Mengatasi Inflasi Lewat Pemberdayaan Masyarakat Miskin

Penulis

Kamis, 9 Oktober 2014 00:41 WIB

Dian Ediana Rae,
Kepala BI Jawa barat

Lebih dari 70 persen penyebab inflasi di Indonesia berasal dari sisi pasokan. Melihat data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin dan penganggur di Indonesia masing-masing mencapai 28,28 juta orang dan 7,15 juta orang. Kondisi ini bisa lebih parah jika menggunakan standar ukuran kemiskinan yang berbeda. Walhasil, dapat disimpulkan bahwa sekitar 11,25 persen rakyat Indonesia tidak atau kurang berkontribusi terhadap produktivitas perekonomian, atau bahkan menjadi beban perekonomian Indonesia.

Merujuk pada komposisi kontribusi usaha yang berpotensi dijadikan sarana pemberantasan kemiskinan dan pengangguran, sudah sewajarnya pemerintah memberi perhatian yang lebih besar bagi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Meski jumlah pelaku UMKM mencapai 99 persen dari jumlah total perusahaan di Indonesia, kontribusinya secara nasional baru sekitar 7 persen.

Hal ini menunjukkan terbatasnya kontribusi saham (share) UMKM terhadap GDP. Dilihat dari distribusi sektoral tenaga kerja, sektor pertanian masih dominan. Lebih dari 34,55 persen tenaga kerja berada dalam sektor pertanian. Ironisnya, justru Indonesia masih menghadapi persoalan mendasar, yakni keamanan pangan (food security).

Ini tidak saja menimbulkan inflasi dari aspek keseimbangan permintaan dan penawaran, tapi juga inflasi yang terjadi akibat barang-barang komoditas yang diimpor (imported inflation). Karena itu, program mengatasi inflasi bisa sekaligus digabungkan dengan program pemberantasan kemiskinan/penggangguran serta ketahanan pangan.

Upaya mengatasi masalah inflasi di Indonesia tidaklah sederhana. Sebab, masih terdapat faktor fundamental yang mengganggu bekerjanya mekanisme pasar secara sempurna, antara lain masih kurangnya produktivitas, kurang memadainya infrastruktur (seperti jalan raya dan pasokan listrik), serta distorsi pasar. Begitu juga jaringan distribusi dan pemasaran, yang masih memiliki kelemahan struktural. Semua itu merupakan hilir dari kapasitas fiskal pemerintah yang masih terbatas karena beban subsidi BBM dan listrik telah mencapai sekitar Rp 363 triliun. Adapun defisit fiskal berdasarkan undang-undang dibatasi tidak boleh melampaui 3 persen.

Identifikasi persoalan pengangguran dan kemiskinan di Indonesia harus digarap secara lebih komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Profil dan karakteristik para penganggur dan orang miskin harus dibedah tuntas, dari kategori kemiskinan, tingkat pendidikan, lokasi, hingga potensi daerah berpenduduk miskin. Informasi seperti ini dapat dikolaborasikan dengan data penyebab inflasi, seperti produksi yang rendah dari holtikultura, ketergantungan pada bahan baku impor untuk produk-produk tertentu, dan lain sebagainya.

Pemerintah dan anggota DPR yang baru perlu mengambil langkah sesegera mungkin untuk mengakhiri subsidi BBM dan merelokasi subsidi BBM untuk program-program afirmatif yang cerdas dan terukur demi memberantas pengangguran dan kemiskinan sekaligus mengatasi goncangan dari administered prices, yang merupakan salah satu penyebab utama inflasi di Indonesia.

Seiring dengan keterbatasan ruang gerak fiskal, masih banyaknya kelemahan struktural dalam perekonomian, dan masih terjadinya policy mismatch dalam berbagai sektor perekonomian-serta jika merujuk pada peran Bank Indonesia sebagai otoritas moneter-tampaknya harus mulai diwacanakan kembali peran BI sebagai lembaga negara yang independen dan tidak semata-mata memiliki sasaran tunggal (single goal) untuk memelihara nilai mata uang rupiah. Ia juga menciptakan peran lebih luas dalam pertumbuhan ekonomian serta penciptaan kesempatan dan lapangan kerja seperti yang pernah dimilikinya sebelum 1999.

Apabila kewenangan ini dapat diperoleh kembali, BI dapat secara langsung mempengaruhi sisi pasokan dalam perekonomian sekaligus memainkan perannya dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Pertimbangan lainnya untuk mengembalikan peran BI adalah persoalan kemiskinan dan pengangguran ,yang menimbulkan dilema dalam kebijakan moneter.

Dilema ini dirasakan ketika BI menetapkan kebijakan moneter ketat dalam upaya pengendalian perekonomian jangka menengah dan panjang. BI sering menjadi sasaran kritik para pengamat dan kalangan pengusaha yang menganggap kebijakan moneter sebagai penghambat pertumbuhan perekonomian yang berpotensi mengurangi kapasitas penciptaan kesempatan kerja baru serta penghapusan kemiskinan.

Padahal, di sisi lain, di tengah keterbatasan kebijakan fiskal yang mendasar, akan sangat diperlukan kebijakan moneter untuk menghindari kondisi perekonomian yang lebih buruk. Kondisi ini memerlukan langkah-langkah tepat, terarah, dan terukur untuk mencari keseimbangan antara kepentingan stabilitas moneter dan kelanjutan upaya mengatasi penggangguran serta kemiskinan. Ke depan, pemerintah dan BI dapat mengelaborasi persoalan-persoalan fundamental perekonomian bangsa secara sinergis dan komplementer.

Berita terkait

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

4 hari lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

7 hari lalu

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.

Baca Selengkapnya

Menhub Budi Karya Sebut Bandara Panua Pohuwato akan Tingkatkan Perekonomian Gorontalo

9 hari lalu

Menhub Budi Karya Sebut Bandara Panua Pohuwato akan Tingkatkan Perekonomian Gorontalo

Menteri Perhubungan atau Menhub Budi Karya Sumadi mengatakan Bandara Panua Pohuwato menjadi pintu gerbang untuk mengembangkan perekonomian di Kabupaten Pohuwato dan Provinsi Gorontalo.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Pakai Kain Batik pada Hari Terakhir di Washington, Hadiri 3 Pertemuan Bilateral

10 hari lalu

Sri Mulyani Pakai Kain Batik pada Hari Terakhir di Washington, Hadiri 3 Pertemuan Bilateral

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenakan kain batik pada hari terakhirnya di Washington DC, Amerika Serikat, 21 April kemarin.

Baca Selengkapnya

Apa Kata Pengamat Ekonomi jika Konflik Iran-Israel Berlanjut bagi Indonesia?

14 hari lalu

Apa Kata Pengamat Ekonomi jika Konflik Iran-Israel Berlanjut bagi Indonesia?

Konflik Iran-Israel menjadi sorotan sejumlah pengamat ekonomi di Tanah Air. Apa dampaknya bagi Indonesia menurut mereka?

Baca Selengkapnya

Imbas Serangan Iran ke Israel, Pemerintah akan Evaluasi Anggaran Subsidi BBM 2 Bulan ke Depan

16 hari lalu

Imbas Serangan Iran ke Israel, Pemerintah akan Evaluasi Anggaran Subsidi BBM 2 Bulan ke Depan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merespons soal imbas serangan Iran ke Israel terhadap harga minyak dunia. Ia mengatakan pemerintah akan memonitor kondisi selama dua bulan ke depan sebelum membuat keputusan ihwal anggaran subsidi bahan bakar minyak atau BBM.

Baca Selengkapnya

Airlangga Siapkan Antisipasi Imbas Tekanan Serangan Iran ke Israel Terhadap Perekonomian RI

16 hari lalu

Airlangga Siapkan Antisipasi Imbas Tekanan Serangan Iran ke Israel Terhadap Perekonomian RI

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi soal imbas serangan Iran ke Palestina terhadap perekonomian Indonesia.

Baca Selengkapnya

Menko Perekonomian Airlangga Sebut Bakal Lakukan Antisipasi Imbas Serangan Iran ke Israel

17 hari lalu

Menko Perekonomian Airlangga Sebut Bakal Lakukan Antisipasi Imbas Serangan Iran ke Israel

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut bakal melakukan antisipasi imbas serangan Iran ke Israel agar perekonomian tidak terdampak lebih jauh.

Baca Selengkapnya

ADB Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik Mencapai 4,9 Persen Tahun Ini, Apa Saja Pemicunya?

21 hari lalu

ADB Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik Mencapai 4,9 Persen Tahun Ini, Apa Saja Pemicunya?

ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia dan Pasifik bakal mencapai angka rata-rata 4,9 persen pada tahun ini.

Baca Selengkapnya

Pengusaha Beri Masukan Peta Perekonomian ke Prabowo, Apa Isinya?

21 hari lalu

Pengusaha Beri Masukan Peta Perekonomian ke Prabowo, Apa Isinya?

Kalangan pengusaha di Apindo memberi masukan berupa peta perekonomian kepada pemerintahan selanjutnya yakni Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.

Baca Selengkapnya