Rajam

Penulis

Senin, 14 Mei 2001 00:00 WIB

MEREKA ikat tubuh itu di sebuah pasak. Di seputar tiang kayu itu digali lubang sedalam setengah meter. Puluhan orang mengelilinginya. Satu demi satu, makin lama makin cepat, makin serentak, orang-orang itu pun melemparkan batu?berpuluh-puluh butir batu?ke tubuh yang tak bisa mengelak itu. Beberapa belas butir menghantam dada dan selangkangan. Beberapa belas lain menghajar kepala. Ada yang menembus biji mata, menghancurkan hidung, melubangi jidat. Darah mancur, jangat robek, tengkorak retak, otak muncrat, mata pecah, lepas. Sebuah proses setengah jam. Mungkin lebih. Lalu akhirnya si terhukum pun mati, pelan-pelan?. Saya tak pernah menyaksikan rajam?dan saya tak ingin menyaksikannya. Tapi saya tahu itu telah terjadi di negeri saya, belum lama ini, dan apa yang saya gambarkan adalah sebuah bayangan yang seperti sebuah film horor yang bisu yang mengharu biru mimpi, yang jangan-jangan tak jauh berbeda dari apa yang sebenarnya terjadi. Tuan mungkin bertanya kenapa saya tak menyebut apakah si terhukum lelaki atau perempuan. Ah, apa bedanya? Yang pasti: ada rasa sakit, ada siksaan, ada kematian. Biadab? Sungguh, saya tak tahu apa arti ?biadab? di zaman ini, tapi saya lebih tak tahu kenapa untuk membunuh seorang pendosa cara yang seperti itu yang dipilih. Tuan mungkin akan berkata: karena kau tidak tahu titah Tuhan. Saya akan bertanya, seperti saya bertanya kepada diri sendiri: tapi untuk apakah hukuman itu sebenarnya? Untuk Tuhan?seakan-akan Tuhan menginginkan? Keinginan adalah pertanda kekurangan, tapi bukankah kita menyebut-Nya sebagai Dzat yang Mahasempurna? Saya tak pernah membayangkan-Nya sebagai Kuasa yang harus dipuaskan?apalagi dengan sajian sebatang tubuh yang telah jadi onggokan daging, hancur, berdarah. Di zaman dulu, di negeri Inca, konon ada upacara yang mempersembahkan korban manusia di hadirat Dewa Matahari. Tapi Tuhan saya bukan Dewa seperti itu. Tuhan saya adalah Sang Pemberi yang Mulia: Ia tak pernah menuntut pembayaran kembali. Tentu, tak hanya bangsa Inca yang membunuh atas nama (atau atas titah?) sesembahan mereka. Tiap agama punya saat kekejamannya sendiri. Dalam Perjanjian Lama kita baca bagaimana Yahwe yang murka hendak ?menyulah kepala? orang-orang yang berbuat salah. Kita baca pula bagaimana Bani Israel merajam mati satu keluarga, termasuk anak-anak, yang ayahnya ditemukan bersalah mencuri sebagian hasil peperangan. Dalam sejarah Kristen kita bisa baca bagaimana pada tanggal 22 Juli 1209 satu pasukan atas nama Paus menyerbu dan menjarah Beziers di Prancis Selatan, untuk membinasakan para penganut sekte Cathar di kota itu. Ketika ditanya bagaimana cara tentara harus membedakan mana yang penganut Cathar dan mana yang Katolik sejati, sang utusan Takhta Suci menjawab, ?Bunuh saja semuanya. Tuhan nanti akan mengenal umat-Nya sendiri.? Hari itu 15.000 orang dibantai: lelaki, wanita, anak-anak. Juga kita tahu bagaimana kekuasaan Inkuisisi, yang ditegakkan di tahun 1233 (dan di Spanyol berakhir secara resmi di tahun 1834), mengusut kemurnian iman siapa saja yang dicurigai, dan mengirim ratusan orang ke tiang pembakaran atas tuduhan berbuat bid?ah. Kata auto de fe, sebenarnya berarti ?laku keimanan?, menjadi identik dengan laku kebengisan. Dan bukan ha-nya Gereja Katolik yang melakukannya: dari Calvin di Jenewa sampai dengan Ku Klux Klan di Amerika (yang anti-Katolik, Yahudi, dan orang Hitam) menirunya. Tapi hukuman sekeras itu tak bisa bertahan. Apa yang sekian abad yang lalu bisa diterima dengan terpaksa atau tidak, kini, terasa berlebihan. Manusia selalu bisa bernegosiasi dengan hukum yang paling menuntut: Musa melakukannya dengan Yahweh, Isa Almasih tetap bekerja di hari Sabbath, dan Muhammad tak menerima begitu saja perintah Tuhan agar umatnya bersembahyang 50 kali sehari. Zaman bukan saja berubah bersama norma. Zaman juga kian menyadarkan orang yang arif bahwa kemurnian hukum tak pernah bisa mutlak di antara kita. Tentu bisa didalihkan bahwa rajam di hari ini adalah usaha meniru keaslian hukum yang ada di zaman Nabi. Tapi apakah ?keaslian? sebenarnya? Keaslian bermula dari sebuah dasar, yaitu asal. Tapi asal adalah sesuatu yang nisbi. Hukuman rajam tak berasal dari zaman Muhammad. Ketentuan itu sudah ada dalam hukum zaman Musa. Bahkan dalam masa hidup Isa masih ada kelompok yang hendak menghukum seorang pelacur dengan lemparan batu, sampai Yesus mengingatkan mereka dengan satu kalimat yang terkenal: ?Siapa yang tak pernah berdosa, biarlah ia melontarkan batu pertama.? Bagi saya, itu juga berarti: siapa yang tak pernah menempuh sejarah, ialah yang berhak menjalankan hukum yang ?asli?. Sejarah tak pernah membikin sesuatu yang murni tetap murni. Yang murni hanya ketika Adam di Taman Firdaus, sebelum ia dan Hawa turun ke bumi dan jadi subyek yang bermandat penuh, su-byek yang merdeka?dan dalam kemerdekaan itu bisa berpikir, menafsir, mungkin berbuat salah, tapi justru itu ia tahu dirinya da?if, fana, terbatas. Sebab itu ia tak punya hak atas hidup manusia lain: ia tak bisa menyamakan yang lain dalam rangkumannya, secara total. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Pemerintah Merasa Toleransi dan Kebebasan Beragama di Indonesia Berjalan Baik

3 hari lalu

Pemerintah Merasa Toleransi dan Kebebasan Beragama di Indonesia Berjalan Baik

Kemenkumham mengklaim Indonesia telah menerapkan toleransi dan kebebasan beragama dengan baik.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

6 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

7 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

16 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Miniatur Toleransi dari Tapanuli Utara

36 hari lalu

Miniatur Toleransi dari Tapanuli Utara

Bupati Nikson Nababan berhasil membangun kerukunan dan persatuan antarumat beragama. Menjadi percontohan toleransi.

Baca Selengkapnya

Indonesia Angkat Isu Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Sidang Dewan HAM PBB

52 hari lalu

Indonesia Angkat Isu Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Sidang Dewan HAM PBB

Isu tersebut dinggap penting diangkat di sidang Dewan HAM PBB untuk mengatasi segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama di dunia.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

57 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya