Bom dan cita-citakeduanya bersatu ketika harapan kehilangan politik dan politik kehilangan harapan. Ia bermula di sebuah jalan di St. Petersburg, Rusia, 13 Maret 1881. Hari itu sebuah bom dilontarkan dari kaki lima. Tsar Alexander II tengah naik kereta kuda tak jauh dari Istana. Ledakan terdengar. Kendaraan baginda hancur, kuda-kuda dan para pengiringnya luka. Tapi sang Tsar sendiri tak terkena apa-apa. Bahkan ia dengan tenang datang menyapa para korban dan bicara lembut tentang si calon pembunuh yang seketika itu tertangkap. Tapi tiba-tiba seseorang berlari menyerbu, seraya berseru, "Terlalu cepat bersyukur pada Tuhan!" dan bom kedua pun meledak di antara kaki sang Tsar. Api dan logam mencopot kedua batang betisnya. Perutnya terkoyak. Wajahnya ringsek. Tapi ia masih sadar sejenak, sebab ia masih bisa berkata, "Ke Istana, untuk mati di sana." Maka sisa tubuhnya dibawa ke Istana Musim Dingin. Tetesan darah pekat yang tebal membentuk jejak sepanjang tangga pualam yang mendaki ke balairung. "Baginda mangkat," kata dokter, setelah meraba nadi di pergelangan yang penuh darah itu. Dengan rasa ngeri keluarga kerajaan menyaksikan semua itu, tapi pada detik itu pula seorang tsar baru telah siap. Putra mahkota mengangguk. Ia pun memberi isyarat kepada istrinya agar mengikutinya. Ia melangkah ke luar Istana. Di segala sudut Resimen Preobrajensky berjaga dengan sangkur terpasang. Raja muda itu berdiri sejenak, memberi salut, lalu meloncat masuk ke keretanya. Satu resimen Don Cossack mengikutinya dalam formasi tempur, dengan tombak-tombak merah yang berkilau oleh cahaya surya bulan Maret. Rusia dan kekuasaan dinasti itu seakan-akan tak tersentuh. Ketika ia naik takhta, Alexander III mengumumkan bahwa ia akan memerintah dengan "keyakinan akan kekuatan dan kebenaran otokrasi". Untuk apa kemudian bom yang membunuh Alexander II? Para pembunuh, seperti para teroris dalam drama Les Justes Albert Camus, mungkin membawakan sebuah cita-cita yang luhur: pembebasan dari kekuasaan yang represif, pulihnya harkat manusia. Tapi kita tahu bahwa baru pada tahun 1917, melalui revolusi kaum komunis, kekuasaan Tsar yang berdasarkan "kekuatan dan kebenaran otokrasi" itu bisa jatuh. Rusia benar-benar berubah. Sebab itu besar benar beda antara para teroris pada 1881 dan kaum komunis pada 1917: para pembunuh di tepi jalan St. Petersburg itu tak punya program pergantian kekuasaan setelah Tsar tewas, sementara pada 1902 Lenin telah siap menulis satu risalah berjudul "Apa yang harus dilakukan?", sebuah analisis tentang masyarakat Rusia dan jalan revolusi di masyarakat seperti itu. Dengan kata lain, bom tahun 1881 hanya punya keberanian dan cita-cita, tapi revolusi Leninis punya sesuatu yang lebih. Revolusi ini bermodalkan "teori" revolusi, punya sebuah kekuatan partai revolusioner yang berpegang pada sebuah program umum, dan punya sebuah kepemimpinan yang siap menggantikan kekuasaan. Sebab itu ia tak hanya mengguncang dunia; ia mengubah dunia. Saya tak tahu bagaimana Al-Qaidah atau Jamaah Islamiyah akan mengubah dunia. Siapa pun yang meledakkan bom di Bali 12 Oktober itu mungkin menyimpan segumpal amarah dan kebencian, plus sejumlah cita-cita dan keberanian. Tapi, dengan hanya itu, mereka akan berujung seperti teror abad ke-19: sebuah aksi ketika politik dan harapan tak saling ketemu. Sekitar 200 orang "kafir" dibunuh, namun apa selanjutnya? Membunuh orang "kafir" lain? Sampai kapan? Bukankah definisi "kafir" bisa terus-menerus diperdebatkan dan sebab itu jumlah orang "kafir" bisa menjadi tak terhitung? Atau setelah serangan demi serangan, pembunuhan demi pembunuhan, punya rencanakah Al-Qaidah atau Jamaah Islamiyah mengalahkan Amerika Serikat? Misalnya, katakanlah, memaksa Bush menyerah, dan menduduki Gedung Putih, dan membubarkan Kongres, dan menerapkan "syariat Islam" dari Houston sampai Honolulu. Tapi mungkin saya salah. Mungkin saya harus ingat bahwa si peledak bom di Bali tak banyak bicara tentang hidup. Orang-orang seperti dia lebih sering berbicara tentang "jihad", di antara rencana pembunuhan dan mati syahid. Dengan kata lain, tak ada gambaran di masa depan tentang sebuah madinah yang teratur, sebuah ruang bersama untuk interaksi, sebuah arena yang hangat dan hidup. Di diri mereka, bom dan cita-cita berlangsung dalam harapan yang kehilangan politikharapan yang kehilangan imajinasi tentang perlunya proses mengelola kekuasaan di dunia yang terbatas. Tapi di situlah para pengebom menampakkan kontradiksi dalam diri mereka. Siap mati syahid, mereka seharusnya tak peduli akan apa yang terjadi di dunia yang terbatas. Tapi pada saat yang sama mereka risau akan ketidakadilan di muka bumi. Di satu sisi, mereka persamakan kata "kafir" dengan "musuh", dan mengklaim bahwa konfrontasi itu adalah sebuah konfrontasi di jalan Tuhan. Tapi di sisi lain, mereka sebenarnya menempuh jalan sekuler politik abad ke-20dengan hadirnya orang ramai di dalam demokrasiketika mereka pasang label "kafir" di punggung kolektif sebuah kelompok, bukan di punggung masing-masing orang yang tak beriman. Mereka mengabaikan sebuah asas ke-Maha-Tahu-an: di depan Tuhan, tiap orang, kafir atau tak kafir, hadir utuh, tak seragam, sendiri, bukan wakil sebuah himpunan. Tapi mereka tak peduli. Mereka ledakkan rakitan mesiu mereka ke tengah keramaian, dan orang banyak pun hancur. Suatu saat teroris itu bisa saja jadi pemenang, terutama di sebuah zaman ketika politik berjalan tanpa harapan. Tapi apa yang akan tersisa? Barangkali Camus benar: "Para penakluk modern dapat membunuh, tapi tampaknya mereka tak mampu mencipta."
Goenawan Mohamad