Adieu

Penulis

Senin, 27 Januari 2003 00:00 WIB

- untuk Th. Sumartana (1944-2003)

Tidak, kita tak berada di tengah senja berhala-berhala. Hari-hari ini Tuhan tak henti-hentinya disebut, di gereja, di masjid, di gedung besar atau di lapangan, di pelbagai khotbah dan bukan khotbah, dengan suara yang begitu mantap, dengan keyakinan yang begitu mutlak dan terkadang menyalak. Tapi benarkah sebenarnya Ia yang disambut? Tidakkah yang dielu-elukan secara riuh-rendah itu sesungguhnya sebuah konsep yang berperan sebagai pengganti yang disembah, sebuah sosok yang dianggap sebagai Tuhan sendiri dan untuknya segala hal bisa dijadikan korban?

Ketika Tuhan dibatasi dengan dan oleh konsep dan tafsir manusia tentang Dia, pada saat itu manusia sebenarnya menyamaratakan-Nya dengan sembarang hasil pengetahuan dan pemikiran. Pemberhalaan terjadi bukan hanya ketika "citra Tuhan" ditatah jadi arca yang agung, tapi juga ketika hasil sebuah pengertian tentang Tuhan disodorkan sebagai sebuah konklusi yang lengkap, serba mencakup, tanpa pamrih, dan sebab itu suci dan final. Dengan kata lain, ketika konsep itu tak diakui sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh satu sudut pandang tertentu, atau oleh suatu pengalaman sejarah tersendiri, atau suatu kepentingan yang terarah. Dengan kata lain, ketika "Tuhan" yang disebut sebagai wujud yang bertakhta dan berkata-kata itu tak diakui sebagai tafsir yang terbatas dan tergantung.

Saya kira sejak beberapa puluh tahun yang lalu Th. Sumartana sadar bahwa pembentukan dan penyembahan berhala itulah yang menyebabkan agama-agama bersaing dan bertikai. Pada akhirnya ia, bersama teman-temannya, membentuk Interfide, tempat orang Kristen dan Islam (dan mungkin juga Buddha dan Hindu) bertukar pikiran dan bekerja sama. Sampai di akhir hayatnya 24 Januari yang lalu, pada umur 59, ia percaya kepada arti dialog antarpenganut agama yang berbeda-beda itu?dengan kesabaran dan ketulusan yang menakjubkan, di tengah suara kebencian antarumat di hampir tiap sudut, di sela-sela bunuh-membunuh di Maluku dan di Poso. Saya kira semua itu bisa mungkin karena ia, seorang Protestan, setia kepada Tuhan yang belum diubah jadi monumen. Rasanya ia tak hendak percaya bahwa Allah bisa selamanya diperlakukan sebagai sebuah patung dengan mata berapi-api dan mulut menyemburkan marah.

Seingat saya, kami berkenalan pertama kali di Balai Budaya, Jakarta, di awal 1960-an. Kami bertemu di sana-sini di sebuah zaman ketika anak-anak muda, untuk memakai kata-kata Iwan Simatupang, "ramai-ramai jadi eksistensialis", dan mencoba membaca theologi Paul Tillich. Mereka berbicara, setengah paham setengah bingung, tentang dosa dalam bentuk "keterasingan manusia", tentang agama sebagai ekspresi yang menuruti ultimate concern, dan Tuhan yang tak dibayangkan dalam sosok personal. Saya tak tahu apa yang tersisa dari masa itu, selain kegelisahan untuk menjelajah (keraguan adalah unsur iman, kata Tillich), dan pengertian tentang Tuhan yang tak berhenti pada satu atau dua berhala. Dengan kata lain, Tuhan yang "tak bisa dinamai"?seperti Tuhan dalam Surah al-Ikhlas bagi orang Islam, atau Tuhan yang disebut hanya dengan huruf-huruf konsonan dalam alkitab orang Yahudi dan Nasrani. Dengan kata lain, Tuhan yang, diucapkan dalam gaya Derrida, "belum-belum telah mengkontradiksi diri". Dieu dej se contredit.

Advertising
Advertising

Bersama Tuhan seperti itulah Sumartana merenung, menulis, bekerja. Ia tak diam. Diam hanya akan membuat Kata jadi mirip rangkaian batu di monumen yang keras. Adakah ia berdoa? Saya tak tahu apa arti doa baginya. Doa juga bisa menjadi peristiwa kegagalan kata. Doa bisa jadi pernyataan kesalihan yang banal atau pengulangan yang mekanis. Ada yang mengatakan bahwa doa, ketika kita menggunakan bahasa manusia kepada Tuhan, dengan sendirinya mengandung risiko menjadi musyrik, memperlakukan Ia sebagai sesama. Risiko itu tak terelakkan, dan mungkin itu sebabnya doa mendapatkan artinya justru dalam laku di luar doa, dan saya kira itulah bangunan hidup Sumartana.

Bangunan itu bisa digambarkan dalam sebuah kata: adieu. Sebuah perpisahan, juga sebuah pendekatan. Saya pinjam dari Henk de Vries dalam Philosophy and the Turn to Religion: kata adieu, "selamat tinggal", yang berarti juga Dieu, "kepada Tuhan", menyarankan "arah ke Ilahi" dan juga ucapan pamit kepada Ia yang seakan-akan telah diajak bicara. Jika kita lihat apa yang dikerjakan Sumartana menjelang kematiannya, kedua makna itu dapat dinyatakan secara ringkas: ia ikhlas. Ia menjalani keprihatinannya yang tak terlarai, ultimate concern itu. Ia terus-menerus mencoba menemukan kehendak-Nya, dan pada saat yang sama melepaskan klaim bahwa kehendak itu akhirnya akan bisa ia temukan. Dengan akut ia merasakan angkuhnya pelbagai klaim di sekitarnya, ketika para pengkhotbah memekikkan "kebenaran" di pengeras suara dan bersama itu kekerasan terjadi. Saya selalu melihat Sumartana dengan wajah yang tak bermain-main. Saya bayangkan ia berkata, tentang zaman ini, dengan jelas tapi gemetar, "Tidak, kita tak berada di senjakala berhala-berhala".

Adieu. Bukankah ada yang sedih dalam kata ini? Tapi bukankah juga ada segurat harapan? Di tiap perpisahan dan di tiap pendekatan, manusia tersentuh oleh manusia yang lain. Dengan Tuhan yang terasa dapat dijelang langsung tapi juga terasa sulit digambarkan, manusia pada akhirnya sendiri, tapi pada saat itu juga bersama-sama.

Saya kira itulah terutama yang ditemukan dalam momen kematian, pada saat kesendirian yang paling sendiri. Saya, Anda, dan siapa pun, tak bisa menggantikan Sumartana pada detik terakhir itu. Tapi ketika itulah kita sadar betapa besar kehilangan yang telah terjadi.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

4 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

5 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

14 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

55 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya