KEMARIN saya berjumpa dengan seseorang yang berhenti membaca koran. Dari balik jendela mobilnya, ia akan melihat para penjaja surat kabar mengacungkan halaman pertama, dan akan tampak huruf-huruf besar membentuk headline. Tapi ia sadar, ia hanya melihat berita itu seperti ia melihat seekor tikus gempal yang melintas di kakus umum: ia tersentak sejenak, tapi tak akan tergerak pantat dan kakinya untuk mengambil sikap kepada hal-ihwal. "Dan bukan hanya saya yang begitu," katanya. Apatisme memang punya daya bius. Tapi ke manakah akhirnya? Koran tetap dicetak, berita tak putus berseliweran, tapi tampaknya informasi dan opini yang disajikan kepada orang ramai telah berhenti memberikan sesuatu yang berarti. Jika ada yang sedang mati kering sekarang, itu adalah rasa terlibat ke dalam sebuah dunia tempat kecelakaan, pembunuhan, kekonyolan, perang, atau korupsi, juga kemenangan dan prestasi, bukan hanya perkara orang lain, di sebuah jarak yang dingin. Kemauan untuk mengetahui, memikirkan, mengubah, atau menggalakkan pelbagai hal yang baik dan yang buruk dalam kehidupan bersama sedang menghilang. Dunia susut jadi kamar tersendiri di rumah petak. "Ah, politik begitu menjengkelkan sekarang," kata orang yang berhenti membaca koran itu. Hari-hari ini, politik memang kehilangan adegan yang memukau. Tak ada tinju yang dikepalkan dengan heroik seperti ketika orang tegak menantang sebuah rezim yang menakutkan. Politik bukan lagi konfrontasi, keberanian bukan lagi hal yang spesial. Pada saat yang sama, di dalam dan di luar parlemen dan partai-partai, tak tampak ada gairah untuk menggapai sesuatu yang luhur, hebat, dan abadi. Orang mengeluh bahwa inilah zaman besar yang dibopong orang-orang yang kerdil. Kita tak punya seorang Hatta lagi, kita tak punya seorang Mandela. Maka orang pun merindukan sesuatu yang lain, dengan atau tanpa membaca koran. Mungkin itu sebabnya ulasan politik oleh kaum cerdik cendekia sering terdengar seperti sebuah kritik terhadap keletihan moral: bukan sebuah deskripsi, melainkan sebuah imbauan, bukan sebuah analisis, melainkan paparan cita-cita. Pasti ada yang kurang ketika para cerdik cendekia mengeluhkan keadaan namun sebenarnya hanya bisa mengutarakan apa yang seharusnya ada. Mereka tak bicara bagaimana yang seharusnya itu didapat. Normatif dalam analisis, mencampur-baur "apa-adanya" dengan "apa-yang-seharusnya", terkadang mereka hanya seperti pemberi petuah budi pekerti. Mereka sebenarnya di jalan buntu. Di situlah Machiavelli berbeda dan memberi sumbangan besar kepada ilmu politik. Ia membedakan antara "kebenaran efektif dari hal-ihwal" dan "republik dan monarki imajiner yang tak pernah tampak atau tak pernah diketahui adanya." Ia menampik para pemikir politik sebelumnya yang hanya sibuk mengutarakan "republik dan monarki imajiner" itu, dan sebab itu tak mampu membimbing para penguasa untuk menjalankan perannya di dunia nyata. Sebab di dunia nyata, para pemimpin politik kebanyakan bukanlah pemikir yang luas pandangan; tak ada Republik yang diidamkan Plato. Di dunia nyata, tiap manusia terbatas oleh tempurung masing-masing. Dan kita hidup dengan warisan Cervantes. Para ksatria telah punah. Kita, dengan Don Quixote, tahu bahwa laki-laki tua yang naik kuda rombeng itu, yang membayangkan diri seorang Don yang bersedia berperang untuk menegakkan nilai-nilai yang luhur itu, adalah tetap Alonzo Quixano yang miskin. Bila ia meninggalkan rumahnya buat bertualang dan berperang untuk memperbaiki dunia, itu karena ia majenun. Ia terlampau banyak membaca dongeng kepahlawanan. Namun dari tangan Cervantes, Don Quixote tak jadi sebuah paparan yang sinis tentang manusia. Ada yang justru mengharukan dalam diri Alonzo Quixanosesuatu yang mungkin menyebabkan Sancho Panza, seorang petani dengan pikiran sederhana, mengikutinya dengan setia, antara percaya dan tidak. Sebab itu Don Quixote bukan hanya sebuah cemooh kepada sikap ksatria ketika dunia mengunggulkan pasar. Cerita ini mungkin malah berlatarkan sebuah pemandangan yang sayu: di sana, laku politik yang berani, mulia, dan imajinatif adalah perbuatan yang ganjil. Di situlah Sancho Panza tampil sebagai tokoh penting. "Ajaibilah aku tanpa keajaiban!" serunya suatu kali. Ia tak punya waham. Ia tahu bahwa bertempur melawan kincir angin bukanlah bertempur melawan raksasa yang menyamar dengan sihir. Ia tak melihatnya sebagai suatu konfrontasi yang dramatik. Ia bisa hidup tanpa drama. Tapi ia tak meninggalkan Alonzo Quixano dan impiannya. Bagi Sancho, hidup (juga politik) adalah kiat untuk beroperasi di celah-celah apa yang mungkin. Tapi "the art of the possible" berarti tetap memerlukan art, membutuhkan kiat. Sebab hidup tak hanya sepenuhnya terdiri atas yang "apa yang mungkin". Ternyata manusia juga bisa menghendaki sesuatu yang lebih, yang pelik dan dalam, misalnya keadilan. Dengan kata laindan inilah yang tak dilihat Machiavelliterkadang ada sesuatu yang berharga, yang berada di luar tatanan praktis yang mendorong manusia membuat sejarah. Justru karena miskin, Sancho bisa dekat dengan Don Quixote. Sebab itu ia berbeda dengan teman kita yang tak ingin terlibat di dunia, di mana yang luhur diperjuangkan tatkala yang busuk menyebar. Seandainya ia hidup di antara kita, Sancho mungkin juga akan mengeluh, "Ah, politik begitu menjengkelkan sekarang." Tapi seraya ia tahu zaman telah jadi mustahil bagi Don Quixote, ia berjalan setia di samping tukang mimpi itu. Ia tahu hanya manusialah yang bisa bermimpi dan menyiapkan perubahan, justru di dunia yang tak terpenuhi. "Manusia menentukan, Tuhan mengecewakan," begitulah ia berkata.
Goenawan Mohamad