Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semestinya tidak perlu repot membahas kenaikan harga elpiji pada hari libur. Rencana kenaikan harga elpiji kemasan 12 kilogram pada 1 Januari itu sudah sering disampaikan oleh PT Pertamina. Kalau Presiden dan para menteri tak setuju, mereka seharusnya bersikap sejak awal.
Manuver Presiden semakin memperlihatkan sikap pemerintah yang bimbang. Setelah Pertamina menaikkan harga elpiji kemasan 12 kilogram dari Rp 78 ribu menjadi Rp 122 ribu, reaksi pun muncul. Presiden memerintahkan Wakil Presiden Boediono dan sejumlah menteri menggelar rapat pada Sabtu lalu. Partai politik penyokong pemerintah-termasuk Partai Demokrat-ramai-ramai pula bersikap populis dengan menolak kenaikan harga elpiji.
Tak ada keputusan. Setelah rapat, Boediono hanya mengatakan Presiden akan menyampaikan sikap pemerintah pada keesokan harinya. Tapi, kemarin, Presiden Yudhoyono cuma mengumumkan pernyataan yang mengambang. Ia mengatakan kenaikan harga elpiji merupakan wewenang Pertamina. Presiden berjanji mencari solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan ini.
Presiden semestinya bisa bersikap lebih lugas. Ia cukup memanggil Menteri Negara BUMN dan bos Pertamina, meminta keterangan soal kenaikan harga elpiji, lalu segera bersikap apakah menyokong atau tidak kebijakan itu. Bersikap mengambang hanya akan membingungkan Pertamina, juga masyarakat.
Bagaimanapun, Pertamina mesti mengutamakan laba dalam setiap aktivitas bisnisnya. Keuntungan perusahaan negara ini toh akan masuk ke kas negara sebagai dividen. Selama ini Pertamina rugi karena menjual elpiji kemasan 12 kilogram di bawah harga keekonomian. Dalam enam tahun terakhir, perusahaan ini mesti menombok Rp 22 triliun.
Pertamina semakin tertekan karena melambungnya harga elpiji di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah. Perusahaan ini terakhir menaikkan harga jual elpiji sebesar Rp 5.850 per kilogram pada 2009. Sedangkan harga pokok penjualan sudah melonjak menjadi Rp 10.785. Artinya, ada potensi pendapatan yang mesti diterima negara sebagai dividen menguap secara percuma.
Kalaupun perlu dikritik, mungkin itu adalah kurangnya sosialisasi sebelum Pertamina menaikkan harga elpiji. Tapi bukan berarti keputusan tersebut kurang tepat. Apalagi masyarakat bawah selama ini sudah menikmati elpiji bersubsidi dalam tabung ukuran 3 kilogram yang tidak mengalami kenaikan harga.
Pemerintah semestinya mendukung kebijakan Pertamina. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, misalnya, bisa membantu membenahi distribusi elpiji bersubsidi yang selama ini sering tidak tepat sasaran. Masyarakat ekonomi lemah hasus dipastikan memperoleh elpiji bersubsidi, sedangkan orang kaya dan pelaku industri wajib membeli elpiji non-subsidi.
Di tengah kondisi keuangan negara yang buruk, pemerintah semestinya bersikap tegas. Mengumbar subsidi buat orang mampu justru merupakan bom waktu bagi perekonomian.