Taj Mahal

Penulis

Senin, 15 Juli 2002 00:00 WIB

Saya melihat Taj Mahal buat pertama kalinya: pualam putih, kubah bagaikan sebutir bawang besar dari surga, menara-menara langsing, dan simetri. Kecantikan itu mungkin mengagumkan, tapi ia tak menggetarkan hati. Ada sesuatu yang dingin pada mausoleum ini. Dingin seperti marmer, dingin seperti kamar yang steril, dingin seperti ruang yang antiwaktu: sebuah kerapian mutlak yang tak hendak tersentuh debu dari Agra, tak mau terkait dengan apa yang bergerak, yang ribut. Saya bertanya dalam hati, bagaimana itu mungkin. Setiap brosur pariwisata menceritakan bahwa di kemegahan inilah Syah Jehan mengenang istrinya yang wafat, dan membangun sebuah lambang cinta yang dalam. Tapi di manakah perasaan itu bergetar di Taj Mahal? Di antara kaligrafi ayat Quran yang elok berbaris di pintu dan dinding? Di ragam daun yang renik? Di relief kembang lembut yang bertatahkan safir, giok, dan rubi di tembok marmer? Kenapa puisi itu pucat dan gelora tak terasa? Apakah ini gerangan: pernyataan cinta yang membebaskan, ataukah ekspresi cinta yang ingin mengungkung? Pemujaan, atau pemenjaraan? Tapi ini sebuah makam, pemandu turis itu akan berkata. Makam adalah sebuah tempat untuk mereka yang tak lagi berjantung: jauh di bawah sana yang tak terkena matahari, si mati sudah jadi satu suhu dengan tanah. Dan ingat, Taj Mahal adalah sebuah monumen, dan setiap monumen mengatakan "tidak" kepada gerak, sebab gerak adalah waktu, dan waktu membawa lupa. Sebuah monumen menampik lupa, saudara-saudara! Bahkan ini, jangan lupa, sebuah mausoleum. Jika tuan pernah melihat apa yang mereka dirikan di Beijing, di salah satu sisi Tian An Men, untuk Ketua Mao, tuan akan tahu mengapa sebuah mausoleum terasa begitu beku, begitu kaku: ia ingin berada luhur di atas sejarah. Jauh dari keseharian, mausoleum adalah sebuah bangunan yang seakan-akan menghentikan Maut, dan bersama dengan itu, meniadakan dialektik. Ia sebuah dunia yang tanpa kontroversi, bahkan tak berlalu lintas. Di dalamnya, tiap perubahan adalah polusi. Ya, sebuah mausoleum adalah akhir dari metamorfosis: di bangunan persegi panjang di Tian An Men itu, Mao yang dulu, dengan jaket yang wagu dan sepatu yang buruk bentuk, mengguncang dunia melalui sebuah revolusi orang-orang udik, kini telah jadi seorang tuhan yang necisatau jadi bagian pokok sebuah gedung yang dirancang sebuah kementerian. Jika Mao bisa disulap menjadi sosok antiwaktu, kenapa Syah Jehan, maharaja Mogul yang membangun Delhi, tak bisa melakukan hal yang sama kepada permaisurinya? Saya melihat Taj Mahal buat pertama kalinya: mungkin saya lelah. Hari panas, orang-orang tampak lusuh, juga polisi yang menjaga gerbang dengan sebuah bedil Lee Enfield tua. Sebelum masuk ke wilayah makam abad ke-17 itu, kita harus melalui Kota Agra abad ke-21: sepotong Dunia Ketiga yang terengah-engah, centang-perenang, dengan bangunan, billboard, bajaj, lalu lintas mobil, sampah, dan babi. Estetika tak pernah menentukan segala-galanya di sini, dan di mana pun, bahkan selama raja-raja Mogul menggelar kemegahan dari tepi Sungai Yamuna. Tapi mungkin setiap ruang bersama selalu disertai kontras. Di sisi sini: kesibukan dagang di mana benda-benda berpindah dan hanya singgah. Di sisi sana: sebuah konstruksi yang tak mengacuhkan dunia yang sibuk. Di sisi sini: kehidupan lugas yang bergegas. Di sisi sana apa yang konon dikatakan Tagore tentang Taj Mahal: "setetes air mata di wajah keabadian". Maka kota-kota pun mendirikan monumen, bukan sekadar gedung dan gudang, depot dan barak, bedeng dan kantor. Monumen berusaha jadi sentuhan yang menjangkau ke dalam hati, ketika bangunan-bangunan itu hanya deret yang mendatar. Henri Lefebvre, filsuf Marxis yang menulis sebuah buku yang menggugah tentang ruang, membandingkan monumen dengan bangunan sebagaimana ia membandingkan festival dengan hidup sehari-hari: yang satu menimbulkan emosi, yang lain hanya sebuah alat produksi. Tapi ia juga menunjukkan bahwa dalam tiap ruang monumental berlangsung tukar-menukar secara simbolis antara wilayah yang "religius" dan yang "politis". Ada yang "suci" dan ada yang "berwibawa" di sanasesuatu yang diniatkan bahkan oleh mausoleum Mao di Beijing, dan tak hanya Gereja Santo Petrus di Vatikan. Kewibawaan dari yang suci terus-menerus saling menunjang dengan yang suci dari kewibawaan. Di dalam proses itu, tentu ada kekuasaan yang bekerja, memisahkan yang "sakral" dari yang "profan"dan mampu membuat sepasang kasut yang kumal (milik Ho Chi-Minh misalnya) layak diletakkan di atas altar kehormatan. Dengan itu pula, apa yang dianggap tak patut akan disingkirkan. Ruang monumental menghendaki kerapian yang absolut, seperti sebuah kota yang menghalau apa yang dianggap jorok: rumah kumuh, tukang becak, pengunyah permen karet, kedai minum, poster protesyang akhirnya berarti membasmi nilai yang berbeda, tapi lemah. Saya memandang Taj Mahal buat pertama kali dan saya dengan segera bosan: arsitektur ini meminta, menuntut mutlak, simetri. Di kedua sisinya ada dua bangunan yang persis samadan yang satu tak berguna apa-apa selain jadi padanan dari yang lain. Simetri. Atau kontrol. Menolak apa yang tak terduga. Mungkin simetri itu mencoba mengejutkan mata kita, di tengah alam yang beragam bentuk, tapi ke sekitarnya yang dekat, ia meniadakan apa yang mencong, meleset. Saya memandang Taj Mahal: simetri adalah isyarat, agaknya, bahwa sang Maharaja tak berkenan dengan dunia yang mengandung kaos. Tragis, jika kita tahu apa yang terjadi setelah itu. Putranya sendiri, Aurangzeb, mengambi alih kekuasaan, membunuh saudara-saudara kandungnya, memenjarakan ayahnya, dan menghancurkan apa yang telah dibangun dalam sejarah India. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

4 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

5 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

14 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

55 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

59 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya