TEMPO.CO, Jakarta - Munawir Aziz, peneliti, alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).
Peristiwa Gerakan 30 September (G-30 S) pada 1965 merupakan tragedi sejarah yang sampai saat ini masih diperdebatkan. Kontestasi pengetahuan tentang tragedi ini meliputi siapa aktor, korban, dan penonton yang terlibat dalam pusaran peristiwa tersebut.
Publikasi hasil riset dan karya akademis yang mengisahkan peristiwa itu belum sepenuhnya menjadi karya komprehensif tentang bagaimana alur sejarah yang sesungguhnya. Sesungguhnya bisa dimengerti kenapa peristiwa 1965 menjadi "fase gelap". Ini karena saat peristiwa terjadi, terdapat beragam kepentingan ekonomi, politik, dan pengetahuan dalam skala regional, nasional, hingga internasional. Selain itu, kontestasi ideologi setelah Perang Dunia II juga berimbas pada perumusan falsafah bangsa dalam fase awal kemerdekaan.
Meski demikian, gesekan-gesekan ideologi sampai sekarang masih berlangsung. Namun peta kepentingan dan komunitas yang terlibat di dalamnya berubah. Sekarang ini, ideologi-ideologi keislaman trans-nasional menggempur kekuatan Pancasila, sebagai benteng untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, perlu ada kejernihan cara pandang dalam melihat kontestasi ideologi trans-nasional dan kepentingan di baliknya setelah masa Orde Baru. Selain itu, perlu ada kesepahaman tentang posisi korban dan pelaku pada fase sejarah dekade kedua masa kemerdekaan, yakni pada akhir kepemimpinan Sukarno.
Penjernihan tentang posisi korban dan pelaku amat penting untuk merumuskan upaya rekonsiliasi terhadap tragedi 1965. Gagasan rekonsiliasi ini memang tidak mudah untuk dilakukan dalam skala nasional. Namun perlu langkah-langkah kultural dengan menjembatani perbedaan latar belakang kelompok dengan pandangan masa kini terhadap keutuhan Indonesia. Apa yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi presiden perlu diapresiasi sebagai langkah politik yang berani. Gus Dur pernah mengajukan usul agar TAP MPRS XXV/66, yang mengatur masalah larangan pencabutan ajaran komunis. Usul ini ditentang habis-habisan oleh kelompok Islam formalis-puritan yang terlalu khawatir kader-kader komunis bakal muncul kembali.
Sesungguhnya, pelajaran penting dari ide Gus Dur itu adalah bangsa ini merupakan bangsa ksatria yang mau mengakui kesalahan dan belajar dari fase sejarah yang gelap. Kesediaan mengakui kesalahan pada akhirnya akan memberi ruang bagi komunikasi kultural antar-kelompok, sehingga tidak ada lagi pertarungan politik yang merugikan keutuhan bangsa. Rekonsiliasi kultural inilah yang kemudian dikerjakan oleh aktivis Syarikat di Yogyakarta, yang mengembangkan jaringan-jaringan komunitas yang peduli kepada keluarga korban tragedi 1965 dan anggota PKI yang terdiskriminasi.
Rekonsiliasi kultural perlu dikembangkan secara lebih menyeluruh dengan melacak peristiwa-peristiwa gelap yang terjadi dalam rentang sejarah bangsa ini, misalnya peristiwa pada 1998, yang menjadi sejarah gelap bagi orang-orang Cina di negeri ini. Rekonsiliasi kultural merupakan bagian dari visi "revolusi mental" yang perlu dikembangkan jika bangsa ini ingin menjadi besar di bawah pemimpin yang bertumpu pada politik kebangsaan dan kerakyatan.
Berita terkait
Tutup Sampai Juni 2024, Benteng Vredeburg Yogya Direvitalisasi dan Bakal Ada Wisata Malam
21 hari lalu
Museum Benteng Vredeburg tak hanya dikenal sebagai pusat kajian sejarah perjuangan Indonesia tetapi juga destinasi ikonik di kota Yogyakarta.
Baca SelengkapnyaSitus Sejarah Hingga Museum Jadi Favorit Wisatawan di Festival Musim Semi Cina
18 Februari 2024
Liburan Festival Musim Semi atau Tahun Baru Imlek berlangsung meriah di Cina. Wisatawan penuhi libur 8 hari itu ke berbagai destinasi wisata menarik.
Baca SelengkapnyaArab Saudi Temukan Ribuan Artefak pada Awal Periode Islam
6 Februari 2024
Di antara temuan arkeologi itu adalah artefak-artefak dari Masjid Usman bin Affan pada abad ke 7 hingga ke 8 sebelum masehi
Baca SelengkapnyaOptimis Ganjar-Mahfud Kuasai Suara, Sekjen PDIP: Keduanya Berpihak Sejarah yang Benar
14 Januari 2024
Mengingat pentingnya sejarah itu, Hasto mengungkap pesan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Baca SelengkapnyaBerkunjung ke Lokasi Tragedi Situjuah di Sumatra Barat, Ada Peringatan Khusus Setiap Januari
12 Januari 2024
Sampai saat ini tragedi Situjuah masih dikenang masyarakat Nagari Situjuah Batua Sumatra Barat. Ada pengibaran bendera sebulan penuh dan ziarah makam
Baca SelengkapnyaBernalar Berdaya di SMAN 91 Jakarta: Membangun Generasi Muda dengan Pemikiran Cerdas dan Literasi
11 Januari 2024
Kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan generasi muda terhadap literasi digital dan sejarah.
Baca SelengkapnyaIni Alasan Kenapa Tahun Baru Jatuh Pada 1 Januari, Ada Sejarahnya
26 Desember 2023
Januari ditetapkan sebagai awal tahun baru melalui sejarah yang panjang. Berikut ini alasan kenapa tahun baru jatuh pada 1 Januari.
Baca SelengkapnyaSejarah Hari Ibu 22 Desember, Berawal dari Sumpah Pemuda
22 Desember 2023
Sejarah Hari Ibu 22 Desember berawal dari Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 hingga mencetuskan para perempuan untuk menyatukan diri.
Baca SelengkapnyaInilah 3 Alasan Persib Bandung Ubah Hari Lahir Klub
22 Desember 2023
Berikut adalah alasan Persib Bandung mengubah tanggal lahirnya menjadi 5 Januari 1919.
Baca Selengkapnya6 Hal Seru yang Bisa Dilakukan di Hanoi Vietnam, Menjelajah Danau dan Mencicipi Kopi Telur
26 November 2023
Berlayarlah di sepanjang Teluk Halong atau lakukan perjalanan sehari ke Provinsi Ninh Binh untuk menjelajahi gua selama berkunjung ke Hanoi Vietnam.
Baca Selengkapnya