TEMPO.CO, Jakarta - Khudori, anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010–sekarang).
Dari sejarah terbaca tak ada kegiatan ekonomi di Indonesia yang lebih advance daripada industri pergulaan. Jejak-jejaknya mudah ditemukan: pabrik gula (PG) BUMN di Jawa yang dikelola PT PN IX–XI dan PT RNI dan pusat riset gula yang dulu termasyhur, P3GI di Pasuruan. PG-PG ini dibangun pada era kolonialisme Belanda abad ke-18.
Di masa itu, dengan meningkatkan kualitas produk dan produktivitas perusahaan, konsolidasi perusahaan, mendirikan lembaga riset, serta peningkatan produktivitas kebun, industri pergulaan di Jawa berubah secara radikal: dari tidak efisien menjadi yang terefisien di dunia hingga mengalahkan industri gula Eropa. Secara ekonomi, industri ini memberi kemakmuran luar biasa kepada Belanda. Pada periode 1860–1865, 56,8 persen pendapatan nasional Belanda ditopang oleh industri gula. Pada 1930, Hindia Belanda menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia. Industri gula telah menjadi "gabus tempat mengapung Holland".
Satu abad berlalu, kini Indonesia menjadi importir gula terbesar kedua setelah Rusia. Penurunan kinerja ini tidak terjadi tiba-tiba, melainkan merupakan hasil pergulatan ekonomi-politik puluhan tahun. Kemerosotan terjadi karena miskin inovasi, PG absolete, tua, dan kapasitas giling kecil (di bawah 3.000 ton tebu per hari). Saat ini jumlah PG 59 buah, 68 persen di antaranya berusia di atas 90 tahun dan 80 persen terdapat di Jawa. Akibat mesin tua, kinerja PG, terutama PG BUMN, tak maksimal.
Selain itu, berbeda dengan PG swasta, PG-PG BUMN yang sebagian besar berada di Jawa tidak memiliki lahan sendiri. Pasokan tebu PG sepenuhnya bergantung pada lahan petani. Padahal, kondisi petani cukup beragam dalam hal kemampuan finansial maupun penguasaan teknis budi daya tebu. Manajemen di lahan yang terpisah dari manajemen giling (PG) ini membuat PG tidak mudah mengintegrasikan kegiatan tanam, tebang, angkut, dan giling. Munculnya masalah di satu titik akan berdampak panjang bagi titik-titik berikutnya. Hadirnya gula rafinasi yang tak terkendali membuat aneka masalah gula kian kusut.
Aneka masalah ini membuat PG kita tidak kompetitif. Ini salah satu alasan PT RNI hendak menutup dua PG-nya. Di negara produsen dan eksportir gula utama, seperti Brasil, Australia, dan Thailand, biaya pokok produksi gula hanya sekitar 50–80 persen dibanding biaya gula kita. Budi daya tebu dilakukan secara mekanis dan prosesnya semi-otomatis di pabrik. Alokasi biaya tenaga kerja relatif kecil. Kapasitas giling PG besar rata-rata 10–15 ribu ton tebu per hari. PG amat efisien (Toharisman, 2014).
PG tidak hanya menghasilkan gula seperti di Indonesia, tapi juga produk turunan lain yang bernilai ekonomi tinggi, seperti etanol, listrik, dan kertas. Tebu sebenarnya bisa disulap menjadi puluhan produk turunan bernilai tinggi.
Untuk meningkatkan daya saing PG, sejumlah langkah simultan harus dilakukan. Pertama, PG-PG kecil bisa diamalgamasi atau dikonsoliasi menjadi sebuah PG besar, sehingga biaya produksi gula dan produk hilir lainnya bisa lebih ekonomis. Kedua, produktivitas gula ditingkatkan dengan perbaikan varietas tebu dan kultur teknis. Ketiga, kehilangan gula selama perjalanan dari kebun ke PG ditekan seminimal mungkin. Keempat, kalau memungkinkan, menyatukan kembali manajemen di lahan dan giling. Kelima, orientasi produksi bukan hanya gula, tapi juga diperluas ke produk turunan lainnya.
Berita terkait
Erick Thohir Berharap Revitalisasi Industri Gula Penuhi Kebutuhan Nasional Jangka Panjang
10 Oktober 2022
Erick Thohir mengungkapkan revitalisasi industri gula dapat memenuhi kebutuhan gula nasional.
Baca SelengkapnyaBadan Pangan Nasional Buat Regulasi Atur Tata Kelola Gula
4 Agustus 2022
Badan Pangan Nasional akan membuat regulasi tata-kelola gula untuk memperkuat industri gula nasional.
Baca SelengkapnyaLebih dari 50 Persen Pasokan Gula RI Masih Tergantung Impor
4 Agustus 2022
Badan Pangan Nasional mencatat kebutuhan total gula secara nasional mencapai 7,3 juta ton per tahun.
Baca SelengkapnyaKeluhkan Kelangkaan Gula Rafinasi, Pelaku Industri Surati Gubernur Jawa Timur
8 Maret 2021
Pelaku industri makanan dan minuman Jawa Timur menyurati Gubernur Khofifah Indar Parawansa mengeluhkan kelangkaan gula rafinasi.
Baca SelengkapnyaAwasi Distribusi Gula, Mendag Gandeng Satgas Pangan dan DPR
11 April 2020
Mendag Agus Suparmanto bersama Satgas Pangan dan Komisi VI DPR secara intensif mengawasi industri gula.
Baca SelengkapnyaFaktor Cuaca dan Lahan, Produksi Gula Diprediksi Tak Capai Target
13 Februari 2020
Asosiasi Gula Indonesia memperkirakan produksi gula tahun ini turun 10 persen dibandingkan 2019.
Baca SelengkapnyaKementerian Pertanian Adukan Majalah Tempo ke Dewan Pers
9 September 2019
Laporan investigasi Majalah Tempo edisi 9-15 September 2019 bertajuk "Gula-Gula Dua Saudara" dinilai menyudutkan Kementerian Pertanian.
Baca SelengkapnyaMendag Ancam Cabut Izin Pabrik yang Jual Gula Rafinasi ke Pasar
6 Agustus 2019
Menteri Perdagangan Enggarsito Lukita mengancam akan mencabut izin perusahaan yang menyalahgunakan produksi gula rafinasi dengan dijual bebas ke pasar
Baca SelengkapnyaJika Ditugasi Impor Gula Mentah, PTPN X Siap
1 Juli 2019
Impor gula mentah itu dilakukan guna memenuhi konsumsi gula kristal putih (GKP).
Baca SelengkapnyaAPTRI Minta Jokowi Pilih Menteri yang Berpihak pada Petani Tebu
29 Juni 2019
APTRI meminta Presiden Jokowi pilih menteri yang memahami petani tebu karena saat ini industri gula sudah kritis.
Baca Selengkapnya