TEMPO.CO, Jakarta -Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Postur kabinet pemerintah Joko Widodo dirancang terlalu "gemuk". Dengan 34 kursi menteri, pemerintah baru diduga akan lamban berlari.
Jumlah 34 kursi menteri sebanding dengan jumlah maksimal kementerian yang dapat dibentuk berdasarkan Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Artinya, Jokowi berencana menempatkan seorang menteri untuk memimpin satu kementerian. Padahal, dalam kajian hukum tata negara, seorang menteri dapat memimpin dua atau lebih kementerian (department). Dengan cara itu, postur kabinet akan menjadi lebih ramping.
Kabinet Presiden Eisenhower, misalnya, menempatkan Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan berada di bawah kepemimpinan satu menteri. Itu sebabnya, hingga kini, meskipun memiliki beban kerja sangat berat, kabinet di Amerika tidak pernah menyentuh jumlah 20 menteri. Presiden Obama hanya memiliki 15 menteri dan 6 pejabat setingkat menteri.
Dengan postur ramping itu, menurut Patrick Weller, kabinet akan mudah mengorganisasi diri dan menata pemerintahan (2007; h. 214). Sedangkan jumlah yang terlalu besar akan membuat presiden kesulitan membangun kerja sama antarkementerian. Apalagi banyaknya menteri dengan "isi kepala" yang berbeda akan menciptakan masalah internal tersendiri bagi presiden baru. Kondisi itu semakin membuat pemerintah menjadi lamban di tengah tuntutan agar pemerintah baru berlari lebih cepat mengatasi ketertinggalan dari negara tetangga.
Dengan jumlah kursi menteri yang terlalu banyak, presiden terpilih akan dituding menerapkan "politik balas budi". Semua pihak harus mendapat untung dari pembagian kursi kabinet. Akibatnya, pemerintah Jokowi-JK mengalami kelambanan bekerja sebagaimana dialami kabinet Presiden SBY, Megawati, dan Abdurrahman Wahid. Kabinet "obesitas" cenderung bekerja lamban.
Ada dua penyebab kelambanan itu. Pertama, koordinasi bertingkat dalam kabinet. Sebelum penentuan kebijakan, selain berkoordinasi kepada presiden atau wakil presiden, para menteri harus lebih dulu "melaporkan" kepada menteri koordinator. Sedangkan menteri koordinator mesti menyampaikan laporan itu kepada presiden. Kebijakan bertingkat seperti itu sebenarnya tidak diperlukan. Sebagai kepala pemerintahan, presiden adalah koordinator tunggal para menteri. Jika menteri koordinator dihapus, setiap kebijakan dapat diputus lebih cepat. Sayangnya, dalam politik balas budi, jabatan menteri koordinator diperlukan untuk menghormati ketua atau tokoh senior partai/militer.
Kedua, kelambanan terjadi karena menyusupnya banyak kepentingan. Pembagian kursi yang menampung seluruh partai pendukung membuat kabinet dipenuhi banyak kepentingan berbeda. Masing-masing menteri tidak hanya bekerja untuk presiden, tapi juga partainya. Misalnya, dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Partai Golkar dan PKS acap kali memilih jalan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah SBY. Pilihan politik partai itu tentu mempengaruhi sikap kadernya di kabinet. Akibatnya, para menteri acap kali bimbang menentukan kebijakan penting akibat perbedaan pandang antara pemerintah dan partai pendukungnya. Ketika itu, para menteri akan berada di wilayah "simalakama": takut diganti (reshuffle) di jajaran kabinet atau dipecat dari partai. Akhirnya, kinerja kabinet semakin lamban.
Dengan postur berat tersebut, pemerintah Jokowi-JK tak hanya berpotensi lamban, tapi juga akan lelah berlari. Apalagi setiap pemerintah baru akan mendapatkan rintangan yang tidak ringan. Presiden baru akan menghadapi budaya birokrasi institusi yang rumit, "bayang-bayang" presiden sebelumnya, permasalahan yang tiba-tiba muncul, relasi rumit pendukung yang beragam, dan "membaca" kelompok mana saja yang dapat dipercaya (Patrick Sanaghan; 2008; h.7). Kondisi itu jamak dihadapi oleh kabinet obesitas.
Sesungguhnya, dalam sejarah tata negara, kabinet merupakan sebuah ruang kecil (cabinet). Ruang kecil itu dijadikan tempat raja (kepala negara dan pemerintahan) mengadakan rapat dengan beberapa profesional kepercayaan terpilih (zaken kabinet).
Sejarah itu memperlihatkan bahwa kabinet tidak pernah dirancang berjumlah besar. Kelompok kecil para menteri itu bertugas "membaca" seluruh potensi masalah yang terjadi dan menemukan solusinya. Kebijakan kabinet itulah yang harus diejawantahkan ribuan birokrat pekerja di bawah kendali menteri. Kabinet ramping tak hanya membuat pemerintah dapat "berlari dengan napas panjang", tapi juga akan menghemat anggaran negara.
Kantor transisi pemerintah Jokowi-JK tentu juga memahami pentingnya kabinet yang ramping, namun acap kali "kehendak" partai membuat postur kabinet mengalami kelebihan bobot. Dengan postur obesitas tersebut, kabinet akan sulit mengiringi "lari" presiden baru yang "lincah blusukan" itu. Sebelum para menteri ikut berlari, "keringat masalah kabinet" sudah mulai menetes.
Berita terkait
Unggah Foto Bareng Susi Pudjiastuti, Jonan: We Will Do More
27 Oktober 2019
Mantan Menteri ESDM, Ignasius Jonan, mengunggah potret hitam-putih berisi kenang-kenangan bersama bekas koleganya, Susi Pudjiastuti.
Baca Selengkapnya5 Fakta Unik Perpisahan Kabinet Kerja Jokowi Jilid I
19 Oktober 2019
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mennggelar acara silaturahmi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menteri Kabinet Kerja Jokowi di Istana Negara.
Baca SelengkapnyaMenteri M. Nasir Mengaku Sudah Siapkan Landasan untuk Ristekdikti
18 Oktober 2019
Nasir juga mendorong agar badan riset dan inovasi nasional segera dibentuk di pemerintahan Jokowi mendatang.
Baca SelengkapnyaKabinet Kerja Bubar, Budi Karya Kemas Barang dari Rumah Dinas
18 Oktober 2019
Sejumlah menteri mulai mengemas barangnya dari rumah dinas, termasuk Budi Karya.
Baca SelengkapnyaPerpisahan Kabinet Kerja, Jokowi Sebut Setiap Hari Adalah Spesial
18 Oktober 2019
Jokowi menyatakan setiap hari adalah hari yang spesial dalam kabinet kerja jilid I.
Baca SelengkapnyaHanif Dhakiri: Kabinet Kerja Solid Percepat Pembenahan Masalah
18 Oktober 2019
Hanif mengungkap tantangan sejumlah isu ketenagakerjaan mendatang yakni ekosistem ketenagakerjaan perlu ditransformasi menjadi lebih fleksibel.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi: Setiap Momen Adalah Spesial, Spesial Pusing
18 Oktober 2019
Silaturahmi tersebut dimulai dengan Shalat Jumat bersama, foto bersama, dan dilanjutkan dengan makan siang bersama.
Baca SelengkapnyaJokowi Akui Baru Kali Ini Bisa Bersantai Bersama Para Menterinya
18 Oktober 2019
Sejumlah menteri menampilkan kebolehannya dalam bernyanyi termasuk di antaranya Mendikbud Muhadjir Effendy yang menyanyikan lagu Stuck on You dan Yell
Baca SelengkapnyaAkbar Tandjung Bocorkan Calon Kabinet Jokowi Jilid II
15 Oktober 2019
Akbar Tandjung mengatakan calon menteri dari partai hanya sedikit dalam komposisi Kabinet Jokowi Jilid II.
Baca SelengkapnyaJokowi Mengenang Arahannya Saat Sidang Kabinet Paripurna
3 Oktober 2019
Jokowi dalam sidang kabinet paripurna terakhirnya bersama Jusuf Kalla mengucapkan terimakasih kepada para menteri dan pimpinan lembaga.
Baca Selengkapnya