab gerak adalah waktu, dan waktu membawa lupa. Sebuah monumen menampik lupa, saudara-saudara! Bahkan ini, jangan lupa, sebuah mausoleum. Jika tuan pernah melihat apa yang mereka dirikan di Beijing, di salah satu sisi Tian An Men, untuk Ketua Mao, tuan akan tahu mengapa sebuah mausoleum terasa begitu beku, begitu kaku: ia ingin berada luhur di atas sejarah. Jauh dari keseharian, mausoleum adalah sebuah bangunan yang seakan-akan menghentikan Maut, dan bersama dengan itu, meniadakan dialektik. Ia sebuah dunia yang tanpa kontroversi, bahkan tak berlalu lintas. Di dalamnya, tiap perubahan adalah polusi. Ya, sebuah mausoleum adalah akhir dari metamorfosis: di bangunan persegi panjang di Tian An Men itu, Mao yang dulu, dengan jaket yang wagu dan sepatu yang buruk bentuk, mengguncang dunia melalui sebuah revolusi orang-orang udik, kini telah jadi seorang tuhan yang necisatau jadi bagian pokok sebuah gedung yang dirancang sebuah kementerian. Jika Mao bisa disulap menjadi sosok antiwaktu, kenapa Syah Jehan, maharaja Mogul yang membangun Delhi, tak bisa melakukan hal yang sama kepada permaisurinya? Saya melihat Taj Mahal buat pertama kalinya: mungkin saya lelah. Hari panas, orang-orang tampak lusuh, juga polisi yang menjaga gerbang dengan sebuah bedil Lee Enfield tua. Sebelum masuk ke wilayah makam abad ke-17 itu, kita harus melalui Kota Agra abad ke-21: sepotong Dunia Ketiga yang terengah-engah, centang-perenang, dengan bangunan, billboard, bajaj, lalu lintas mobil, sampah, dan babi. Estetika tak pernah menentukan segala-galanya di sini, dan di mana pun, bahkan selama raja-raja Mogul menggelar kemegahan dari tepi Sungai Yamuna. Tapi mungkin setiap ruang bersama selalu disertai kontras. Di sisi sini: kesibukan dagang di mana benda-benda berpindah dan hanya singgah. Di sisi sana: sebuah konstruksi yang tak mengacuhkan dunia yang sibuk. Di sisi sini: kehidupan lugas yang bergegas. Di sisi sana apa yang konon dikatakan Tagore tentang Taj Mahal: "setetes air mata di wajah keabadian". Maka kota-kota pun mendirikan monumen, bukan sekadar gedung dan gudang, depot dan barak, bedeng dan kantor. Monumen berusaha jadi sentuhan yang menjangkau ke dalam hati, ketika bangunan-bangunan itu hanya deret yang mendatar. Henri Lefebvre, filsuf Marxis yang menulis sebuah buku yang menggugah tentang ruang, membandingkan monumen dengan bangunan sebagaimana ia membandingkan festival dengan hidup sehari-hari: yang satu menimbulkan emosi, yang lain hanya sebuah alat produksi. Tapi ia juga menunjukkan bahwa dalam tiap ruang monumental berlangsung tukar-menukar secara simbolis antara wilayah yang "religius" dan yang "politis". Ada yang "suci" dan ada yang "berwibawa" di sanasesuatu yang diniatkan bahkan oleh mausoleum Mao di Beijing, dan tak hanya Gereja Santo Petrus di Vatikan. Kewibawaan dari yang suci terus-menerus saling menunjang dengan yang suci dari kewibawaan. Di dalam proses itu, tentu ada kekuasaan yang bekerja, memisahkan yang "sakral" dari yang "profan"dan mampu membuat sepasang kasut yang kumal (milik Ho Chi-Minh misalnya) layak diletakkan di atas altar kehormatan. Dengan itu pula, apa yang dianggap tak patut akan disingkirkan. Ruang monumental menghendaki kerapian yang absolut, seperti sebuah kota yang menghalau apa yang dianggap jorok: rumah kumuh, tukang becak, pengunyah permen karet, kedai minum, poster protesyang akhirnya berarti membasmi nilai yang berbeda, tapi lemah. Saya memandang Taj Mahal buat pertama kali dan saya dengan segera bosan: arsitektur ini meminta, menuntut mutlak, simetri. Di kedua sisinya ada dua bangunan yang persis samadan yang satu tak berguna apa-apa selain jadi padanan dari yang lain. Simetri. Atau kontrol. Menolak apa yang tak terduga. Mungkin simetri itu mencoba mengejutkan mata kita, di tengah alam yang beragam bentuk, tapi ke sekitarnya yang dekat, ia meniadakan apa yang mencong, meleset. Saya memandang Taj Mahal: simetri adalah isyarat, agaknya, bahwa sang Maharaja tak berkenan dengan dunia yang mengandung kaos. Tragis, jika kita tahu apa yang terjadi setelah itu. Putranya sendiri, Aurangzeb, mengambi alih kekuasaan, membunuh saudara-saudara kandungnya, memenjarakan ayahnya, dan menghancurkan apa yang telah dibangun dalam sejarah India.
Goenawan Mohamad