Beberapa orang Badui menemukan sejumlah dokumen purba di sebuah gua di dekat Laut Mati. Ternyata kejadian di tahun 1947 itu jadi awal cerita yang rumit tentang iman yang terbentur dan sejarah yang selalu luput. Dari beberapa gua di Qumran itulah 600 gulungan dan puluhan ribu fragmen papirus bertuliskan bahasa Ibrani dan Armaik dihimpun oleh para ahli arkeologi. Diketahui dokumen itu berasal dari dua abad menjelang dan separuh abad setelah tarikh Masehi. Naskah itu milik sebuah komunitas agama yang hidup di masa itu. Kini orang mengenalnya, dalam bahasa Inggris, sebagai
The Dead Sea Scrolls. Teks dari Qumran itu banyak ditelaah, tapi baru di tahun 1990-an beberapa buku menunjukkan betapa sengit dan muskilnya kontroversi yang timbul dari sana. Sebab, yang dipertaruhkan adalah persoalan dasar dalam iman Kristiani: asal-usul Yesus dalam sejarah. Buku terbaru yang menyinggung hal itu?dan menyebutkan betapa Gereja Katolik berusaha keras mengontrol teks Qumran?adalah
The Inquisition. Risalah popular itu ditulis oleh Michael Baigent dan Richard Leigh (edisi Penguin bertahun 2000). Menurut kedua pengarang yang di tahun 1991 muncul dengan buku
The Dead Sea Scrolls Deception itu, papirus Qumran mengandung cerita tentang sebuah "sekte Yahudi" yang percaya akan datangnya Juru Selamat. Pemimpin sekte itu meninggal sebagai martir. Tiba-tiba, di tahun 1950, di sebuah ceramah di Universitas Sorbonne, Prof. Andre Dupont-Sommer mengejutkan dunia: bahwa sang pemimpin "sekte" yang digambarkan dokumen Laut Mati itu dari pelbagai segi merupakan "prototipe yang persis" dari tokoh Yesus. Dan Vatikan pun "panik", kata Baigent dan Leigh. Selama lima tahun sejak 1951, lembaga penelitiannya di Yerusalem, l'Ecole Biblique et Archeologique, memulai penggalian arkeologis sendiri. Tujuannya: membuktikan bahwa cerita dari Gua Qumran tak ada hubungannya dengan riwayat awal agama Kristen.
The Inquisition menyebut bahwa untuk itu Vatikan tak segan-segan melanggar prosedur arkeologis yang seharusnya. Bahkan memanipulasi data. Gereja juga praktis memegang monopoli penelitian dan penemuan baru di sekitar dokumen Qumran. Pintunya tertutup. Khususnya buat fragmen "No. 4Q246". Dokumen itu ditemukan 9 Juli 1958. Di sana dikatakan bahwa sang pemimpin sekte "akan dipanggil Putra Allah, dan? kerajaannya akan jadi kerajaan yang kekal". Teks yang semacam itu baru ketahuan ke khalayak ramai dalam sebuah ceramah di Universitas Harvard di tahun 1972, tapi tak ada yang boleh mengopinya. Sementara itu, sejak belasan tahun setelah ditemukannya "No. 4Q246", para pakar Vatikan terus saja menerbitkan telaah mereka bahwa Yesus tak sama dengan sang Guru dalam papirus Qumran. Yang menarik: para pakar Gereja itu tak menyebut sama sekali adanya teks "No. 4Q246". Saya tak tahu pasti seberapa meyakinkan paparan kedua penulis
The Dead Sea Scrolls Deception itu. Tapi bisa dimengerti jika Gereja cemas, seandainya benar bahwa teks itu menunjukkan Yesus "hanya" seorang pemimpin sekte agama Yahudi?bukan Tuhan sebagaimana diyakini orang Nasrani, bukan pula nabi yang dicintai Allah sebagaimana diyakini orang muslim. Tapi haruskah iman cocok dengan sebuah teks historis? Ketika l'Ecole Biblique et Archeologique didirikan di tahun 1890 di Yerusalem, justru itulah semangatnya: membekali para penelaah Katolik dengan keahlian akademis. Iman harus tak terbentur oleh temuan arkeologis. Tapi saya ragu, bisakah ambisi seperti yang tecermin dari l'Ecole Biblique tercapai. Sebab mungkin saja kisah Yesus dalam Injil dan kisah sang Pemimpin dalam naskah Qumran akan selalu berselisih satu sama lain, atau berselisih dalam diri masing-masing?dengan catatan: kata "selisih" tak dengan sendirinya berarti "sengketa". Ada tulisan yang sama dari Kitab Suci, ada tulisan yang sama dari papirus purba Laut Mati, tapi tak dengan sendirinya akan ada arti yang sama dalam tafsir yang berbeda. Tentu, saya pun berpikir bahwa banyak orang kini, melalui Derrida, yang berlebihan ketika mengatakan bahwa dalam soal pemberian arti, "yang ada hanya konteks demi konteks, tanpa pusat ataupun keterjangkaran yang mutlak". Berlebihan, sebab juga konteks tak bisa dihadirkan secara utuh dan kukuh. Katakanlah konteks "Vatikan-di-zaman-ini". Kita sebenarnya tak bisa mengartikan secara final makna kalimat itu. Tapi toh dalam posisi yang berbeda, orang yang berbeda menggunakan teks yang sama untuk sebuah niat tertentu dalam berujar secara tertentu. Maka, memang ada sesuatu yang melintasi konteks yang berlain-lainan. Namun "sesuatu" itu tak akan bisa dipatok dan jadi kekal. Dalam keadaan itulah ada orang yang ketakutan. Mereka kaum fundamentalis: kaum yang menginginkan sesuatu, dalam teks, yang terjangkar secara abadi. Di tengah dunia yang praktis tak punya pusat dan tanpa sauh, mereka?saya selalu teringat kata-kata Karen Armstrong dalam
The Battle for God?"mendefinisikan doktrin, membangun rintangan, menegakkan tapal batas dan memisahkan mereka yang beriman dalam sebuah tempat-terpisah yang suci di mana hukum dengan keras diberlakukan". Sebenarnya menyedihkan. Kini kita toh tahu tempat-terpisah yang suci itu tak mungkin lagi. Juga di dasar hening sederet gua di Laut Mati.
Goenawan Mohamad