Boualem Yekker, seorang pemilik toko buku, hidup dalam kesepian dan kemarahan yang diam, di sebuah negeri yang dulu sebuah republik tapi kini menyebut diri "Komunitas Iman". Perubahan berlangsung di sekitarnya: para pemuda Ikhwanul Waspada muncul ke mana-mana, merusak alat musik, membakar film berpuluh-puluh rol, merobek kanvas lukisan, menghancurkan patungdengan keyakinan bahwa keindahan hanya ada di Tuhan, dan tak ada di bumi yang layak menyaingi wajah-Nya. Demikianlah awal rasa masygul Boualem Yekker. Ia terpojok, ia terkucil, karena sejak dulu ia "menginginkan nyanyian keberangkatan, ratapan yang berbicara tentang kangen ke masa lampau, dan dukacita seorang yang sesat di sebuah kota pembuangan". Sejak kecil, sejak ia belajar di madrasah yang ketat mengajarkan Quran, ia ingin berjalan ke pelbagai tempat di muka bumi. Baginya, ayat-ayat yang menandai jalan ke surga itu terlampau keras dan tegas. Tapi apa daya: ia harus tetap berada di sekolah yang mengungkung itu. Sementara itu, ia tahu: di jam-jam itu, yang sepenuhnya diabdikan untuk memuja dengan membisu sang Kebenaran, sebenarnya berdiri sebuah perisai di antara dirinya dan "sebuah semesta yang mengasyikkan, sebuah semesta yang mempesona tapi juga berbahaya, di mana berisik yang bermain-main terdengar bersama suara mobil, hewan-hewan yang menakjubkan, dan kapal yang melenguh menuju ke laut lepas". Ketika ia tumbuh tua, Boualem Yekker, tokoh utama dalam novel
Le Dernier ete de la Raison (Musim Panas Terakhir Akal Budi), yang terjemahan Inggrisnya terbit tahun ini, makin tahu: bukan cuma ruang kelas itu yang melintang antara dirinya dan perjalanan tualang, tapi juga masyarakat, "yang dibuatkan, oleh sang Teks, sebuah masyarakat yang dipukat oleh sebuah kata yang melumatkannya". Konflik antara si pemilik toko buku yang tak lagi punya pembeli dan masyarakat sekitarnya itu memang tak terelakkan. Bahkan Boualem dimusuhi oleh kedua anaknya sendiri. Bergabung dengan para pemuda militan, si Kamel dan si upik meninggalkan si bapak sendirian di antara skeptisismenya, keraguannya, buku-bukunya. Tapi, sampai akhir novel ini, kita tak tahu bagaimana konflik itu berujung.
Le Dernier ete de la Raison tak pernah selesai. Pengarangnya, Tahar Djaout, penyair dan novelis Aljazair yang tinggal di Bainem, diserang sejumlah pembunuh pada 26 Mei 1993. Setelah sepekan lamanya dalam keadaan koma, ia mati. Naskah novel setengah jalan ini ditemukan di antara tumpukan kertas di kamarnya, dan diterbitkan di Prancis di tahun 1999. Salah satu pembunuhnya kemudian menyatakan bahwa Djaout dibunuh karena ia "memainkan pena yang menakutkan, yang bisa berdampak pada kalangan muslim". Antara pena yang kecil dan Pena Akbar, antara kata seorang novelis dan sang Sabda, memang bisa, dan acap kali, terjadi benturan. Tapi kenapa Kebenaran jadi takut oleh pikiran seseorang, yang pada dasarnya adalah sebuah percobaan dengan kesalahan? Wole Soyinka, orang Nigeria pemenang Nobel Kesusastraan untuk tahun 1986, memberi pengantar untuk novel yang tak selesai ini dengan mengatakan bahwa "wacana hidup-atau-mati dari abad ke-21 tanpa diragukan lagi adalah wacana kefanatikan dan tak adanya toleransi". Saya kira Soyinka salah: apa yang digambarkan Djaout, apa yang terjadi di Aljazair, di Afganistan, dan agak secara terbatas dicoba terjadi di Indonesia, bukan keistimewaan abad ini. Hasrat untuk menyelamatkan manusia dari tubuh dan pikiran yang "berdosa"sebuah penyelamatan yang tak jarang dilakukan dengan paksapernah dicoba oleh Savonarola di Firenze di akhir abad ke-15, oleh Calvin di Jenewa di pertengahan abad ke-16. Dengan bentuk iman yang lain, juga oleh "Revolusi Kebudayaan" Mao di Cina di pertengahan abad ke-20. Kita kini tahu semuanya gagal. Mungkin sebab itulah Djaout, seraut pena kecil, jadi menakutkan: orang-orang saleh di Aljazair itu secara instingtif tahu bahwa hasrat untuk menghela manusia ke dalam iman yang sempurna selalu limbung. Kenyataan jiwa (dengan unsur ketaksadarannya) dan kenyataan tubuh tak bisa diajak buat sempurna. Dan pena-pena kecil itulah yang menjadi isyarat bahwa ada yang lain dari kesempurnaan. Sebab itu mereka menulis puisi, membawakan nyanyi, membentuk garis, mereka warna: mereka mencoba menangkap Yang Indah, tapi tak kunjung tuntas. Pada akhirnya, merekalah sebuah antitesis bagi utopia dalam wujud apa pun. "Kata-kata," demikian ditulis Djaout dalam novelnya, "diletakkan dari ujung ke ujung, membawa keraguan dan perubahan." Tapi tentu saja ada kitab di mana semua itu dianggap "berhenti". Novel
Le Dernier ete dibuka dengan sebuah khotbah: "Buat apakah buku-buku bila sang Kitab hadir untuk memenuhi tiap rasa ingin tahu dan melepas setiap dahaga?" Yang tak dikatakan oleh khatib itu ialah bahwa rasa ingin tahu dan rasa dahaga tak pernah habis, dan mungkin sebab itu sang Kitab menjadi sesuatu yang seperti kita lihat sekarang: sebuah teks-dalam-sejarah. Satu telaah yang cemerlang oleh Taufik Adnan Kamal, dosen ulumul Quran pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar, menunjukkan bahwa di masa awalnya Al-Quran sendiri mempunyai tradisi teks dan bacaan yang beragam, tak tunggal dan tak mandek. Seperti ditunjukkan sejumlah manuskrip zaman Khalifah Utsman, apa yang tertulis di sana bertaut dengan proses penyempurnaan aksara Arab yang mencapai puncaknya pada ujung abad ke-9. Boualem, sang tokoh novel, amat suka teks bahasa Arab, "di mana semua suara menyimpan dialog dan berbaur". Di depan teks itu, "tiap kali, membaca merupakan sebuah avontur baru, langkah ke depan yang tak bisa diduga". Yang menyedihkan ialah bahwa di akhir
Le Dernier ete, pemilik toko buku itu menyaksikan bagaimana teks bisa membisu: negeri telah mengusir semua kata yang tak terkendali, dan "lagu pun lari ke negeri orang terbuang".
Goenawan Mohamad