Saya tinggal di sebuah kota yang aneh, mungkin menarik, karena keajaiban terjadi tiap hari dengan cara yang sederhana: keajaiban seorang petugas pos yang mengantar sebuah bingkisan ke sebuah rumah. Bayangkan: bingkisan itu sampai. Bayangkan: bingkisan itu tak sesat ke alamat lain, sementara "alamat" di kota ini adalah sebuah persoalan politik dan pertanyaan filsafat. Di kota-kota lain, sebuah alamat bukanlah sekadar sebuah nomor gedung atau rumah di sebuah jalan. Di kota-kota lain, nomor dan nama jalan adalah indikator sebuah sistem: gedung bernomor 6 di jalan yang bernama X akan berdiri di samping atau seberang rumah nomor 5 dan 4 di jalan yang sama. Tapi kota saya adalah sebuah kota yang aneh, mungkin menarik, karena di jalan tempat saya berkantor, ada rumah bernomor 68-H. Seorang pendatang akan berasumsi bahwa di jalan ini pasti ada beberapa buah bangunan dengan nomor 68, paling sedikit delapan. Tapi mungkin juga ia akan bertanya: jika ada 68-H, mungkin ada 68-J, dan jika demikian, kenapa tak diteruskan sampai ke 68-Z? Kenapa deretan bangunan itu tak diberi nomor yang berbeda? Pertanyaan itu dapat lebih panjang jika kemudian si pendatang tahu bahwa di jalan itu ada sebuah rumah bernomor 68 (tanpa tambahan huruf) yang terletak di sekitar 400 meter jauhnya dari nomor 68-H, seakan-akan sebuah anggota keluarga yang terpisah. Sang pendatang, mungkin ia seorang petugas pos dari kota lain, akan mengatakan, "Ah, ada yang tak beres di sini." Tapi penduduk kota saya mungkin akan menjawab, "Kenapa rumah bernomor 68 harus berada di sebelah rumah bernomor 67? Kenapa rumah saya harus termasuk ke dalam satu sistem yang sama dengan rumah tetangga saya yang suka menyiksa kucing?" Sejarah sebuah kota bisa ditulis dari sejarah nomor rumah, dan di kota saya, itu berarti dari cerita keajaiban sehari-hari seorang petugas pos. Bagaimanapun, nomor rumah, atau alamat kantor, berkait dengan penentuan identitas seseorang dan kekuasaan yang menentukan identitas itu. Saya tak tahu bagaimana kekuasaan di kota saya ini muncul, dipertahankan, dan dinilai. Juga saya tak tahu apa arti "alamat" dan "rumah" di sini. Di Paris, misalnya, keharusan menomori rumah sudah berlaku sejak 1805, dengan titah Napoleon. Dengan itu, kekuasaan pun datang, melihat, menang. Modernitas bermula dari langkah kecil-kecil ini, ketika sebuah ruang, dalam hal ini kota, diterjemahkan jadi angka dan manusia jadi praktis tapi juga terdesak. Pada tahun 1836, Balzac menulis dalam novelnya Modeste Mignon: "Perempuan Prancis yang malang! Kalian mungkin ingin tetap tak diketahui agar dapat meneruskan pacaran kalian. Tapi bagaimana kalian bisa melakukannya, di sebuah peradaban yang mencatat keberangkatan dan kedatangan kereta di tempat-tempat umum, dan yang menyediakan rumah dengan nomor." Dengan nomor, hidup dan milik yang privat langsung jadi bagian dari sebuah register yang tak berada di tangan si pemilik. Bahkan dulu, di RRC atau di Vietnam, ketika kekuasaan partai komunis menjangkau ke setiap sudut, di setiap blok kota bersiap seorang pengawas, yang lebih kuasa ketimbang ketua RT kita. Di Beijing dan Hanoi, politik tak berhenti di depan jendela. Sebuah kamar adalah tempat pergulatan antara mana yang "aku" dan mana yang "kami". Tentu saja pergulatan itu tak hanya berlangsung di sana. Namun, yang menyebabkan orang di luar sosialisme berbeda ialah kapasitas mereka menampik kontrol: mereka coba mengklaim kembali apa yang hilang dari kehidupan privat mereka di kota besar. Jika Anda seorang pemilik, Anda akan menebusnya dengan menjadikan rumah (dan harta benda Anda) bagian yang intim dengan diri Anda. Kaum borjuasi, kata Walter Benjamin tentang Paris di masa pemerintahan Louis-Philippe di abad ke-19, "mencari kompensasi itu di antara empat dindingnya". Payung, arloji saku, dan cangkir telur diberi bungkus atau peti, dirawat, intim, terkadang dengan dihiasi huruf khusussebuah ikhtiar untuk melupakan apa yang abstrak di alam benda di kamar itu. Seakan-akan mereka bukan barang yang dapat dipertukarkan, seakan-akan mereka bukan komoditi, seakan-akan dengan itu apa yang spesial dan yang unik dari si payung, si arloji, dan si cangkir telur, akan jadi kekal. Rumah pun jadi peti. Milik dan eksistensi seakan-akan jadi satu. Mungkin itu sebabnya kota saya aneh: di jalan tempat saya bekerja, nomor rumah tak bisa berurutan, jangan-jangan karena orang-orang menampik apa yang datang dari administrasi kota: kekuasaan itu begitu memuakkan atau tak bisa dipercaya. Rumahku, nomorku, akuyang membentuk bukanlah "mereka" itu. Orang-orang yang tak berpunya, yang indekos di bedeng-bedeng, yang gelandangan, menampik kekuasaan itu dengan cara yang lebih singkat: mereka menghilang dalam kelimun kota besar. Tapi borjuasi kecil-kecil yang tinggal di jalan tempat saya bekerja mungkin hidup di kota dengan kenangan kuat tentang pedalaman. Di sana, rumah adalah dunung. Dalam pengertian Jawa, dunung adalah tempat yang tak hanya sebuah satuan tiga dimensi, tapi, seperti dikatakan Gaston Bachelard yang menulis tentang "poetika ruang", sebuah rumah yang "datang dari tanah". Ada yang hampir keramat dan mutlak dalam rumah seperti itusesuatu yang indah dan sentimental yang hilang dalam cepatnya pergantian milik dan alamat di kota besar. Terkadang saya bertanya apakah "poetika" itu perlu. Sebab tak semua kota harus aneh, mungkin menarik, seperti kota tempat saya tinggal.
Goenawan Mohamad