PADA tanggal 7 Februari 1965, di tengah kecamuk perang Vietnam, seorang pembantu Presiden Johnson menulis sepucuk memo, "Apa yang mungkin akan terjadi di Vietnam muram. Tenaga dan kegigihan Vietkong menakjubkan. Mereka dapat muncul di mana-manadan hampir di saat yang bersamaan. Mereka menanggungkan korban dalam jumlah besar dan mereka kembali lagi dalam jumlah lebih besar." Beberapa tahun kemudian, sekitar menjelang Maret 1968, Presiden Johnson akhirnya mengakui bahwa perang yang berkepanjangan itu tak dapat dilanjutkan. Ia menawari pemerintah Vietnam di Hanoi untuk berunding. Pertemuan di Paris dimulai Mei 1968meskipun perang dan pengeboman masih tetap terus, juga oleh panggantinya, Nixon, sampai akhirnya batas tercapai: April 1975 pasukan komunis menduduki Saigon. Negara-negara besar tak pernah seperti yang dibayangkan: ada berbaris-baris peluru kendali nuklir yang bisa menghancurkan bumi, tapi akhirnya tak berguna, juga dalam sebuah konflik. Ada teknologi yang piawai, dana peperangan yang hampir tanpa batas, tapi akhirnya tak efektif di depan orang-orang kurus yang, dengan tenaga dan kegigihan, muncul dari mana-mana, dan selalu kembali setelah kena gempur. Negara-negara besar, juga Amerika, tak selamanya bisa mengubah dunia menurut wajah yang mereka kehendaki. H.W. Brands menulis
The Wages of Globalism, terbit enam tahun yang lalu, untuk menunjukkan hal yang sering diabaikan itu. Bahkan sebelum Johnson menyadari kegagalan di Vietnam, presiden yang sebenarnya tak tertarik dengan politik internasional itu sudah menyadari kemustahilan Amerika untuk sanggup mengatur orang lain kapan saja dan di mana saja. "Amerika Serikat harus menyesuaikan diri dengan waktu yang berubah dan keadaan yang berubah," tulis Brands. Siapa yang membaca surat kabar dengan setengah rajin akan mengatakan hal yang sama, tapi tentu masih ada orang Amerika yang percaya bahwa sebuah negara superkuat akan mampu membuat alam semesta merunduk, dan masih ada orang anti-Amerika yang "membuktikan" bahwa CIA-lah yang mengakibatkan seorang raja di Pasifik sakit gigi. Orang-orang yang menghancurkan World Trade Center dan mencoba menghancurkan Pentagon pada pagi hari 11 September 2001 itu barangkali juga menduga bahwa jika Amerika Serikat berubah, dunia pun akan berubah. Tapi lihat: seperti halnya bom Amerika tak membuat Vietnam menyerah dan Taliban takluk, juga serangan ke arah gedung-gedung di Amerika pagi itu tak akan membuat Amerika berpaling ke jalan yang benar, apalagi hancur. Tentu saja ada yang berubah di dunia. Tapi bisakah kita dengan yakin memutuskan, seperti menurut narsisisme Amerika yang paling baru, bahwa setelah 11 September, bumi dan kehidupan tak seperti dulu lagi? "Sebuah tafsiran yang menyesatkan tentang sebuah peristiwa yang mengerikan," seperti dikatakan Stanley Hoffman dalam sebuah esai yang ditulis dengan pikiran terang dalam
The New York Review of Books awal November ini. Sebab apa yang terjadi sekarang adalah bahwa "negara-bangsa" tak lagi memainkan rol penting dalam hiruk-pikuk internasional (sesuatu yang sebenarnya sudah lama terjadi, dalam Perang Dingin)dan "perang" melawan terorisme sekarang ini tak lain adalah sebuah perang melawan sebuah NGO, Al-Qaidah, yang tak bertanah air, tak bertapal batas. Dalam kata-kata Stanley Hoffman, kini: "tak ada lagi yang sepenuhnya domestik dan yang sepenuhnya internasional." Teror, modal, teknologi, manusia, informasi. Tak berarti bahwa sebuah "dusun global" terbentuk. Kata "dusun" menyiratkan adanya perasaan saling dekat, saling kenal, dengan sebuah ruang yang ajek. Tapi kita tahu dunia hari ini tak seperti itu. CNN ditonton manusia di seluruh muka bumi, tapi arus informasi yang berjuta-juta setiap menit, melintas dari satu tempat ke tempat lain, menyebabkan rentang perhatian jadi kian pendek. Hari ini saya tahu di mana Kabul dan di mana Financial District, tapi esok hari informasi itu tak akan berguna, dan kita menyimpannya entah di mana. Yang tersisa hanya imajiimaji tentang "teroris", "kapitalisme", "Islam", "Barat", "Bush", "Usamah". Milan Kundera benar bahwa sekarang yang menentukan adalah "imagologi", dan mungkin itulah cerita sebenarnya dari kekerasan-kekerasan yang terjadi: dua menara di World Trade Center itu dihancurkan (sebagai bagian dari imaji "kekuasaan" dan "keangkuhan" Amerika), dan pesawat terbang, kapal induk, dan pasukan khusus dikirim ke Afganistan (sebagai anasir pokok imaji tentang perang pembalasan yang dahsyat). Imaji mengalahkan realitas, juga mempermainkan teknologidan menentukan kemenangan dan kekalahan. Sebab, seperti tampak di Vietnam, peluru kendali nuklir yang bisa menghancurkan bumi akhirnya tak berguna. Dana peperangan yang hampir tanpa batas akhirnya tak efektif. Siapa yang kalah? Bukan Amerika, bukan Vietnam. Siapa yang menang? Bukan Amerika, bukan Vietnam. Kecuali jika imaji menentukan lain.
Goenawan Mohamad