TIAP kota punya beribu-ribu etalase. Tiap kota punya beribu-ribu bilbor, dengan atau tanpa cahaya lampu. Beribu-ribu ilusi. Orang akan terkecoh, tapi mereka akan tetap berada di sana. Mereka akan membuat ruangnya sendiri, dalam sebuah lalu lintas yang setengah teperdaya. Bukankah tak ada kontradiksi antara lalu lintas itu dan ilusi di sebuah kota? Sebuah kota, ribuan etalase, ribuan paparan advertensi, adalah dusta yang memikat. Setiap kota di zaman ini adalah sebuah Jalan Nevsky Prospect. Jalan ini "selamanya berbohong," tulis sang pencerita dalam cerita pendek Nikolai Gogol yang terbit pada tahun 1835. Dalam cerita ini, jalan di Kota St. Petersburg itu lebih-lebih berbohong ketika gelap pekat turun dan tembok kuning dan putih rumah-rumah jadi mencolok, ketika seluruh kota menjadi "gemuruh dan gilang gemilang, dan aneka ragam kereta menggelinding di jalan ketika sang setan sendiri menyalakan lampu untuk memamerkan segalanya di bawah cahaya yang tak nyata." Kota, cahaya, setan, dusta. Gogol mengisahkan semua ini melalui salah satu tokohnya, Pikharev, seorang pelukis muda yang kecewa. Pada suatu malam, di Nevsky Prospect yang memukau itu, Pikharev terpikat oleh seorang perempuan. Ia mendekatinya. Perempuan itu seorang pelacur sebenarnya. Tapi Pikharev tak memahami bahwa seorang pelacur adalah seorang penjaja dan sekaligus komoditi yang dijajakannya sendiri. Seniman kita ini, yang sudah berbahagia bila keindahan lukisannya dihargai tanpa dijadikan "harga", tak tahu, atau tak ingin tahu, bahwa komodifikasi telah merayap ke sudut itu. Ia bertekad untuk menyelamatkan sang pelacur dari hidupnya yang melata, ia ingin membawanya hidup bersama dalam naungan "seni dan kasih sayang." Tapi pelacur itu menolak dengan kasar. Sang pelukis merasa terpukul. Ia berhenti melukis, jadi pengisap candu, menutup diri di kamarnya yang sempit, dan akhirnya mengiris lehernya sendiri. Yang tragis dari Pikharev ialah kebaikannya bermula dari sebuah ilusi tentang sebuah ilusi: kecantikan sang pelacur, seperti iklan, baginya sebuah cerminan kecantikan yang "sebenarnya". Tapi bisakah ia lain? Kisah Pikharev menunjukkan suatu masa ketika hubungan kota dan kapitalisme masih belum merasuk ke kesadaran. Masih ada hati yang menggeliat-geliat di bawah tata hidup yang dibentuk oleh hubungan jual-beli. Dalam hal ini St. Petersburg adalah contoh kota-kota di "Dunia Ketiga", misalnya Batavia yang dibangun oleh Jan Pieterzoon Coen pada abad ke-17. St. Petersburg, seperti Batavia, tak tumbuh karena dinamika warga kota, yang dalam bahasa Prancis lama disebut burgeis, dari mana kata pengertian "borjuis" lahir: kelas menengah yang tak sepenuhnya terjangkau oleh kekuasaan para raja. St. Petersburg, seperti Batavia, lahir tanpa akar sosial itu: Peter yang Agung, dengan tangan besi, mengerahkan bangsa Rusia untuk mendirikan sebuah kota baru di atas rawa-rawa Sungai Neva. Ia ingin membuat sebuah "jendela yang terbuka" ke Eropa. Ia ingin melupakan Moskwa, yang baginya sudah tengik, tua, terkungkung oleh takhayul dan Gereja. Tapi bagaimana ia bebas dari yang tengik itu? Ia sendiri membangun sebuah kota yang "modern" pada abad ke-17 dari takhta kuno seorang tsarsang otokrat dari mana kekuasaan menyambar dan mengalir tanpa tertandingi. Peter yang Agung tak mengubah otokrasi itu. Ia mengukuhkannya. Maka sejak ia mangkat, dengan mudah St. Petersburg dibentuk oleh para tsar lain menurut kecemasan yang mereka kehendaki. Di bawah Nicholas I (1825-1855), kota itu dikuasai polisi, mata-mata, sensor, dan kebekuan berpikir. "Jendela ke Eropa" itu ditutup. Tapi inilah zaman ketika tak ada kekuasaan yang tak retak. Pada saat itu, Jalan Nevsky Prospect telah tumbuh jadi wilayah perdagangan barang-barang asing, sebuah wilayah kosmopolitan dengan nama toko dalam bahasa Prancis. Kekuasaan Nicholas I tak bisa membekukan tempat ini, di mana kapitalisme marak. Dalam kata-kata Marshal Berman dalam
All That is Solid Melts Into Air, "Jalan Nevsky satu-satunya tempat yang tak didominasi oleh negara." Dengan kata lain, di sini ada kebebasan. Tapi bukannya tak ada "dusta"dan Pikharev, meskipun terlambat, menemukannya. Ketika jalan-jalan menampilkan bilbor iklan dan cahaya lampu, kota pun merayu dan menghibur kita untuk tak melihat apa yang sebenarnya terjadi: bahwa "kebaruan" yang tampak di sana sesungguhnya menyembunyikan pengulangan. Bahwa "keperluan" yang terbit di sana sesungguhnya adalah hasrat yang tak kunjung terpuaskan. Bahwa "harta-benda" yang ditawarkan di sana sesungguhnya adalah barang yang selamanya bisa ditukar. Dengan kata lain, yang terjadi adalah terbentangnya "alegori"seperti yang dikatakan Walter Benjamin tentang Paris pada abad ke-19 yang dengan gemuruh mulai menunjukkan diri sebagai konsekuensi fisik dan sosial dari kapitalisme. Alegori mengemukakan satu hal sebagai sesuatu yang sebenarnya menunjukkan hal lain: bukankah paras Nadia Hutagalung yang memikat di papan iklan itu bukan menyatakan Nadia Hutagalung, bukan pula sepotong sabun yang konkret, melainkan sebuah ide tentang sabun dan kecantikan? Bukankah ia sebuah etalase, yang ingin membingkai atau bahkan membentuk hasrat kitadan membangun ilusi-ilusi? Tapi kita terus memandangnya. Mungkin kita terhibur melihatnya. Mungkin terkecoh. Tapi kota akan terus dengan etalasenya, dengan derapnya, seperti kereta yang terbayang dalam penutup "Berita dari Kebayoran", salah satu prosa Pramoedya Ananta Toer dalam Cerita dari Jakarta: "Kereta berjalan terusterusterusterusdan tidak akan berhenti di mana tempat pun juga."
Goenawan Mohamad