Ulangan

Penulis

Senin, 4 Juni 2001 00:00 WIB

Sejarah berulang, pertama-tama sebagai tragedi, kemudian sebagai banyolan Karl Marx Ini sebuah insiden?yang bisa dianggap penting, bisa juga tidak?dalam sejarah Indonesia, pada suatu hari, tanggal 17 Oktober 1953. Pukul 8:00 pagi. Sekitar 5.000 orang mendadak muncul berbondong-bondong sebagai demonstran di jalan-jalan Jakarta. Mereka kebanyakan buruh. Tapi mereka membawa spanduk yang dicat rapi. Mereka berhimpun di luar gedung parlemen. Kata-kata "Bubarkan Parlemen", "Parlemen Bukan Warung Kopi", "Pemilihan Umum Secepatnya" tampak dikibarkan. Makin lama mereka makin merangsek ke gedung perwakilan rakyat itu. Sebagian berhasil masuk. Sejumlah kursi diempaskan, kafetaria dirusak. Setelah kekerasan itu, para demonstran pun keluar, berkeliling kota. Kian lama lebih banyak orang yang bergabung. Di kantor Wakil Presiden Hatta, mereka menyampaikan sebuah petisi. Setelah itu, dalam jumlah sekitar 30.000 orang, mereka datang ke Istana Merdeka. Bung Karno mendengar suara hiruk itu, dan setelah mendapatkan laporan, ia keluar, menuju ke pagar Istana. Tepuk tangan terdengar menyambut. Presiden mendengarkan tuntutan mereka. Saya tak tahu persis telah mendugakah ia apa latar belakang itu semua, tapi ia pagi itu tak hendak memenuhi permintaan para demonstran untuk membubarkan parlemen. "Aku tidak mau jadi diktator!" suaranya mantap, disiarkan oleh RRI ke seluruh Indonesia. Yang tak diceritakan dalam laporan itu ialah bahwa di luar Istana tampak dua buah tank, sejumlah kendaraan berlapis baja, dan empat pucuk kanon. Di antaranya ada yang diarahkan ke arah Bung Karno. Tapi Presiden tak kehilangan wibawa. Justru ia membuktikan betapa besar pengaruhnya. Pada pukul 10:15, ia selesai berpidato. Orang ramai itu pun bubar. Dan sebagian besar rakyat Indonesia hari itu tak menyadari bahwa eksperimen negeri mereka dengan sebuah demokrasi parlementer nyaris dihentikan. Kemudian diketahui bahwa di belakang demonstrasi itu bergerak sejumlah perwira TNI. Mereka merasa resah dengan "campur tangan" politisi sipil ke dalam tubuh mereka. Mereka tak tahan dengan perilaku para wakil rakyat itu. Tapi mereka tak punya cara lain selain memilih jalan paksa: sebuah perilaku dari mereka yang bukan saja tak sabar, tapi juga terpojok. Dan Bung Karno? Ia pasti tahu bahwa para demonstran itu tak bisa disebut sebagai pembawa suara rakyat?meskipun ia juga tahu bahwa DPR (waktu itu belum pemilihan umum) juga bukan. Tapi ia menolak untuk menggunakan Pasal 84 UUDS, yang memberi wewenang kepada Presiden untuk membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu 30 hari. Kenapa? Ia bukan seorang yang, seperti Sjahrir, menyukai proses demokrasi parlementer. Ia sendiri, lima tahun kemudian, berseru: "Indonesia, carilah demokrasimu sendiri!" Di tahun 1958 ia (dengan dukungan militer) membubarkan lembaga perwakilan yang justru telah dipilih rakyat, memperkenalkan sistem "Demokrasi Terpimpin", dan tak mengatakan lagi bahwa ia tak mau jadi diktator. Ia menyebut diri "Pemimpin Besar Revolusi". Seluruh lembaga negara diletakkannya di bawah kekuasaannya. Kenapa pada tanggal 17 Oktober 1953 Bung Karno menolak membubarkan parlemen dan kenapa pada tanggal 5 Juli 1958 tidak? Indonesia memang sedang mencoba-coba. Demokrasi parlementer dianggap tak bisa jalan. "Demokrasi Terpimpin" kemudian terbukti gagal. Ketika diteruskan oleh Presiden Soeharto dalam versi lain, juga akhirnya buntu: dalam demokrasi seperti itu, sang pemimpin akhirnya jadi fondasi segala hal. Ia kian lama kian jadi sebuah reproduksi monolognya sendiri. Saya ingat sebelum tahun 1958 Bung Hatta berhenti sebagai wakil presiden. Ia diam untuk beberapa lama. Kemudian ia menulis sebuah risalah berjudul Demokrasi Kita, mengecam tindakan Bung Karno, dan buku kecil itu segera dilarang. Ya, sebenarnya serangkai tragedi. Tapi sejarah seperti berulang di tahun 2001. Sejumlah orang datang ke Istana. Mereka meminta agar Presiden Abdurrahman membubarkan parlemen dan mempercepat pemilihan umum. Jika kita simak baik-baik beda antara tahun 1953, 1958, dan tahun 2001, kita akan melihat bahwa tragedi itu?mengikuti Marx?memang jadi sebuah farce. Para penganjur dekrit tak punya kekuatan yang berarti: tak ada tank, panser, kanon. Ada yang mengatakan bahwa "Rakyat" di belakang mereka?tapi "Rakyat" di sini adalah sepatah mantera, atau sebuah kata abstrak, yang hanya besar di megafon. Sebab "rakyat", yang bukan kata abstrak, yang bukan makhluk mitologis, akhirnya adalah mereka yang telah memberikan suara untuk partai-partai yang kini duduk sah di parlemen?yang tak akan setuju bila DPR dibubarkan. Dengan kata lain, sejarah telah berulang untuk kedua kalinya dan tak ada yang bikin kita berdebar, terharu, ataupun cemas. Apa yang terjadi? Mungkin saya bisa menggunakan istilah Judith Butler di sini: inilah sebuah "parodic performance". Ada pengulangan, seakan-akan si pelaku mengikuti sebuah pola, tapi sebenarnya mempermainkannya. Tapi mungkin saya salah. Unsur penting dalam setiap parodi adalah posisi yang mengambil jarak dari sikap yang kelewat serius. "Parodic performance" bukanlah untuk mereka yang teramat yakin akan ide-idenya sendiri. "Parodic performance" adalah bagi mereka yang tak punya ilusi tentang grandeur, dan bisa tahu batas. Kalau tidak, yang tersaji adalah sebuah banyolan, dan tak disengaja. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Gelombang Protes Kampus Pro-Palestina di Amerika Serikat Direpresi Aparat, Dosen Pun Kena Bogem

2 hari lalu

Gelombang Protes Kampus Pro-Palestina di Amerika Serikat Direpresi Aparat, Dosen Pun Kena Bogem

Polisi Amerika Serikat secara brutal menangkap para mahasiswa dan dosen di sejumlah universitas yang menentang genosida Israel di Gaza

Baca Selengkapnya

Mahasiswa Adukan Universitas Columbia Soal Represi Demo Pro-Palestina

2 hari lalu

Mahasiswa Adukan Universitas Columbia Soal Represi Demo Pro-Palestina

Mahasiswa Universitas Columbia mengajukan pengaduan terhadap universitas di New York itu atas tuduhan diskriminasi dalam protes pro-Palestina

Baca Selengkapnya

Gelombang Protes Dukung Palestina Menyebar di Kampus Bergengsi di AS

3 hari lalu

Gelombang Protes Dukung Palestina Menyebar di Kampus Bergengsi di AS

Mahasiswa di sejumlah kampus bergengsi di Amerika Serikat menggelar protes untuk menyatakan dukungan membela Palestina.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

7 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Google Kembali Melakukan PHK, Ini Alasannya

9 hari lalu

Google Kembali Melakukan PHK, Ini Alasannya

Dalam beberapa bulan terakhir Google telah melakukan PHK sebanyak 3 kali, kali ini berdampak pada 28 karyawan yang melakukan aksi protes.

Baca Selengkapnya

Eks Danjen Kopassus Soenarko hingga Din Syamsuddin Hadiri Demo di MK Jelang Putusan Sengketa Pilpres

9 hari lalu

Eks Danjen Kopassus Soenarko hingga Din Syamsuddin Hadiri Demo di MK Jelang Putusan Sengketa Pilpres

Din Syamsuddin dan eks Danjen Kopassus, Soenarko, turut hadir di unjuk rasa jelang putusan MK soal sengketa Pilpres 2024

Baca Selengkapnya

Polisi Kerahkan 2.713 Personel Jaga Demo Jelang Putusan Gugatan Pilpres di MK

9 hari lalu

Polisi Kerahkan 2.713 Personel Jaga Demo Jelang Putusan Gugatan Pilpres di MK

2.713 personel gabungan dikerahkan untuk menjaga demonstrasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) jelang putusan sengketa Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Demo Gugatan Pilpres di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat Ditutup

9 hari lalu

Jelang Demo Gugatan Pilpres di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat Ditutup

Polisi mulai menutup Jalan Medan Merdeka Barat menyusul rencana demonstrasi jelang sidang putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Selengkapnya

Prabowo Minta Demo di Depan Gedung MK Dibatalkan, Haris Rusli: Beliau Khawatir Ada Gesekan dan Benturan Sosial

9 hari lalu

Prabowo Minta Demo di Depan Gedung MK Dibatalkan, Haris Rusli: Beliau Khawatir Ada Gesekan dan Benturan Sosial

Komandan Tim Kampanye Nasional bidang relawan Haris Rusli Moti menyatakan, Prabowo meminta penghentian aksi damai di depan gedung MK

Baca Selengkapnya

Suasana Gedung KPU Sehari Setelah Penetapan Hasil Pemilu: Jalan Sudah Dibuka, Tak Ada Demo

38 hari lalu

Suasana Gedung KPU Sehari Setelah Penetapan Hasil Pemilu: Jalan Sudah Dibuka, Tak Ada Demo

Begini suasana di kawasan Gedung KPU RI sehari setelah penetapan hasil Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya