Penyembelihan Demokrasi

Penulis

Kamis, 2 Oktober 2014 02:26 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Umbu T.W. Pariangu, Dosen FISIPOL, Undana, Kupang.

Awalnya, pengesahan RUU Pilkada diharapkan menjadi batu ujian bagi keberlangsungan embusan roh demokrasi, apakah demokrasi harus menemui ajalnya pada altar rezim elektoral parlemen atau sebaliknya tetap berembus mengisi dan menggerakkan "raga" politik dan daulat rakyat. Namun, dengan dikembalikannya pilkada ke DPRD lewat voting dalam Sidang Paripurna DPR pada Kamis pekan lalu, ini menjadi semacam mimpi buruk bagi demokrasi kita. Babak baru pengerdilan dan penyembelihan demokrasi seakan-akan telah dimulai oleh sekelompok (fraksi) elite politik di Senayan.

Sulit untuk tidak menarik kesimpulan bahwa pengembalian pilkada ke DPRD merupakan bagian dari luapan kekecewaan politik koalisi Merah Putih atas kekalahan mereka dalam pemilihan presiden. Kekecewaan itu bersambung dengan napas panjang politik subyektifisme dan rivalitas emosional politik yang belum terkubur.

Habermas, dalam teori rasionalitas publik-nya, selalu menekankan pentingnya posisi dan suara rakyat sebagai alat kontrol bagi partai, eksekutif, dan legislatif untuk menguji legitimasi kekuasaan dari berbagai godaan manipulasi massa dalam proses pemilu. Ketika hak bersuara rakyat direduksi, daya legitimasi kekuasaan akan kehilangan substansi karena dibajak oleh oligarki elite yang eksklusif dan terputus dari ruang-ruang terbuka (publik), sehingga rakyat tak lagi memperoleh ruang untuk mengakses kekuasaan atau pemerintahan (kratos).

Dalam ruang gelap inilah kekuasaan tidak lagi dijadikan alat untuk mengejar kepentingan publik (res-publica), melainkan untuk pemenuhan kepentingan pribadi (res-privata) sebagai tujuan utama. Padahal, penguatan kultur demokrasi bagi rakyat bukan hanya melalui edukasi wacana, tapi juga praksis nyata yang terus berproses dalam peristiwa sosial-politik (Habermas, 1993). Menurut Siti Aminah (Kuasa Negara pada Ranah Politik Lokal, 2014: 202-204), protes yang selalu mengemuka dalam setiap pilkada di hampir sebagian besar daerah di Indonesia muncul akibat kurangnya edukasi politik kepada rakyat ataupun sentralisme partai politik dalam merekrut kader-kadernya, sehingga menimbulkan monetokrasi (demokrasi uang) yang masif.

Dalam perspektif minoritas kreatif yang diusungnya, Arnold Toynbee mengatakan lebih mudah mereproduksi politik kehancuran daripada menginisiasi politik kebaikan. Artinya, lahirnya pemimpin-pemimpin daerah berprestasi mestinya menjadi tren demokrasi langsung yang perlu terus dipelihara. Kalaupun jumlah mereka sejauh ini masih minoritas dibanding jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi, tidak berarti pilkada langsung serta-merta divonis gagal melahirkan pemerintahan yang demokratis. Ini silogisme yang cacat dan prematur.

Pada akhirnya, kita memang mendukung pihak-pihak yang menggugat hasil voting RUU Pilkada ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Namun, sejatinya, sejak jauh-jauh hari publik sudah menuntut ketegasan presiden untuk menolak dilanjutkannya "bola panas" pembahasan RUU Pilkada ke DPR, mengingat inisiatif pembahasan hal tersebut berasal dari pemerintah. Tapi SBY sepertinya sengaja membiarkan energi dan emosi publik terkuras dengan membiarkan "bola panas" RUU tersebut diolah oleh blunder kaki-kaki politik parlemen yang sarat akan siasat.


Berita terkait

Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

22 Agustus 2016

Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

Bawaslu telah meminta Mendagri Tjahjo Kumolo untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan dana hibah pengawasan pilkada 2015.

Baca Selengkapnya

KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

12 Juli 2016

KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

Hadar bakal meminta bantuan Direktorat Pendudukan dan Catatan Sipil memastikan keberadaan pendukung calon perseorangan.

Baca Selengkapnya

Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

29 Juni 2016

Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

KPK melakukan penelitian dengan mewawancarai 286 calon yang kalah pada pilkada. Ini temuannya.

Baca Selengkapnya

Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

19 Juni 2016

Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

Polisi mengevakuasi anggota KPUD Muna keluar dari TPS sambil melepaskan tiga tembakan ke udara.

Baca Selengkapnya

Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

19 Juni 2016

Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

Ini merupakan pemungutan suara ulang yang kedua kali akibat saling gugat dua pasangan calon kepala daerah.

Baca Selengkapnya

Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

6 Juni 2016

Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

Bawaslu kini bisa memeriksa kasus politik uang dalam pilkada.

Baca Selengkapnya

Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

6 Juni 2016

Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

Pendukung Garin menilai seharusnya DPR sebagai wakil rakyat membuat aturan yang lebih bermutu.

Baca Selengkapnya

Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

5 Juni 2016

Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, ada persoalan yang akan terjadi seusai DPR mengesahkan UU Pilkada.

Baca Selengkapnya

Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

2 Juni 2016

Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

PKS sebelumnya menilai anggota DPR yang maju ke pilkada tak perlu mundur dari keanggotaan di Dewan, melainkan hanya perlu cuti.

Baca Selengkapnya

DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

2 Juni 2016

DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

DPR akhirnya mengesahkan undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dalam sidang paripurna hari ini.

Baca Selengkapnya