Sejarah berulang, pertama-tama sebagai tragedi, kemudian sebagai banyolan
Karl Marx Ini sebuah insiden?yang bisa dianggap penting, bisa juga tidak?dalam sejarah Indonesia, pada suatu hari, tanggal 17 Oktober 1953. Pukul 8:00 pagi. Sekitar 5.000 orang mendadak muncul berbondong-bondong sebagai demonstran di jalan-jalan Jakarta. Mereka kebanyakan buruh. Tapi mereka membawa spanduk yang dicat rapi. Mereka berhimpun di luar gedung parlemen. Kata-kata "Bubarkan Parlemen", "Parlemen Bukan Warung Kopi", "Pemilihan Umum Secepatnya" tampak dikibarkan. Makin lama mereka makin merangsek ke gedung perwakilan rakyat itu. Sebagian berhasil masuk. Sejumlah kursi diempaskan, kafetaria dirusak. Setelah kekerasan itu, para demonstran pun keluar, berkeliling kota. Kian lama lebih banyak orang yang bergabung. Di kantor Wakil Presiden Hatta, mereka menyampaikan sebuah petisi. Setelah itu, dalam jumlah sekitar 30.000 orang, mereka datang ke Istana Merdeka. Bung Karno mendengar suara hiruk itu, dan setelah mendapatkan laporan, ia keluar, menuju ke pagar Istana. Tepuk tangan terdengar menyambut. Presiden mendengarkan tuntutan mereka. Saya tak tahu persis telah mendugakah ia apa latar belakang itu semua, tapi ia pagi itu tak hendak memenuhi permintaan para demonstran untuk membubarkan parlemen. "Aku tidak mau jadi diktator!" suaranya mantap, disiarkan oleh RRI ke seluruh Indonesia. Yang tak diceritakan dalam laporan itu ialah bahwa di luar Istana tampak dua buah tank, sejumlah kendaraan berlapis baja, dan empat pucuk kanon. Di antaranya ada yang diarahkan ke arah Bung Karno. Tapi Presiden tak kehilangan wibawa. Justru ia membuktikan betapa besar pengaruhnya. Pada pukul 10:15, ia selesai berpidato. Orang ramai itu pun bubar. Dan sebagian besar rakyat Indonesia hari itu tak menyadari bahwa eksperimen negeri mereka dengan sebuah demokrasi parlementer nyaris dihentikan. Kemudian diketahui bahwa di belakang demonstrasi itu bergerak sejumlah perwira TNI. Mereka merasa resah dengan "campur tangan" politisi sipil ke dalam tubuh mereka. Mereka tak tahan dengan perilaku para wakil rakyat itu. Tapi mereka tak punya cara lain selain memilih jalan paksa: sebuah perilaku dari mereka yang bukan saja tak sabar, tapi juga terpojok. Dan Bung Karno? Ia pasti tahu bahwa para demonstran itu tak bisa disebut sebagai pembawa suara rakyat?meskipun ia juga tahu bahwa DPR (waktu itu belum pemilihan umum) juga bukan. Tapi ia menolak untuk menggunakan Pasal 84 UUDS, yang memberi wewenang kepada Presiden untuk membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu 30 hari. Kenapa? Ia bukan seorang yang, seperti Sjahrir, menyukai proses demokrasi parlementer. Ia sendiri, lima tahun kemudian, berseru: "Indonesia, carilah demokrasimu sendiri!" Di tahun 1958 ia (dengan dukungan militer) membubarkan lembaga perwakilan yang justru telah dipilih rakyat, memperkenalkan sistem "Demokrasi Terpimpin", dan tak mengatakan lagi bahwa ia tak mau jadi diktator. Ia menyebut diri "Pemimpin Besar Revolusi". Seluruh lembaga negara diletakkannya di bawah kekuasaannya. Kenapa pada tanggal 17 Oktober 1953 Bung Karno menolak membubarkan parlemen dan kenapa pada tanggal 5 Juli 1958 tidak? Indonesia memang sedang mencoba-coba. Demokrasi parlementer dianggap tak bisa jalan. "Demokrasi Terpimpin" kemudian terbukti gagal. Ketika diteruskan oleh Presiden Soeharto dalam versi lain, juga akhirnya buntu: dalam demokrasi seperti itu, sang pemimpin akhirnya jadi fondasi segala hal. Ia kian lama kian jadi sebuah reproduksi monolognya sendiri. Saya ingat sebelum tahun 1958 Bung Hatta berhenti sebagai wakil presiden. Ia diam untuk beberapa lama. Kemudian ia menulis sebuah risalah berjudul
Demokrasi Kita, mengecam tindakan Bung Karno, dan buku kecil itu segera dilarang. Ya, sebenarnya serangkai tragedi. Tapi sejarah seperti berulang di tahun 2001. Sejumlah orang datang ke Istana. Mereka meminta agar Presiden Abdurrahman membubarkan parlemen dan mempercepat pemilihan umum. Jika kita simak baik-baik beda antara tahun 1953, 1958, dan tahun 2001, kita akan melihat bahwa tragedi itu?mengikuti Marx?memang jadi sebuah farce. Para penganjur dekrit tak punya kekuatan yang berarti: tak ada tank, panser, kanon. Ada yang mengatakan bahwa "Rakyat" di belakang mereka?tapi "Rakyat" di sini adalah sepatah mantera, atau sebuah kata abstrak, yang hanya besar di megafon. Sebab "rakyat", yang bukan kata abstrak, yang bukan makhluk mitologis, akhirnya adalah mereka yang telah memberikan suara untuk partai-partai yang kini duduk sah di parlemen?yang tak akan setuju bila DPR dibubarkan. Dengan kata lain, sejarah telah berulang untuk kedua kalinya dan tak ada yang bikin kita berdebar, terharu, ataupun cemas. Apa yang terjadi? Mungkin saya bisa menggunakan istilah Judith Butler di sini: inilah sebuah "
parodic performance". Ada pengulangan, seakan-akan si pelaku mengikuti sebuah pola, tapi sebenarnya mempermainkannya. Tapi mungkin saya salah. Unsur penting dalam setiap parodi adalah posisi yang mengambil jarak dari sikap yang kelewat serius. "
Parodic performance" bukanlah untuk mereka yang teramat yakin akan ide-idenya sendiri. "
Parodic performance" adalah bagi mereka yang tak punya ilusi tentang
grandeur, dan bisa tahu batas. Kalau tidak, yang tersaji adalah sebuah banyolan, dan tak disengaja.
Goenawan Mohamad