Di halaman kelenteng itu, di atas sebuah pentas mini, beberapa boneka kecil, dengan busana agung dan rupawan, bergerak. Tokoh-tokoh dalam kisah Cina hilir-mudik, duduk atau berdiri tegak, berargumen atau bertarung, mengusung keranda atau menari, menangis ataupun berpantun.
Saya tak bisa sepenuhnya mengikuti cerita wayang po-te-hi itu. Di halaman kelenteng di Tangerang itu, tak lama setelah hari Cap Go Meh, di sebuah sore sebelum lampion dinyalakan, pikiran saya bolak-balik antara kenangan yang tersimpan setengah abad dan perasaan terkesima hari ini: antara malam ketika pertama kalinya saya menonton teater boneka itu di tahun 1950-an dan sore Maret 2003 itu. Apa yang terjadi sebenarnya, sehingga pentas itu terasa seperti sebuah buhul yang istimewa dari seutas tali ke masa lalu yang rumit?
Saya duduk di bawah tenda. Kursi-kursi lipat dideretkan dalam tujuh baris. Sekitar 20 orang, kebanyakan perempuan setengah baya dari kelas bawah di sekitar kelenteng, hadir di sana, memandang ke arah sebuah kotak merah yang besar yang agak menjulangsantai, sembari makan otak-otak yang dijajakan di dekat tenda. Di pentas kecil di bagian atas kotak, sekitar 12 meter persegi yang disunggi kerangka besi itu, Ki Dalang Thio Tiong Gie memperlihatkan sebuah kesenian yang bagi saya lebih memikat dari marionette Don Giovanni di Kota Praha. Po-te-hi adalah sebuah pentas kecil yang seakan-akan sebuah miniatur realistis Opera Beijing. Di Praha yang lapar turis, panggung Don Giovanni seakan hanya melucu di antara musik Mozart yang melimpah-ruah.
Tapi mungkin pula ada bias dalam pandangan saya: bila opera Don Giovanni adalah buah waktu senggang Eropa kota besar yang bebas dari ketakutan, po-te-hi adalah buah penindasan yang dekat dengan sejarah di Asia.
Sehabis pertunjukan, Dalang Thio bercerita. Teaternya bermula di sebuah rumah tutupan di Cina 3.000 tahun yang lalu. Di penjara itu, tempat seorang raja yang kejam membungkam musuhnya, beberapa orang hukuman mengisi waktu dengan membuat boneka bersahaja dari gombal tua. Perca-perca kain itu dikerudungkan ke jari tangan, yang kemudian menggerak-gerakkannya seakan sosok yang hidup, diikuti sebagai narasi dari lakon historis masa lalu. "Po-te-hi" adalah sebuah kata yang menggambarkan kombinasi "perca" dan "tangan" itu.
Tapi jarak bisa diperdekat. Dua punakawan muncul di pentas. Mereka mengangkut sebuah peti mati di mana terbaring jenazah seorang jenderal yang gugur. Untuk menyelingi perjalanan yang membosankan, mereka berpantun. "Saya datang dari Semarang," kata salah satu larik awalnya.
Thio Tiong Gie, kini berumur 72 tahun, tak pernah pergi jauh dari kota kelahirannya, Demak, ibu kota kerajaan pertama zaman pasca-Hindu, dengan seorang raja bernama Raden Patah, seorang Cina muslim. Thio kini tinggal di Semarang. Jarak terpanjang yang pernah ditempuhnya hanya sampai Palembang.
Ia dalang yang lahir dari kemiskinan, bukan dari keturunan. Keluarganya pedagang kecil yang tak tahu-menahu dengan tradisi seni. Mungkin juga ia satu-satunya dalang yang bertaut erat dengan sejarah seorang korban.
Di awal 1940-an, pemerintahan Hindia-Belanda roboh. Khaos berlangsung di Demak. Tertindas dan melarat beratus tahun, orang di kampung-kampung mengamuk. Para jagoanprototipe preman yang hari ini kita kenalberkuasa, dan para keturunan Cina dihimpun di satu tempat dekat alun-alun sementara rumah dan toko mereka dijarah. Keluarga Thio kehilangan semuanya. Tiong Gie, waktu itu berumur sekitar 10 tahun, ikut mengungsi: berjalan kaki dari Demak ke Semarang.
Ia menjadi dalang setelah ia menemukan sebuah buku cerita lama, yang bisa ia kisahkan kembali dalam bahasa Hokkian, dari buku dan kertas bekas yang dihimpunnya untuk dijual.
Dalam arti tertentu ia masih beruntung. Setelah Jepang kalah perang, di tahun-tahun awal Republik berdiri, ada kemerdekaan yang luas. Kaum kiri dan kanan kemudian mengutuk masa itu sebagai zaman "demokrasi liberal" yang kalang-kabut, tapi pers bebas, pelbagai eksperimen kesenian berlangsung leluasa, dan dari RRIsebuah lembaga penampung dan pembentuk pelbagai ekspresi kebudayaan yang efektifmasih menyiarkan suara Mang Koko, Ketoprak Mataram, musik Hawaiian Putri Maluku, Orkes Melayu Bukit Siguntang, musik Indonesia baru Jack Lemmers dengan Nien dan Ratna dan Bing Slamet, orkes swing jazz dan orkes klasik Eropa yang dipimpin keturunan Belanda, orkes gambus para keturunan Arab. Dan wayang po-te-hi, meskipun tak pernah dimunculkan di radio, bisa saya tonton di pasar malam kota kecil saya.
Kemudian "demokrasi terpimpin" diperkenalkan. Orang-orang keturunan Cina diusir dari wilayah pedusunan. Kemudian datang "Orde Baru" dan sebuah kombinasi antara rasialisme, paranoia, kekejaman, dan komunistofobia membasmi apa saja yang ada hubungannya dengan "Cina"seakan-akan kata itu berarti "RRC" dan "pengkhianatan". Wayang po-te-hi tak boleh dipentaskan di tempat terbuka, sampai "Orde Baru" jatuh dan sebuah kebebasan baruyang sudah mulai dianggap kalang-kabut jugamembuatnya muncul kembali. Di kelenteng. Ditonton siapa saja.
Tapi bila Thio Tiong Gie menangisia menangis di depan sayaia menangis untuk sebuah perpisahan. Ia pernah kenal seorang anak perempuan bernama Aisyah, "anak pribumi asli", katanya, yang pandai berpidato dalam bahasa Mandarin. Para pejabat militer mendengar itu dan bertindak: anak itu tak boleh lagi belajar di sekolah Cina, yang memang kemudian ditutup. "Saya tidak tahu di mana dia sekarang," katanya menghapus air mata.
Saat itu seakan-akan orhu yang digesek dari dalam kotak merah itu mengiris kembali: apa arti "Cina" bagi Aisyah? Apa arti "Cina" bagi Thio? Identitas bukanlah sesuatu yang tumbuh dari badan. Sesungguhnya ia baru muncul di kantor sensus, di meja kelurahan. Ia ditentukan kekuasaan, juga kekerasan.
Goenawan Mohamad