Surat

Penulis

Senin, 7 Oktober 2002 00:00 WIB

- untuk Daniel P. Moynihan

Tentang perang dan dunia, Tuan Moynihan, apa yang akan Tuan katakan sekarang? Setahun yang lalu, serangan 11 September 2001 itu membuat Tuan begitu tergerak, hingga di akhir tahun itu Tuan ikut menandatangani sepucuk Surat dari Amerika. Saya ingat nama Tuan terletak di antara Francis Fukuyama, Samuel Huntington, Michael Walzer, dan Jean Bethke Elshtain dan 55 intelektual Amerika yang lain. Ketika itu Amerika sedang bersiap mengerahkan senjata ke Afganistan. "Perang yang adil" tak bisa ditentang, demikian surat itu memaklumkan. Jelas, yang Tuan maksudkan adalah "perang melawan terorisme". Mungkin Tuan cemas melihat sikap sementara orang Amerika yang berseru, menampik perang: "Our grief is not a cry for war!" Tuan cemas karena bagi Tuan terorisme layak dimusuhi, karena ia siap membunuh orang yang tak bersalah dan terkadang digerakkan oleh kebencian yang sangat. Tuan Moynihan, saya bisa menyalami Tuan untuk itu. Apalagi karena surat Tuan menunjukkan bahwa yang harus dipertahankan adalah empat butir nilai yang berharga. Pertama, penghargaan manusia yang harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Kedua, keyakinan akan adanya kebenaran yang universal. Ketiga, keterbukaan untuk pandangan yang berbeda. Keempat, pengakuan akan kebebasan hati nurani dan memeluk agama. Yang juga saya hargai ialah bahwa Tuan ikut membantah jika dikatakan nilai-nilai itu hanya buah keyakinan Kristen. Di antara 60 nama itu, selain Tuan, ada Khalid Dur-ain, editor majalah TransIslam. Surat dari Amerika itu memang merangkum beragam suara, beragam asal. "Kami percaya," katanya, "bahwa beberapa kebenaran moral yang dasar dapat ditemukan di mana-mana di dunia." Tuan di sini tak bisa disebut sepihak, Tuan Moynihan. Karena itu saya tak setuju akan kecaman Edward Said di mingguan Al-Ahram 28 Februari, ketika ia menuduh bahwa surat tuan-tuan adalah sebuah "salvo pembukaan sebuah perang dingin baru". Kalimat tuan-tuan jelas: "Kami khususnya ingin menjangkau saudara-saudara kami di masyarakat muslim. Kami katakan kepada Anda dengan tegas: kita bukan musuh, melainkan teman. Kita harus tak menjadi musuh. Kita punya begitu banyak persamaan. Kami tahu bahwa, bagi sebagian Anda, kecurigaan terhadap kami tinggi. Dan kami tahu bahwa kami, orang Amerika, sebagiannya bertanggung jawab bahwa rasa curiga itu timbul. Tapi kita harus tak boleh jadi musuh." Betapa bagus, Tuan Moynihan, salam perdamaian itu. Tapi betapa mudahnya mengutarakan sesuatu yang luhur seraya menghindari sengketa tentang yang luhur itu. Di situlah saya kira surat yang Tuan tanda tangani lemah. Bagi Tuan, menghajar balik Al-Qaidah adalah "perang yang adil". Tapi tidakkah bagi Usamah bin Ladin membunuh sebanyak-banyaknya orang Amerika, meskipun mereka tak bersenjata, juga "perang yang adil"? Dengan kata lain, universalitas yang tuan-tuan canangkan menyembunyikan sesuatu yang mudah disembunyikan: beda antara "nilai" dan "penilaian", antara yang luhur di atas sejarah dan yang berlangsung di dalam keniscayaan geografi dan sejarah. Itu mungkin sebabnya surat tuan-tuan mencampur-adukkan yang "universal" dengan yang "Amerika". Kata tuan-tuan: "Apa yang kami sebut dengan gampangan 'nilai-nilai Amerika' (sebenarnya) tak hanya milik Amerika; dalam kenyataannya, ia warisan bersama umat manusia." Karena itu, "setiap orang pada prinsipnya dapat menjadi seorang Amerika. Dan dalam kenyataannya, setiap orang demikian." Saya kagum dengan sikap inklusif tuan-tuan. Tapi tidakkah ada yang tergelincir sedikit di sini? Bukankah jika Coca-Cola memiliki kualitas yang terdapat dalam minuman umat manusia, itu tak berarti bahwa setiap minuman, teh botol, misalnya, secara prinsip jadi Coca-Cola? Tidakkah di sini juga terasa tendensi mengangkat Cola-Cola sebagai sumbersebuah "narsisme Coca-Cola"? Pencampur-adukan antara yang "universal" dan yang "Amerika" itu juga yang membuat surat tuan-tuan mengingkari kemungkinan bahwa sebenarnya "Amerika" bukanlah sebuah konsep yang bisa mencakup pelbagai beda ke dalam satu identitas yang tunggal. Ada satu kalimat dari sejarawan Inggris John Gray dalam majalah Granta musim semi yang lalu yang saya ingin Tuan baca: "Tak ada sebenarnya yang bisa disebut pandangan dunia yang secara hakiki bersifat Amerikaseperti halnya tak ada yang bisa disebut lanskap yang secara hakiki mencerminkan Amerika." Tak terlampau luar biasa kesimpulan Gray itu sebenarnya, bukan? Tapi justru karena itu saya ingin dengar apa kata Tuan kini tentang cara George W. Bush, presiden Tuan, memandang dunia. Tidakkah pandangan itu menakutkan; sebab, baginya, di luar sana ada musuh yang menunggu di tiap sudut, dan di sini Amerika tegak dan super-sakti? Atau dalam kata-kata Frances FitzGerald dalam The New York Review of Books 26 September 2002: sebuah kombinasi antara triumphalism, rasa bangga akan keunggulan diri, dan "pesimisme yang hampir total" tentang dunia di luar? Bagi FitzGerald, pesimisme itu memang masuk akal, "bila orang ingin jalan sendiri tanpa sekutu dan tanpa bersandar pada aturan hukum". Bagi saya, pesimisme itu mengancam. Sebab kita akan hidup di sebuah dunia yang lebih buruk dari Pax Americana; kita akan hidup di sebuah dunia yang terdiri dari perang yang tanpa batas yang ditentukan Amerika. Maka, Tuan Moynihan, selusin tahun setelah Tuan menulis On the Law of Nations, dan percaya perlunya aturan hukum antar-bangsa, apa yang akan Tuan katakan tentang perang dan dunia? Goenawan Mohamad

Berita terkait

Ternyata Bukan Bachrumsyah yang Tewas Bom Bunuh Diri di Suriah

15 Maret 2017

Ternyata Bukan Bachrumsyah yang Tewas Bom Bunuh Diri di Suriah

Siapakah yang meninggal dalam bom bunuh diri di Palmyra, Suriah, jika bukan Bachrumsyah.

Baca Selengkapnya

Bekas Kombatan Afghanistan Ragukan Kematian Abu Jandal

9 November 2016

Bekas Kombatan Afghanistan Ragukan Kematian Abu Jandal

Bekas kombatan Afghanistan dan Moro Ali Fauzi, 46 tahun, meragukan kematian milisi ISIS asal Pasuruan, Jawa Timur, Abu Jandal.

Baca Selengkapnya

Antisipasi Kepulangan Hambali, BNPT Siapkan Task Force  

28 Oktober 2016

Antisipasi Kepulangan Hambali, BNPT Siapkan Task Force  

BNPT akan berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Luar Negeri, guna mempelajari berbagai kemungkinan yang terjadi.

Baca Selengkapnya

AS Tolak Pulangkan Hambali, Kemlu: Masih Terus Komunikasi

27 Oktober 2016

AS Tolak Pulangkan Hambali, Kemlu: Masih Terus Komunikasi

Pemerintah AS kabarnya menolak permohonan pembebasan Hambali.

Baca Selengkapnya

Kelompok Militan Serang Akademi Kepolisian Pakistan  

25 Oktober 2016

Kelompok Militan Serang Akademi Kepolisian Pakistan  

Operasi keamanan besar tengah berlangsung untuk mengamankan akademi kepolisian di Pakistan yang diserbu milisi bersenjata.

Baca Selengkapnya

Hambali Muncul Setelah 10 Tahun Mendekam di Guantanamo  

21 Agustus 2016

Hambali Muncul Setelah 10 Tahun Mendekam di Guantanamo  

Hambali alias Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin muncul pertama kali dalam persidangan setelah hampir sepuluh tahun mendekam di Guantanamo.

Baca Selengkapnya

Ali Azhari, Terpidana Teroris Bebas di Hari Lebaran

7 Juli 2016

Ali Azhari, Terpidana Teroris Bebas di Hari Lebaran

Ali Azhari atau Jakfar dijemput keluarganya di Cilacap.

Baca Selengkapnya

Keluarga Masih Ragukan Penyebab Kematian Siyono

21 Maret 2016

Keluarga Masih Ragukan Penyebab Kematian Siyono

Tim investigasi Komnas HAM masih bekerja mengungkap kematian Siyono.

Baca Selengkapnya

Rilis Video, ISIS Tunjukkan Kuasai Libya?  

22 Desember 2015

Rilis Video, ISIS Tunjukkan Kuasai Libya?  

Video itu menunjukkan ISIS mencoba mengisi kekosongan kekuasaan di negara tersebut.

Baca Selengkapnya

Eks Kombatan Afghanistan: Pemerintah Abaikan Anak Teroris

25 Oktober 2015

Eks Kombatan Afghanistan: Pemerintah Abaikan Anak Teroris

Akibat kurang perhatiannya pemerintah, anak-anak dari orang yang dituding sebagai teroris cenderung meneruskan perjuangan orang tuanya.

Baca Selengkapnya