Pada Suatu Hari, Ikarus

Penulis

Senin, 30 Desember 2002 00:00 WIB

Pada suatu hari, Ikarus, yang terpenjara di Pulau Kreta, ingin melarikan diri melalui udara, terbang. Ayahnya, Daedalus, seorang penemu, membuatkannya sayap. Bulu-bulu garuda pun dihimpun dan ditata, dan akhirnya sepasang suwiwi besar pun jadi, direkatkan dengan lilin ke tubuh si anak. Ia terbang. Tapi ia terbang terlalu tinggi, mendekati matahari. Lilin itu pun meleleh oleh panas surya, dan suwiwi itu tanggal, dan Ikarus jatuh ke bumi, ke Laut Aegea. Ia tenggelam.

Mithologi Yunani itu tak bercerita apa yang terjadi ketika ia terempas ke permukaan ombak. Tapi, di tahun 1555, Brueghel Yang Tua melukis adegan itu. Dalam Lanskap dengan Kejatuhan Ikarus, perupa termasyhur Belanda abad ke-16 itu tak memaparkan sebuah kecelakaan yang menyedihkan ataupun sebuah peristiwa yang dramatik. Justru sebaliknya.

Di kanvasnya, yang tampak adalah sebuah pemandangan pastoral, cerah dan penuh warna. Pagi musim semi. Di bagian depan, seorang petani menggaru ladang. Seorang penggembala, seraya bertelekan pada tongkat, tampak melihat ke langit jernih. Anjingnya duduk sabar, memantau beberapa belas domba yang asyik mencari makan. Sedikit di sebelah kanan, tampak punggung seorang yang duduk ke arah teluk, mungkin memandangi kapal yang berlayar di laut hijau Aegea yang tak diguncang ombak. Di dekat kapal itulah, di permukaan yang praktis tanpa gelombang, tampak sepasang kaki menggelepar di air?sepasang paha dan betis yang memutih sebentar sebelum tenggelam. Itulah tubuh Ikarus yang malang.

Dalam Lanskap dengan Kejatuhan Ikarus, hidup yang normal tampaknya tak terguncang oleh nasib seseorang yang tengah terbanting dan direnggut Maut. Apakah yang hendak diutarakan kanvas itu sebenarnya: bahwa yang terjadi bukanlah sebuah tragedi, melainkan sesuatu yang lucu seperti badut yang tergelincir kulit pisang? Tak berhargakah jiwa anak itu, apa pun kesalahannya? Pertanyaan itu memang mengusik. Dua orang penyair melihat karya Brueghel yang tergantung di museum seni rupa di Brussels itu dan mereka tergerak menulis sajak. Dari William Carlos Williams kita temukan baris-baris pendek seperti telegram, seakan-akan gambaran faktual yang disajikan tanpa gerak emosi. Seluruh sajaknya mengisyaratkan suasana acuh tak acuh?dan kita pun merasakan sebuah gugatan yang tersirat terhadap sebuah tragedi yang dibiarkan berlalu tanpa arti.

Sajak W.H. Auden, dalam Musee des Beaux Arts, memakai kalimat yang lebih panjang, dan dengan protes yang lebih diungkapkan:

Advertising
Advertising

Penggaru ladang itu
Mungkin mendengar'suara terempas itu,
teriak yang diabaikan itu
Tapi baginya, itu bukan satu kegagalan penting

Juga kapal yang apik dan mahal itu tentunya melihat "sesuatu yang menakjubkan"?seorang anak jatuh dari langit?tapi toh berlayar terus dengan tenang; "ada pelabuhan yang harus dijelang".

Pada akhirnya lukisan Brueghel adalah contoh dari yang hendak dikemukakan Auden tentang penderitaan. Penderitaan, kata sajaknya, berlangsung, "sementara seseorang makan, atau membuka jendela, atau cuma berjalan-jalan, seperti alpa". Anak-anak "berselancar di permukaan es di sebuah kolam di tepi hutan", sementara "the dreadful martyrdom must run its course" _ "mati syahid yang ngeri itu harus berjalan di arahnya".

Tapi benarkah Brueghel, seperti dikira Auden, menggugat ketidakacuhan itu? Ataukah ia malah merayakannya? Jika diperhatikan, lukisannya memaparkan sebuah lanskap yang seakan-akan disaksikan dari atas, dari langit. Mungkin bagi seorang yang hidup di abad ke-16, di panorama itu tak ada yang harus dipersoalkan. Ia hidup ketika agama jadi percakapan pokok dan bunuh-membunuh terjadi karena percakapan itu: setelah 1550, perang atas nama iman meletup di mana-mana di Eropa antara orang Katolik dan Protestan. Di masa seperti itu, orang akan mengatakan bahwa "Langit" memandang nasib Ikarus sebagai insiden yang tak luar biasa. Ketika kita hanya bicara tentang surga dan keabadian, ketika segala rupa dan peristiwa di dunia sepenuhnya dilihat dari takhta di atas yang kekal, apa arti kesengsaraan manusia? Pentingkah bencana dan kematian?

Barangkali bagi Brueghel, nasib malang Ikarus, kisah seorang anak muda yang terbang dan tak sampai, adalah bagian dari kehidupan sehari-hari: ada petani yang bekerja dan kapal yang berniaga, tapi ada pula orang yang berikhtiar tapi gawal. Atau mungkin Ikarus sebuah contoh kesia-siaan manusia yang takabur dan lupa berhati-hati. Maka bila ia terjerembap dan mati, biarlah. Mungkin bagi seorang dari abad ke-16, hidup lebih baik dijalani dengan menerima kenikmatan yang ada, seperti penggembala yang mensyukuri musim yang jernih. Atau lebih baik hidup ditempuh dengan kerja yang jujur, dengan membajak bumi dan mengarungi laut. Kenapa Ikarus tak meniru penggaru yang tekun, penggembala yang sabar, dan saudagar yang makmur di kapal itu? Kenapa ia harus melanggar kodrat manusia yang sudah ditetapkan, yakni bahwa ia bukan unggas?

Kita, di abad ke-21, tentu bisa berkata: kodrat manusia tak bisa dirumuskan begitu saja. Ketika kita merasa berhasil merumuskannya, jangan-jangan kita melenyapkan kemungkinan orang untuk berbeda?sehingga siapa saja yang berlainan dari "kodrat" itu akan kita sebut "bangsat" atau "kunyuk", dan kita basmi.

Atau kita akan terkecoh: dengan merumuskan "kodrat" atau "hakikat", kita tak menduga suatu ketika manusia akan mampu menembus rumus itu. Ikarus memang gagal, tapi seandainya tak pernah ada orang yang berani mencoba terbang, memerdekakan diri dan jadi "ganjil", dunia akan tetap seperti abad ke-16. Tak akan ada Wright Bersaudara, dua orang Amerika yang di tahun 1903 dengan sebuah mesin bisa terbang selama 10 menit di sebuah lapangan di North Carolina?dan dengan itu membuka jalan manusia untuk menjelajah, seperti burung, bahkan lebih dari burung, hingga angkasa tak menakutkan lagi.

Pernah terpikir oleh saya, apa gerangan jadinya seandainya Ikarus, si tokoh mithologi, juga berhasil. Mungkin panorama dalam kanvas Brueghel akan berubah: mungkin penuh sukacita, tapi mungkin juga resah. Sebab telah datang manusia yang mengalahkan alam, dimulai dengan melawan batas tubuhnya sendiri. Siapa yang mampu demikian akan berkuasa atas hal-hal lain. Ia akan melihat dirinya berdaulat dan penuh daya?sebuah gambaran manusia menurut humanisme.

Gambaran humanis ini memang mempesona: manusia jadi subyek yang bebas, yang bisa memutuskan bahwa dirinyalah pusat ukuran segala hal-ihwal. Tapi kemudian orang sadar: ketika manusia menegakkan diri sebagai subyek yang otonom, ia sekaligus membuat yang di luar dirinya sebagai obyek yang tak otonom. Yang "sini" menaklukkan yang "sana". Yang "sana" itu bukan saja langit, ladang, dan laut. Pada gilirannya juga para peladang dan pelaut dan siapa saja yang dianggap tak cukup layak jadi "manusia".

Itulah yang memang terjadi, bahkan sebelum mesin terbang ditemukan. Citra manusia yang serba kuat dan berdaulat itu diperkukuh oleh mereka yang tak hanya menggaru ladang, tapi juga membangun kota, tak hanya menggembala, tapi juga mengukur cuaca, tak hanya melintasi Laut Aegea, tapi menemukan ilmu, mengembangkan seni, memenangi perang.

Di sana kita lihat profil manusia "Eropa". Sebuah peradaban yang dahsyat terbentang, tapi juga kolonialisme. Sang penakluk ujung dunia akhirnya memandang makhluk yang ditaklukkan di ujung itu "belum-manusia": mereka yang layak dihabisi, atau ditindas, atau, dalam kata-kata Franz Fanon, pemikir anti-kolonialisme di Aljazair, "diundang untuk jadi manusia". Dengan kata lain, dunia sang terjajah harus dibentuk agar mengikuti prototipe "manusia" yang disusun oleh dunia borjuis "Barat".

Tapi Perang Dunia ke-II yang kejam pecah, dan kolonialisme goyah, lalu runtuh. Dari segala penjuru datanglah kritik kepada humanisme. Terkadang berlebihan. Terkadang orang lupa bahwa ide tentang manusia sebagai subyek yang otonom itu juga yang mendorong orang-orang terjajah melawan. Di Asia, Afrika, dan di Amerika Latin mereka tak lagi menerima anggapan bahwa si terjajah adalah kategori "sana" yang "belum manusia", makhluk "terkebelakang" yang tak berdaya. Mereka melawan, mungkin memilih Ikarus?tentu saja Ikarus yang berhasil?sebagai lambang, sebab mereka juga ingin lepas dari penjara, terbang menembus kodrat, menguak takdir.

Tapi ada yang cemas, memang, akan ketakaburan manusia. Ada orang beragama yang kini mengecam humanisme seperti di zaman dulu orang mengecam Ikarus: sebuah contoh kepercayaan diri yang berlebihan, sebuah hubris. Kaum Kristen Kanan bahkan menyamakan "humanisme" dengan "titanisme", pandangan yang menerakan sifat ke-maha-kuasa-an Tuhan pada manusia.

Mereka menolak itu, tentu. Bagi mereka, manusia tak bisa hadir sebagai subyek yang otonom. Ketidakpercayaan kepada manusia pula yang menyebabkan mereka, seperti halnya kaum fundamentalis dalam Islam, ingin agar Tuhan-lah yang menentukan tatanan hidup di bumi, dengan kata dan undang-undang yang pasti.

Tapi tidakkah itu juga sebuah bentuk ketakaburan antroposentris: dilengkapi dengan kata dan undang-undang, Tuhan tetap dimunculkan dengan manusia sebagai model dan ukuran? Tentu saja ukuran itu tak akan pernah pas. Tuhan lebih agung ketimbang kata dan undang-undang, naskah, dan syariah. Kita ingat sayap Ikarus yang mencoba menggapai matahari; ia tak akan sampai?.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

2 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

2 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

11 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

52 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

57 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

58 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya