Po-te-hi

Penulis

Senin, 17 Maret 2003 00:00 WIB

Di halaman kelenteng itu, di atas sebuah pentas mini, beberapa boneka kecil, dengan busana agung dan rupawan, bergerak. Tokoh-tokoh dalam kisah Cina hilir-mudik, duduk atau berdiri tegak, berargumen atau bertarung, mengusung keranda atau menari, menangis ataupun berpantun.

Saya tak bisa sepenuhnya mengikuti cerita wayang po-te-hi itu. Di halaman kelenteng di Tangerang itu, tak lama setelah hari Cap Go Meh, di sebuah sore sebelum lampion dinyalakan, pikiran saya bolak-balik antara kenangan yang tersimpan setengah abad dan perasaan terkesima hari ini: antara malam ketika pertama kalinya saya menonton teater boneka itu di tahun 1950-an dan sore Maret 2003 itu. Apa yang terjadi sebenarnya, sehingga pentas itu terasa seperti sebuah buhul yang istimewa dari seutas tali ke masa lalu yang rumit?

Saya duduk di bawah tenda. Kursi-kursi lipat dideretkan dalam tujuh baris. Sekitar 20 orang, kebanyakan perempuan setengah baya dari kelas bawah di sekitar kelenteng, hadir di sana, memandang ke arah sebuah kotak merah yang besar yang agak menjulangsantai, sembari makan otak-otak yang dijajakan di dekat tenda. Di pentas kecil di bagian atas kotak, sekitar 12 meter persegi yang disunggi kerangka besi itu, Ki Dalang Thio Tiong Gie memperlihatkan sebuah kesenian yang bagi saya lebih memikat dari marionette Don Giovanni di Kota Praha. Po-te-hi adalah sebuah pentas kecil yang seakan-akan sebuah miniatur realistis Opera Beijing. Di Praha yang lapar turis, panggung Don Giovanni seakan hanya melucu di antara musik Mozart yang melimpah-ruah.

Tapi mungkin pula ada bias dalam pandangan saya: bila opera Don Giovanni adalah buah waktu senggang Eropa kota besar yang bebas dari ketakutan, po-te-hi adalah buah penindasan yang dekat dengan sejarah di Asia.

Sehabis pertunjukan, Dalang Thio bercerita. Teaternya bermula di sebuah rumah tutupan di Cina 3.000 tahun yang lalu. Di penjara itu, tempat seorang raja yang kejam membungkam musuhnya, beberapa orang hukuman mengisi waktu dengan membuat boneka bersahaja dari gombal tua. Perca-perca kain itu dikerudungkan ke jari tangan, yang kemudian menggerak-gerakkannya seakan sosok yang hidup, diikuti sebagai narasi dari lakon historis masa lalu. "Po-te-hi" adalah sebuah kata yang menggambarkan kombinasi "perca" dan "tangan" itu.

Advertising
Advertising

Tapi jarak bisa diperdekat. Dua punakawan muncul di pentas. Mereka mengangkut sebuah peti mati di mana terbaring jenazah seorang jenderal yang gugur. Untuk menyelingi perjalanan yang membosankan, mereka berpantun. "Saya datang dari Semarang," kata salah satu larik awalnya.

Thio Tiong Gie, kini berumur 72 tahun, tak pernah pergi jauh dari kota kelahirannya, Demak, ibu kota kerajaan pertama zaman pasca-Hindu, dengan seorang raja bernama Raden Patah, seorang Cina muslim. Thio kini tinggal di Semarang. Jarak terpanjang yang pernah ditempuhnya hanya sampai Palembang.

Ia dalang yang lahir dari kemiskinan, bukan dari keturunan. Keluarganya pedagang kecil yang tak tahu-menahu dengan tradisi seni. Mungkin juga ia satu-satunya dalang yang bertaut erat dengan sejarah seorang korban.

Di awal 1940-an, pemerintahan Hindia-Belanda roboh. Khaos berlangsung di Demak. Tertindas dan melarat beratus tahun, orang di kampung-kampung mengamuk. Para jagoanprototipe preman yang hari ini kita kenalberkuasa, dan para keturunan Cina dihimpun di satu tempat dekat alun-alun sementara rumah dan toko mereka dijarah. Keluarga Thio kehilangan semuanya. Tiong Gie, waktu itu berumur sekitar 10 tahun, ikut mengungsi: berjalan kaki dari Demak ke Semarang.

Ia menjadi dalang setelah ia menemukan sebuah buku cerita lama, yang bisa ia kisahkan kembali dalam bahasa Hokkian, dari buku dan kertas bekas yang dihimpunnya untuk dijual.

Dalam arti tertentu ia masih beruntung. Setelah Jepang kalah perang, di tahun-tahun awal Republik berdiri, ada kemerdekaan yang luas. Kaum kiri dan kanan kemudian mengutuk masa itu sebagai zaman "demokrasi liberal" yang kalang-kabut, tapi pers bebas, pelbagai eksperimen kesenian berlangsung leluasa, dan dari RRIsebuah lembaga penampung dan pembentuk pelbagai ekspresi kebudayaan yang efektifmasih menyiarkan suara Mang Koko, Ketoprak Mataram, musik Hawaiian Putri Maluku, Orkes Melayu Bukit Siguntang, musik Indonesia baru Jack Lemmers dengan Nien dan Ratna dan Bing Slamet, orkes swing jazz dan orkes klasik Eropa yang dipimpin keturunan Belanda, orkes gambus para keturunan Arab. Dan wayang po-te-hi, meskipun tak pernah dimunculkan di radio, bisa saya tonton di pasar malam kota kecil saya.

Kemudian "demokrasi terpimpin" diperkenalkan. Orang-orang keturunan Cina diusir dari wilayah pedusunan. Kemudian datang "Orde Baru" dan sebuah kombinasi antara rasialisme, paranoia, kekejaman, dan komunistofobia membasmi apa saja yang ada hubungannya dengan "Cina"seakan-akan kata itu berarti "RRC" dan "pengkhianatan". Wayang po-te-hi tak boleh dipentaskan di tempat terbuka, sampai "Orde Baru" jatuh dan sebuah kebebasan baruyang sudah mulai dianggap kalang-kabut jugamembuatnya muncul kembali. Di kelenteng. Ditonton siapa saja.

Tapi bila Thio Tiong Gie menangisia menangis di depan sayaia menangis untuk sebuah perpisahan. Ia pernah kenal seorang anak perempuan bernama Aisyah, "anak pribumi asli", katanya, yang pandai berpidato dalam bahasa Mandarin. Para pejabat militer mendengar itu dan bertindak: anak itu tak boleh lagi belajar di sekolah Cina, yang memang kemudian ditutup. "Saya tidak tahu di mana dia sekarang," katanya menghapus air mata.

Saat itu seakan-akan orhu yang digesek dari dalam kotak merah itu mengiris kembali: apa arti "Cina" bagi Aisyah? Apa arti "Cina" bagi Thio? Identitas bukanlah sesuatu yang tumbuh dari badan. Sesungguhnya ia baru muncul di kantor sensus, di meja kelurahan. Ia ditentukan kekuasaan, juga kekerasan.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

8 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

49 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

54 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

55 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Sejarah Kue Keranjang yang Jadi Ciri Khas Tahun Baru Imlek

10 Februari 2024

Sejarah Kue Keranjang yang Jadi Ciri Khas Tahun Baru Imlek

Kue keranjang adalah salah satu makanan yang identik dengan Tahun Baru Imlek. Kue dari ketan yang manis ini ternyata sudah aja sejak 2.500 tahun lalu.

Baca Selengkapnya

Makna Sosial Kue Keranjang yang Jadi Ciri Khas Perayaan Imlek

10 Februari 2024

Makna Sosial Kue Keranjang yang Jadi Ciri Khas Perayaan Imlek

Kue keranjang, salah satu makanan khas Imlek, merupakan wujud nyata kerekatan warga lokal dan juga masyarakat Tionghoa.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya