PADA bulan Juli 2001, di Indonesia, seorang presiden eksit dari panggung. Hari itu kita tak tahu adakah ini sebuah drama yang tak selesai. Tak ada ribuan orang mengamuk, tak ada provinsi yang memerdekakan diri memprotes, tak ada sebuah sejarah yang terputus. Tapi Gus Dur diberhentikan sebagai kepala negara, dan kita tak bisa mengatakan bahwa yang berlangsung hanya sebuah pertunjukan selingan. Politik di Indonesia selalu mengandung sebuah tema besar. Ia menyimpan rasa sakit. Ia juga menyimpan nostalgia. Kita tak bisa mengelakkannya. Berulang kali ada konflik dan orang bersiap untuk saling meniadakan. Banyak hal yang menakutkan, ada yang tak normal, tapi pada saat yang sama, inilah sebuah keadaan di mana manusia hidup dalam sebuah momen yang luar biasa. Sekian waktu kemudian setelah jantung tak lagi berguncang, orang pun akan mengingatnya sebagai sebuah kisah yang mengasyikkan. Sekian tahun kemudian mungkin bahkan akan ada yang gelisah, justru ketika politik jadi normal, persaingan kekuasaan jadi rutin, dan negeri ini seakan-akan tumbuh jadi seperti satu keluarga kelas menengah yang berbahagia. Dan orang mungkin akan berkata, mengikuti Leo Tolstoy, dengan sebuah keluhan yang ganjil: "Keluarga yang berbahagia di mana-mana sama saja". Tentu, di hari ini, Indonesia belum jadi sebuah keluarga yang seperti itu: sebuah rumah tangga yang begitu rapi sehingga kisahnya tak layak ditulis untuk sebuah roman besar. Meski demikian, sebuah era sedang ditinggalkan. Transisi itulah yang menyebabkan ketika Gus Dur eksit, orang merasa ada sebuah epos yang batal. Awal era yang kini ditinggalkan itu dimulai dengan sebuah perubahan yang apokaliptik. Inilah yang terjadi di tahun 1965: sebuah zaman seolah-olah berakhir dengan ledakan, seorang pemimpin besar jatuh dan ratusan ribu manusia dibantai dan dipenjarakan, dan sebuah tata baru lahir. Namun, kiamat sejenis itu tak datang lagi. Soeharto turun takhta di tahun 1998 dan yang saya lihat adalah sebuah antiklimaks. Orang ramai menyaksikannya dalam siaran televisi di sebuah pagi yang cerah: presiden yang telah menguasai Indonesia selama 32 tahun itu menyerahkan kekuasaannya seperti seorang mengembalikan kunci sebuah kamar yang disewa. Tak ada dekor yang dahsyat, tak ada suara sangkakala, tak ada pathos. Ribuan mahasiswa memang menduduki gedung Parlemen di hari itu, belasan sudah yang ditembak luka dan mati, namun setelah pekik kebebasan terdengar di mana-mana, tak ada pembantaian, tak ada pembersihan. Pintu penjara telah dibuka. Tahanan politik tak boleh ada. Dengan kata lain, sesuatu yang "normal" sedang dicoba ditegakkan. Indonesia tak lagi menghendaki sebuah sistem yang oleh ahli ilmu politik Mochtar Pabottingi disebut sebagai "orde darurat", dan itu adalah "orde baru" yang bertahan pada rasa cemas, pada teror dan kontrol yang tak kunjung kendur. Soeharto jatuh dan kecemasan dan teror itu hendak diubah jadi prosedur yang lazim. Kurang-lebih setahun kemudian, ketika Habibie berhenti sebagai presiden, proses semacam itu mulai berjalan. Tak ada elemen tragedi: Habibie datang ke sidang MPR yang menjatuhkannya, dan ia menyalami Gus Dur, sang pemenang persaingan, seperti seorang petenis yang kehilangan kejuaraannya dalam sebuah turnamen tahunan. Habibie dengan segera meninggalkan Istana. Kita tak mendengar dari mulutnya erang yang keras, atau ucapan bahwa MPR itu, yang lahir dari Pemilihan Umum 1999, tak mewakili suara rakyat. Politik yang menempuh rasa sakit tengah digantikan dengan politik yang dikebalkan oleh institusi-institusi. Tentu, proses itu belum selesai. Indonesia belum sepenuhnya memasuki suatu situasi ketika orang bisa duduk nyaman di restoran dan tidur nyenyak di atas ranjang, percaya bahwa konflik dan kompetisi akan dibereskan di parlemen dan di peradilan. Indonesia belum jadi sebuah negeri di mana politik berlangsung dalam amnesia: orang terlupa bahwa konflik kekuasaan selamanya adalah bagian dari hubungan yang traumatik antar-manusia. Dalam amnesia itu, orang pun hidup abai dalam ruangnya sendiri-sendiri. Dengan kata lain, itulah sebuah situasi di mana?untuk meminjam deskripsi Alain Badiou?"kepentingan diri tak putus-putusnya meminta dipenuhi, politik pembebasan musnah atau menjadi sangat lemah? dan kompetisi yang tak terkendali menjadi sesuatu yang universal". Di Indonesia, situasi seperti itu bukannya tak mulai kelihatan. Tapi seperti telah disebutkan, di sini politik juga masih kuat mencerminkan trauma dan kegairahan, rasa pahit dan nostalgia. Itu sebabnya, menjelang ia jatuh, Gus Dur hampir ditokohkan sebagai pendekar dalam sebuah epos yang mendebarkan, ketika elemen dan latar untuk itu sebenarnya tak lagi ada. Maka drama yang berlangsung adalah sebuah kombinasi antara sebuah rasa waswas yang murni dan sebuah heroisme yang dirindukan kembali tapi tak jadi. Tentu akan ada yang mengatakan bahwa itu sebenarnya mirip sebuah sirkus dengan akrobat yang jitu: sesuatu yang mencemaskan tapi akhirnya tak membahayakan. Namun, bagi saya ini justru pertanda bahwa politik belum mati: orang masih saling bergabung, saling ambil bagian?juga dalam perbantahan, dalam konfrontasi?dan mendapatkan makna hidupnya dalam laku itu. Sebab mereka hidup di sebuah negeri, bukan di sebuah kamar anestesi.
Goenawan Mohamad