Indonesia masih dalam keadaan cemas sepekan lebih setelah bom teroris membunuh 200 orang di Bali. Presiden Megawati berjalan-jalan di Acropolis. Mari kita bayangkan sebuah pentas, dengan dekor yang tenang dan jauh: bukit batu kapur di atas Kota Athena; langit biru yang masih tegas meskipun di musim gugur; 17 pilar kuno yang tersisa kukuh sepanjang tubuh Parthenon. Hari itu, seakan-akan tak berada di abad ke-21 yang rusuh oleh terorisme, Presiden Indonesia berdiri dengan latar kebesaran Yunani abad ke-5 Sebelum Masehi. Tahukah dia bahwa sebenarnya dirinya adalah sebuah peran? Bahwa seorang presiden adalah seorang aktor? Seorang pemimpin politik adalah seorang yang didefinisikan oleh sebuah panggung. Ketika ia berjalan-jalan, ketika ia mengunjungi satu tempat, ketika ia berbicara, tertawa, atau menitikkan air mata, ketika ia bersembahyang atau memilih pakaian, ketika ia merayakan hari ulang tahun anak atau cucu, ketika ia bersikap kepada suami atau istrinyasetiap langkah itu adalah segumpal saat teater. Ia sedang menghadap ke publik. Di sinilah berlaku "politik penampilan",
the politics of persona, hubungan antara wajah yang ditampilkan ke muka umum dan wajah yang privat. Orang sering memakai kata "munafik" untuk menghakimi penampilan yang "palsu". Tapi kata "munafik" mengandung penilaian moral, sementara kita berbicara tentang aktor dan teater. Sebagai aktor, sebagai seseorang yang memainkan sebuah rol di atas pentas, orang itu sebenarnya menciptakan sebuah sosok baru, yang tak bisa diukur cocok atau tidaknya dengan sosok "asli". Seorang pemimpin politik, suka atau tak suka, juga harus menciptakan dari dirinya seorang sosok baru. Ini tak hanya berlaku di dalam demokrasi di mana apa yang disebut "pasar" jadi sang penentu. Ini juga berlaku dalam kediktatoran dan sosialisme. Malah dalam keadaan informasi yang tak bebas, ketika khalayak ramai tak bisa tahu betul tentang diri seorang pemimpin, sebuah aura dengan gampang dikembang-biakkan. Hitler, Mussolini, Stalin, Mao, Kim Jong-Il, dan Saddam Hussein masing-masing jadi tokoh yang sempurna karena seluruh kehadirannya adalah peristiwa teater. Orang yang dekat dengan kekuasaan akan tahu bahwa sang pemimpin harus menjalani metamorfosis. "Tak ada sebenarnya pemimpin yang sempurna, baik di masa lalu maupun sekarang, baik di Cina maupun di tempat lain," kata Liu Shao-ch'i, bekas Presiden RRC, di bulan Juli 1947. "Jika pun ada, ia hanya berpura-pura, seperti seekor babi yang memasang siung bawang ke mulutnya agar tampak sebagai gajah." Dengan sesiung bawang atau tidak, para pemimpin politik seakan-akan hadir, berjalan dan bicara di atas panggung. Dulu itu berlangsung di gedung opera. Dulu, mungkin sebelum abad ke-17, rakyat belum jadi "massa". Mereka penonton yang sudah "terlatih" dalam mengenal mana pemegang rol yang pintar dan mana yang kaku, mana yang ilusi dan mana yang bukan. Mereka sadar bahwa di atas pentas Wayang-Orang Bharata, Arjuna, ksatria jantan sang penakluk wanita, diperankan oleh seorang perempuan. Mereka duduk dengan jarak tertentu dari prosenium. Mereka memahami bahwa apa yang terjadi di kamar rias di belakang panggung bukanlah persoalan yang sentral dan wigati. Tapi struktur itu kini berubah. Zaman sedang berakhir bagi aktor sebagai aktor. Jarak antara panggung politik dan orang ramai kian tipis. Surat kabar dan radio, dan terutama televisi, menghilangkan jarak itu dan menyulap gedung opera politik jadi teater jalanan. "Publik" digantikan oleh "partisipan". Para "partisipan" politik itu kian lama kian luas, kian riuh, kian bercampur-baur, tapi juga kian mendesakkan kedekatan. Seorang pemimpin berangsur-angsur memasuki sebuah dunia yang bukan lagi dibangun oleh "politik penampilan", melainkan oleh "politik pengakuan"tempat ia harus menampakkan dirinya secara terbuka penuh, termasuk kehidupan privatnya. Semboyan yang diserukan adalah "transparansi". Ada yang menganggap transparansi itu bagian dari demokrasi. Saya tak sepenuhnya yakin. Justru dengan transparansi seorang pemimpin politik dituntut untuk menjadi sosok yang lahir-batin "tanpa cela" dalam ukuran nilai orang ramaiyang belum tentu merupakan ukuran yang sehat. Paradoks dari "politik pengakuan" adalah, ketika seorang pemimpin diminta agar berhenti menjadi seorang aktor, ia sebenarnya telah dinaikkan ke mahligai kebajikan di atas manusia biasa. Untunglah kini di Indonesia mahligai itu tak ada. Sang pemimpin tak lebih luhur kualitas pekertinya ketimbang orang kebanyakan. Sebab, seperti terbukti dalam sejarahnya yang muda, Indonesia telah memberhentikan sejumlah presiden yang dianggap gagal. Tapi justru karena itu sang pemimpin dituntut untuk jadi si Fulan yang, sebagai aktor, berjalan dengan bagus di panggung sebagai Baginda Sulaiman. Dengan kata lain: sang pemimpin perlu jadi seorang pemegang peran yang bermutu. Ia harus pandai bergerak tepat di waktu yang tepat, pintar memilih sudut pentas untuk berdiri, peka untuk mengungkapkan emosi, dan mampu berbicara yang menggugah. Berbakatkah Megawati untuk itu? Mungkin tidak. Di Acropolis itu, dalam perjalanan panjang ke Meksiko, ia abai akan kenyataan bahwa ia sedang di atas panggung, yang dibentuk oleh publik. Ia salah memilih sudut berdiri, ketika lakon Indonesia di titik yang muram, ketika orang ramai menantikan inspirasi dari kata-katanya, empati di wajahnya, dan kehangatan di lambaian tangannyadari posisi yang dekat, tentu saja, bukan dari sebuah bukit Yunani.
Goenawan Mohamad