Kritik Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto semestinya didengar. Tidak selayaknya Susi Tur Andayani, yang telah menjadi terdakwa kasus korupsi, masih mengantongi izin sebagai advokat. Seharusnya ia dipecat, setidaknya dinonaktifkan, demi menjaga kredibilitas profesi ini.
Susi, yang merupakan anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), kini sedang menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Ia didakwa menjadi perantara kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Bersama pelaku lain, ia ditangkap oleh penyidik KPK pada Oktober tahun lalu, karena skandal suap sengketa pemilihan kepala daerah.
Praktek buruk di kalangan advokat sebetulnya bukanlah hal baru. Banyak pula advokat yang diam-diam bekerja sama dengan penyidik, sehingga ia sebenarnya tidak serius membela kliennya. Perbuatan yang merusak penegakan hukum ini sulit dibongkar dan dibasmi. Kalaupun ada pengaduan, organisasi advokat enggan menindaknya.
Kini Peradi juga tak kunjung memecat Susi kendati ia sudah menjadi terdakwa. Alasannya klise, pencabutan status advokat baru bisa dilakukan setelah ia dinyatakan bersalah berdasarkan vonis yang berkekuatan hukum tetap. Dalih seperti ini juga sering dipakai oleh partai politik untuk melindungi kadernya yang telah menjadi tersangka.
Para pejabat daerah pun tak mau mundur dari posisinya kendati ia telah menjadi tersangka. Mereka berlindung di balik aturan soal penghentian kepala daerah. Penghentian secara permanen baru bisa dilakukan setelah dinyatakan bersalah lewat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Padahal, kalau ia beretika dan kasihan kepada rakyatnya, semestinya mengundurkan diri agar roda pemerintahan daerah berjalan lancar.
Kalangan advokat menghadapi masalah serupa. Padahal Etik Advokat Indonesia sangat jelas menyebutkan bahwa setiap advokat harus menjaga citra dan kehormatan profesinya. Mereka dilarang "memberikan atau menjanjikan sesuatu" kepada hakim untuk memenangkan perkara. Tapi, ketika pelanggaran terjadi, si advokat masih juga menunggu proses peradilan selesai.
Bukan hanya Susi, advokat lain yang menjadi tersangka atau terdakwa juga bersikap sama. Misalnya, Haposan Hutagalung dan Lambertus Palang Ama, yang tersangkut kasus suap Gayus Tambunan. Mereka juga belum dipecat atau mengundurkan diri ketika menjadi tersangka.
Pengunduran diri atau pemecatan advokat seharusnya lebih mudah dilakukan dibanding kepala daerah. Konsekuensinya tidak besar. Kalaupun kelak ia terbukti tidak bersalah, toh dengan mudah pula namanya direhabilitasi dan izinnya sebagai advokat diberikan lagi. Lain halnya pejabat daerah yang tidak memungkinkan mendapatkan lagi jabatan yang telah ditinggalkan.
Peradi semestinya bersikap tegas terhadap anggotanya. Membiarkan tersangka dan terdakwa tetap menjadi advokat hanya akan semakin merusak kredibilitas profesi ini.