Menggadaikan Kemandirian BPK

Penulis

Rabu, 24 September 2014 00:20 WIB

Reza Syawawi,
Periset Transparency International Indonesia

Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memilih lima anggota Badan Pemeriksa Keuangan periode 2014-2019 melalui pemungutan suara. Dua orang merupakan anggota DPR periode 2009-2014, yaitu Achsanul Qosasi (Partai Demokrat) dan Harry Azhar Azis (Partai Golkar).

Keterpilihan politikus dalam jajaran anggota BPK tersebut layak dipersoalkan karena berpotensi besar mengganggu prinsip "bebas dan mandiri" yang seharusnya dianut lembaga BPK. Konstitusi secara tegas menganut prinsip tersebut dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945: "untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri".

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, regulasi sangat jelas memberikan keleluasaan terhadap anggota partai politik untuk dapat menjadi anggota BPK. Prinsip "bebas dan mandiri" sama sekali diakomodasi dalam undang-undang ini yang terkait dengan syarat untuk menjadi anggota BPK.

Sebagai salah satu lembaga negara yang disebutkan di dalam konstitusi, fakta ini cukup mengejutkan dan seolah hilang dari pantauan publik. Undang-Undang BPK yang telah ada sejak 2006 tetap digunakan dan tidak dipersoalkan, padahal berpotensi besar merusak daya kerja BPK.

Konstitusi memang mengatur bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tapi syarat untuk menjadi anggota BPK tidak diatur dalam konstitusi dan diserahkan kepada undang-undang untuk mengaturnya, tapi syarat tersebut juga harus menjamin dan memastikan kebebasan dan kemandirian BPK.

Untuk membandingkan esensi dalam prinsip "mandiri" menurut konstitusi, sangat relevan jika membaca kembali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Putusan Nomor 81/PUU-IX/2011). Perbandingan ini cukup beralasan untuk dijadikan rujukan ke depan, setidaknya dengan dua alasan. Pertama, BPK dan lembaga penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) sama-sama diatur dalam konstitusi sebagai lembaga yang mandiri. Kedua, materi pengujian atas Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum sama dengan substansi yang dipermasalahkan di dalam Undang-Undang BPK, yaitu menyangkut anggota partai politik yang menjadi anggota penyelenggara pemilu dan anggota BPK.

Menurut putusan MK (pertimbangan 3.14), istilah "mandiri" merujuk pada latar belakang historis proses perubahan UUD 1945 terkait erat dengan konsep non-partisan. Atas pertimbangan ini, MK kemudian memutuskan untuk merumuskan syarat "non-partisan" tersebut: "syarat mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik harus dimaknai sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun pada saat mendaftar sebagai calon".

Sekalipun syarat anggota BPK di dalam Undang-Undang tentang BPK belum diuji di MK, pertimbangan dan putusan MK terkait dengan lembaga negara yang "mandiri" harus dijadikan rujukan untuk menilai konstitusionalitasnya. Sayangnya, pembentuk undang-undang tidak responsif terhadap perkembangan hukum yang terjadi seusai putusan MK tersebut.

Jika dibaca secara cermat, Undang-Undang tentang BPK sesungguhnya jauh lebih buruk, Pasal 13 yang memuat syarat-syarat untuk menjadi anggota BPK sama sekali tidak mencantumkan syarat untuk mengundurkan diri bagi calon yang berasal dari partai politik. Kondisi itulah yang kemudian membuat terpilihnya anggota BPK yang secara faktual masih menjadi anggota partai politik.

Bagi penyelenggara pemilu, prinsip "mandiri" ditujukan agar mampu bersikap adil dan netral terhadap peserta pemilu. Bagi BPK, prinsip "mandiri" ditujukan agar daya kerja BPK tidak dirusak oleh afiliasi politik anggota BPK terhadap pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dan lembaga lain yang mengelola keuangan negara (termasuk DPR/D). Potensi "perselingkuhan" kepentingan sangat mungkin terjadi lantaran mayoritas pemimpin politik, baik di pusat maupun di daerah, juga berasal dari partai politik.

Sebagai lembaga audit negara yang dijamin oleh konstitusi, BPK seyogianya diisi oleh orang-orang yang bukan hanya memiliki kapabilitas, tapi juga wajib hukumnya untuk menjamin kemandirian lembaga tersebut. Keterpilihan anggota partai politik dalam jajaran anggota BPK semakin menambah panjang deretan lembaga-lembaga independen yang kemudian dimasuki oleh partai politik.

Perbaikan regulasi terkait dengan syarat anggota BPK sangat penting untuk segera dilakukan dengan merujuk pada putusan MK yang telah ada. Jika tidak, agak sulit rasanya berharap adanya perbaikan terhadap kinerja BPK jika diisi oleh kelompok partisan.

Dengan fakta yang terjadi saat ini, agak sulit untuk tidak mengatakan bahwa memang "BPK Cap Politikus". Inilah situasi di mana DPR sebagai lembaga yang diamanahkan oleh konstitusi untuk meneguhkan kemandirian BPK justru menjadi aktor yang "menggadaikan" kemandirian tersebut.

BPK

Berita terkait

Begini Jawaban BRIN soal Perintah Pengosongan Rumah Dinas di Puspitek Serpong

5 hari lalu

Begini Jawaban BRIN soal Perintah Pengosongan Rumah Dinas di Puspitek Serpong

Manajemen BRIN angkat bicara soal adanya perintah pengosongan rumah dinas di Puspitek, Serpong, Tangerang Selatan.

Baca Selengkapnya

Anggota Dewan Sebut Program Rice Cooker Gratis Kementerian ESDM Abal-abal, Harus Diaudit BPK

40 hari lalu

Anggota Dewan Sebut Program Rice Cooker Gratis Kementerian ESDM Abal-abal, Harus Diaudit BPK

Program rice cooker gratis merupakan proyek hibah untuk rumah tangga yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2023.

Baca Selengkapnya

Terpopuler Bisnis: Maksud PUPR Pembangunan IKN Gerudukan dan Was-was Diperiksa BPK, Kereta Ekonomi Generasi Baru

43 hari lalu

Terpopuler Bisnis: Maksud PUPR Pembangunan IKN Gerudukan dan Was-was Diperiksa BPK, Kereta Ekonomi Generasi Baru

Berita terpopuler ekonomi bisnis sepanjang Jumat, 22 Maret 2024 yakni maksud PUPR sebut pembangunan IKN gerudukan dan was-was diperiksa BPK.

Baca Selengkapnya

Terkini: Prabowo Pernah Janji Bangun 3 Juta Rumah Gratis untuk Masyarakat, BPK Sudah Mengaudit Proyek Gerudukan IKN Sejak 2022

43 hari lalu

Terkini: Prabowo Pernah Janji Bangun 3 Juta Rumah Gratis untuk Masyarakat, BPK Sudah Mengaudit Proyek Gerudukan IKN Sejak 2022

KPU menyatakan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) unggul dalam Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

BPK Sudah Mengaudit Proyek Gerudukan IKN sejak 2022, Ini Hasilnya

43 hari lalu

BPK Sudah Mengaudit Proyek Gerudukan IKN sejak 2022, Ini Hasilnya

Pembangunan IKN di Kalimantan Timur yang dilakukan besar-besaran dan berkejaran dengan waktu,

Baca Selengkapnya

Terkini: PUPR Sebut Pembangunan IKN Gerudukan dan Was-was Diperiksa BPK, KFC dan Burger King hingga Popeyes Tebar Promo Paket Berbuka Puasa

44 hari lalu

Terkini: PUPR Sebut Pembangunan IKN Gerudukan dan Was-was Diperiksa BPK, KFC dan Burger King hingga Popeyes Tebar Promo Paket Berbuka Puasa

Direktur Bina Penataan Bangunan Kementerian PUPR Cakra Nagara mengatakan pembangunan IKN dilakukan gerudukan dan khawatir dengan pemeriksaan BPK.

Baca Selengkapnya

Pembangunan Infrastruktur di IKN Telan Biaya Rp 68 Triliun, PUPR Mengaku Was-was dengan Audit BPK

44 hari lalu

Pembangunan Infrastruktur di IKN Telan Biaya Rp 68 Triliun, PUPR Mengaku Was-was dengan Audit BPK

Kementerian PUPR mengaku was-was dengan audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) soal pembangungan Ibu Kota Nusantara atau IKN.

Baca Selengkapnya

PUPR Sebut Pembangunan IKN Gerudukan dan Was-was Diperiksa BPK, Apa Maksudnya?

44 hari lalu

PUPR Sebut Pembangunan IKN Gerudukan dan Was-was Diperiksa BPK, Apa Maksudnya?

Direktur Bina Penataan Bangunan, PUPR, mengatakan pembangunan IKN dilakukan secara gerudukan dan khawatir dengan pemeriksaan BPK.

Baca Selengkapnya

Kasus Suap Audit di Sorong, KPK Limpahkan Berkas Perkara Tiga Pejabat BPK ke Pengadilan Tipikor

45 hari lalu

Kasus Suap Audit di Sorong, KPK Limpahkan Berkas Perkara Tiga Pejabat BPK ke Pengadilan Tipikor

KPK telah melimpahkan berkas perkara tiga pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Papua Barat selaku penerima suap

Baca Selengkapnya

Menteri Sri Mulyani Laporkan Dugaan Korupsi Rp2,5 T di LPEI ke Jaksa Agung, Lembaga Apa Itu?

48 hari lalu

Menteri Sri Mulyani Laporkan Dugaan Korupsi Rp2,5 T di LPEI ke Jaksa Agung, Lembaga Apa Itu?

Menkeu Sri Mulyani menyerahkan laporan dugaan tindak pidana korupsi senilai Rp 2,5 triliun terkait penggunaan dana pada LPEI ke Jaksa Agung.

Baca Selengkapnya