Pembatalan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 oleh Mahkamah Konstitusi mengundang kontroversi. Para hakim konstitusi menggugurkan aturan yang menyangkut dirinya sendiri. Putusan ini justru semakin menunjukkan perlunya kriteria ketat mengenai calon hakim konstitusi demi menjaga kredibilitas MK.
Pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat bisa mengupayakan lagi perubahan ketentuan tentang calon hakim konstitusi lewat pengajuan rancangan undang-undang baru. Tentu, argumen hakim konstitusi yang masuk akal ketika membatalkan UU tentang MK itu bisa dipertimbangkan. Apalagi tujuan undang-undang tersebut sebetulnya bagus, yakni memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap MK.
Undang-undang itu mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1/2013 tentang Revisi UU MK. Perpu ini lahir setelah Ketua MK Akil Mochtar ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah. Akil, yang berlatar belakang sebagai politikus Partai Golkar, juga dijerat kasus narkotik dan pencucian uang.
Para hakim konstitusi beralasan, antara lain, keadaan "kegentingan yang memaksa", sebagai dasar pembuatan perpu, tidak terpenuhi. Tapi penilaian ini tidak relevan karena DPR telah menetapkan perpu tersebut menjadi undang-undang. Kalau Dewan melihat perpu itu cacat secara hukum, tentu tidak mengesahkannya.
Undang-Undang No. 4/2014 itu mengatur tiga hal pokok, yang semuanya digugurkan oleh MK. Pertama, kriteria hakim konstitusi. Di sini diatur, antara lain, calon hakim konstitusi seharusnya tidak menjadi anggota partai politik selama tujuh tahun terakhir. Kedua, mekanisme seleksi yang melibatkan Komisi Yudisial. Ketiga, pengawasan melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Mekanisme seleksi dan pengawasan hakim konstitusi yang melibatkan peran Komisi Yudisial mungkin bisa diperdebatkan. UUD 1945 memang tidak mengatur pengawasan terhadap MK. Tapi KY jelas diberi wewenang oleh konstitusi, tidak hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung, tapi juga "wewenang lain untuk menjaga kehormatan dan martabat hakim". Hakim konstitusi bisa masuk dalam pengertian "hakim" karena MK diatur dalam bab yang sama mengenai "Kekuasaan Kehakiman".
Begitu pula soal kriteria calon hakim konstitusi. Keliru bila para hakim konstitusi melihat syarat yang ketat itu sebagai stigmatisasi terhadap anggota partai politik. Aturan ini juga tidak bisa dianggap melanggar hak warga negara karena pengurangan hak untuk menjadi calon hakim konstitusi itu bersifat sementara. Realitasnya, afiliasi terhadap partai politik amat mengganggu wibawa hakim konstitusi yang sehari-hari banyak menangani kasus pemilihan kepala daerah.
Hakim konstitusi telah menutup peluang buat memperbaiki dirinya sendiri. Itu sebabnya, solusi tetap harus dicari demi membenahi Mahkamah Konstitusi, misalnya dengan mengoreksi lagi Undang-Undang MK, bahkan jika perlu merevisi konstitusi.