Aturan mengenai lembaga survei yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum menuai kontroversi. Komisi seharusnya tidak mengurusi masalah sampel, metodologi, dan independensi lembaga survei. Hanya, urusan yang penting seperti cara penayangan hasil hitung cepat memang masih termasuk wewenang KPU.
KPU memuat semua aturan itu dalam Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013 tentang Partisipasi Masyarakat. Intinya, semua lembaga survei yang melakukan sigi politik dan hitung cepat hasil pemilu wajib mendaftar ke KPU. Lembaga survei juga diminta menyebutkan metodologi yang digunakan dan membuat pernyataan bahwa kegiatan mereka bebas dari kepentingan peserta pemilu.
Walau berpengaruh besar terhadap hasil pemilu, urusan itu sebetulnya sudah masuk wilayah akreditasi. Para pelaku survei seharusnya mengurus sendiri masalah ini. Belum adanya akreditasi lembaga survei membuat publik sulit menentukan lembaga survei yang kredibel dan independen. Sudah bukan rahasia pula ada lembaga survei abal-abal yang sengaja dibuat untuk menguntungkan salah satu kandidat presiden atau partai politik.
Lembaga survei sebenarnya bisa secara sukarela mengumumkan sumber pendanaannya secara terbuka. Sampel dan metodologinya pun mesti dipaparkan secara detail dan jelas. Bahkan mereka perlu menyatakan bahwa kegiatannya tidak untuk mendukung suatu partai politik atau calon presiden. Cara ini akan memudahkan publik untuk menilai independensinya.
Hanya, aturan lain yang dimuat dalam Peraturan KPU itu masih dalam lingkup penyelenggaraan pemilihan umum. Misalnya, mengenai larangan rilis hasil survei politik pada masa tenang. Begitu pula quick count hasil pemilu yang mesti diumumkan paling cepat dua jam setelah pemungutan suara. Aturan ini memang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Bahkan penayangan hasil hitung cepat wajib memuat pernyataan bahwa hitungan tersebut bukan dikeluarkan resmi oleh KPU.
Aturan itu masuk akal karena hasil hitung cepat berpotensi membingungkan masyarakat. Berbahaya pula bila lembaga survei mengeluarkan hasil quick count pada saat proses pemungutan suara masih berjalan. Hasil hitung cepat itu bisa mempengaruhi pemilih yang belum mencoblos. Sebab, orang akan cenderung memilih partai politik atau kandidat yang berpotensi menang.
Pelanggaran terhadap ketentuan itu juga terancam sanksi pidana. Mengumumkan hasil survei pada masa tenang, misalnya, diancam hukuman 1 tahun penjara. Adapun melanggar ketentuan cara mengumumkan hasil hitung cepat bisa dihukum maksimal satu setengah tahun penjara.
Lembaga survei bisa saja mengelak dari kewajiban mendaftarkan diri dan melaporkan metodologinya ke KPU. Apalagi aturan ini tak ada sanksinya. Tapi mereka tidak bisa menghindar dari ketentuan mengenai cara merilis hasil survei dan hitung cepat yang memang diatur dalam undang-undang.