Matinya Nalar Demokrasi

Penulis

Senin, 29 September 2014 02:18 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Wiwin Suwandi, Pemerhati Tata Negara dan Pegiat Antikorupsi

Dalam teori kekuasaan, demokrasi lahir paling akhir setelah tirani,monarki, dan aristokrasi. Demokrasi adalah pilihan terbaik karena menempatkan demos (rakyat) sebagai pemilik kedaulatan.

Tampaknya hal ini tak dipahami Koalisi Merah Putih, yang ngotot mendorong usulan kepala daerah dipilih oleh DPRD-tidak lagi secara langsung oleh rakyat-dalam Rapat Paripurna DPR tentang Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 25 September 2014, yang akhirnya mereka menangi. Kemenangan tersebut terasa semu dan hambar di tengah mayoritas aspirasi rakyat yang masih menghendaki pilkada langsung.

Inilah tirani partai politik. Tirani yang dibangun di atas watak kekuasaan yang otoriter: memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan aspirasi mayoritas sebagai landasan demokrasi. Tirani yang dibangun di atas keangkuhan dan libido kekuasaan.

Undang-Undang Pilkada sah secara politik, iya, tapi tidak menurut demokrasi yang bertumpu pada asas daulat rakyat. Itu keputusan politik, bukan keputusan demokratis. Itu kemenangan parpol, bukan kemenangan rakyat. Parpol telah membajak demokrasi dengan menggunakan hak konstitusionalnya di parlemen untuk membalut keputusan tersebut dengan baju undang-undang. Seolah-olah sidang paripurna demokratis karena melalui mekanisme voting. Padahal demokrasi tidak sesederhana dan sesempit itu.

Nyata bahwa Undang-Undang Pilkada yang baru disahkan bertentangan dengan asas dan teori pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejatinya, tujuan sebuah undang-undang dibentuk adalah menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional warga negara, apa pun isu yang diwakili dalam beleid itu. Dengan demikian, sebuah rancangan undang-undang harus didahului dengan kajian akademik yang memuat landasan filosofis, sosiologis, dan historis. Landasan filosofis memuat prinsip daulat rakyat. Bagaimana posisi rakyat sebagai pemilik kedaulatan di hadapan negara sebagai organisasi politik yang rentan silang kepentingan? Apakah undang-undang itu mengayomi segenap rakyat atau hanya menjadi alat kepentingan elite penguasa?

Landasan sosiologis memuat asas keterwakilan, yakni undang-undang harus mewakili aspirasi segenap warga negara. Karena itu, sebuah rancangan undang-undang mesti melewati uji publik sebelum diputuskan menjadi undang-undang. Uji publik itu bisa bersifat formal, misalnya, jajak pendapat dengan metode survei penjaringan aspirasi atau melihat respons pro-kontra yang muncul di tengah masyarakat. Jika mayoritas publik menolak, pembahasan rancangan undang-undang itu wajib dihentikan.

Landasan historis memuat aspek sejarah, yakni undang-undang harus sejalan dengan perjalanan bangsa sebagai negara kesatuan. Ini bukan soal kita pernah melaksanakan demokrasi perwakilan melalui pemilihan kepala daerah oleh DPRD pada rezim Orde Lama dan Orde Baru dan terbukti gagal. Tapi bagaimana kegagalan menerapkan demokrasi perwakilan itu menjadi "cermin" untuk tidak lagi kembali pada sistem (perwakilan) itu.

UU Pilkada yang baru disahkan telah membawa kita kembali ke belakang, ke era otoriter Orde Baru, zaman saat kekuasaan oligarki bertakhta. Karena itu, demokrasi harus diselamatkan. Uji materi terhadap UU Pilkada adalah jalan konstitusional untuk mengembalikan asas daulat rakyat itu dan menyelamatkan demokrasi.


Berita terkait

Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

22 Agustus 2016

Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

Bawaslu telah meminta Mendagri Tjahjo Kumolo untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan dana hibah pengawasan pilkada 2015.

Baca Selengkapnya

KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

12 Juli 2016

KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

Hadar bakal meminta bantuan Direktorat Pendudukan dan Catatan Sipil memastikan keberadaan pendukung calon perseorangan.

Baca Selengkapnya

Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

29 Juni 2016

Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

KPK melakukan penelitian dengan mewawancarai 286 calon yang kalah pada pilkada. Ini temuannya.

Baca Selengkapnya

Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

19 Juni 2016

Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

Polisi mengevakuasi anggota KPUD Muna keluar dari TPS sambil melepaskan tiga tembakan ke udara.

Baca Selengkapnya

Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

19 Juni 2016

Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

Ini merupakan pemungutan suara ulang yang kedua kali akibat saling gugat dua pasangan calon kepala daerah.

Baca Selengkapnya

Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

6 Juni 2016

Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

Bawaslu kini bisa memeriksa kasus politik uang dalam pilkada.

Baca Selengkapnya

Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

6 Juni 2016

Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

Pendukung Garin menilai seharusnya DPR sebagai wakil rakyat membuat aturan yang lebih bermutu.

Baca Selengkapnya

Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

5 Juni 2016

Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, ada persoalan yang akan terjadi seusai DPR mengesahkan UU Pilkada.

Baca Selengkapnya

Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

2 Juni 2016

Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

PKS sebelumnya menilai anggota DPR yang maju ke pilkada tak perlu mundur dari keanggotaan di Dewan, melainkan hanya perlu cuti.

Baca Selengkapnya

DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

2 Juni 2016

DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

DPR akhirnya mengesahkan undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dalam sidang paripurna hari ini.

Baca Selengkapnya