Dengan Tiga Antidot

Penulis

Senin, 31 Desember 2001 00:00 WIB

Sebuah tahun lagi di milenium ini akan berakhir, tapi bukan sejarah. Saya selalu merasa ada sesuatu yang ganjil dalam argumen Francis Fukuyama yang termasyhur itu bahwa, sejak satu dasawarsa yang lalu, kita tiba di "akhir sejarah". Harus dikatakan di sini bahwa ia tak mengatakannya dengan tempik sorak. Komunisme memang gagal. Tapi justru itu kini tak ada lagi pergulatan untuk perubahan besarkecuali usaha memperbaiki sistem yang ada, seperti memperbaiki rumah yang telah siap, berdikit-dikit, di sana-sini. Modernitas, bagi Fukuyama, tak akan mungkin ditarik kembali ke gudang tua. Menara Kembar di World Trade Center New York itusebuah lambang modernitas yang muluk menjulangmemang dihancurkan, dan beribu-ribu orang yang merasa berumah di sebuah dunia "pra-modern" bertepuk tangan. Tapi, di luar demokrasi liberal dan ekonomi pasar, tak tampak ada alternatif lain yang bisa diandalkan. Dengan teror dan kekerasan ataupun dengan pidato dan pemilihan, tak ada. Komunisme pasti bukan, dan Islam entah. Fukuyama memang dapat meyakinkan, jika kita lihat betapa besar bondongan orang yang mengarungi ruang dan waktu untuk menikmati buah kapitalismesejak para buruh tamu yang datang menghambur ke Eropa dan Amerika Serikat dari Turki dan Filipina, sampai dengan para penikmat komoditi di pelosok Asia dan Afrika. Tapi saya terkadang bertanya-tanya: benarkah sejarah sebuah progresi garis-lurus? Benarkah modernitas tak selamanya mengandung dalam dirinya sesuatu yang menentangnya, atau tampak menentangnya? Bagaimanapun, modernitas mengandung janji pembebasan. Tapi ia juga menyemaikan kemandekan; ia menuai melankoli. Max Weber sudah memperhitungkan akan datangnya sebuah "kandang besi", dan Fukuyama sendiri menyebut bahwa "akhir dari sejarah" adalah "saat yang sangat sedih". Apa yang berani, nekat, imajinatif, dan idealistis lambat-laun akan digantikan oleh "perhitungan ekonomi". Getar dan gairah akan kikis. Dalam masa "pasca-sejarah", kata Fukuyama, "tak akan ada seni dan filsafat, cuma perawatan terus-menerus atas museum tambo manusia." Tapi mungkin sebab itulah modernitas mengandung penangkalnya sendiri. Ada tiga tokoh yangdalam perbedaan antarmerekaagaknya merupakan contoh bagaimana antidot semacam itu bekerja. Yang pertama adalah Che Guevara. Ia yang ditangkap dan ditembak mati oleh tentara Bolivia di tahun 1967 adalah orang yang memilih: ia meninggalkan hidup nyaman seorang dokter, melepas hidup tenang seorang anggota keluarga Argentina yang mapan; ia pergi untuk terus berada dalam revolusi. Ketika Revolusi Kuba berhasil menang secara politik, ia menolak untuk menikmatinya. Ia meninggalkan Havana, meninggalkan posisinya sebagai menteri, dan kembali mengarungi hutan: menggerakkan petani, memimpin gerilya, mengubah dunia. Ia gagal. Tapi ia jadi lambang perlawanan tanpa kendat terhadap kapitalisme, juga simbol keberanian dan imajinasi yang tak betah hidup dengan hanya perhitungan ekonomi. Ia menolak sejarah berakhir dalam bentuk seperti Amerika Serikat: sebuah ekonomi yang selalu dirundung kepincangan sosial, sebuah politik yang tak bisa mengguncang kepincangan itu dengan gerak yang dramatik. Che justru sebuah antidot karena ia adalah gerak dramatik itu sendirihidupnya, kematiannya. Tokoh yang kedua adalah Mishima Yukio. Di tahun 1970 novelis termasyhur ini juga menjadi sebuah guncangan: bersama para anggota Tatenokai yang didirikannya dan dibiayainyapara pemuda yang berlatih ketahanan dan keterampilan fisik serta seni bela diriia menyerbu sebuah pos militer di Tokyo. Ia berhasil menguasai kantor komandan, mengikat perwira itu di kursinya, dan dengan tenang, di depan tahanannya itu, ia merobek perutnya sendiri dengan pedang, untuk kemudian diakhiri dengan ritual yang tak kalah mengerikan: seorang pembantunya telah siap berdiri di sampingnya dan, dengan pedang terhunus, memenggal leher Mishima. Ketika pemuda itu tak cukup kuat menetakkan samurainya, seorang anggota Tatenokai lain bertindak. Darah Mishima membanjir. Ia mati dalam sebuah protes, dengan rasa masygul yang telah tampak dalam novel empat jilidnya, Laut Kesuburan, karena Jepang telah kehilangan keindahan dan kegagahannya yang lama. Bagi Mishima, negeri ini telah tenggelam dalam rutinitas politik dan ekonomi modern, yang menghitung, menghitung, menghitung, tanpa keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan dalam tingkat yang paling ekstrem. Tokoh yang ketiga adalah Usamah bin Ladin. Orang Amerika menganggapnya sebagai "iblis" (Presiden Bush memanggilnya "the evil one"), tapi banyak orang di Timur Tengah dan Asia Selatan menganggapnya sebagai pahlawan. Yossef Bodansky, Direktur Satuan Tugas tentang Terorisme dan Perang Non-Konvensional dari Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, menulis sebuah telaah tentang miliarwan Saudi ini dalam Bin Laden, The Man Who Declared War on America, dan yang tampil dari sana bukan hanya sebuah potret buruk: Bin Ladin bukan saja mempunyai reputasi dalam keberanian bertempur melawan tentara Uni Soviet di Afganistan di pertengahan 1980-andan pulang ke Arab Saudi sebagai pahlawantapi juga seorang yang dengan pengalamannya di bidang bisnis konstruksi bisa secara efektif menyelesaikan keruwetan keuangan pemerintah Islam Sudan. Ia juga pandai mendirikan prasarana untuk latihan kemiliteran bagi gerakan Islam yang didukungnya, dan dialah yang membangun dan meremajakan Kota Kandahar, yang rusak oleh peperangan. Terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa Usamah pribadi, yang tinggal di gua-gua Tora Bora, memilih hidup sebagai penangkal arus modernitas. Konon ia ingin sebuah masyarakat yang hidup kembali seperti di zaman Rasulullah di abad ke-6. Tapi apa pun bayangan masa depan dan masa lalunya, yang pasti musuh utamanya Amerika Serikat, sebuah kekuatan yang kian dibenci amat sengit setelah Perang Teluk di tahun 1991. Dalam posisi itu, Usamah jadi lambang yang dibutuhkan oleh sebuah dunia yang hendak mengalahkan kekuasaan uang dan teknologi dengan apa yang disebut Fukuyama sebagai "nekat, keberanian, imajinasi, dan idealisme". Bodansky menceritakan dalam bukunya bagaimana Bin Ladin, waktu itu usianya baru sekitar 29, memimpin satu satuan tempur di Shaban, di Provinsi Paktia, Afganistan, di tahun 1987. Ia berhasil menyerbu posisi tentara Soviet dengan pertempuran satu lawan satu. Sampai saat terakhir, ia masih membawa senapan Kalashnikov yang konon diambilnya dari seorang jenderal Soviet yang tewas di Shaban. "Ia menjadi tambah tak mengenal takut setelah Paktia," kata seorang kenalannya sebagaimana dikutip Bodansky. Usamah berharap bertempur sampai titik darah terakhir, "dan mati secara agung". Mati secara agungyang terjadi dengan Che yang gugur, yang dilakukan oleh Mishima dengan seppuku, yang diinginkan Bin Ladin di pegunungan dingin Tora Boramemang sesuatu yang tak akan terjadi dalam sistem yang meniscayakan hukum dan tiadanya kekerasan. Sebab itu, bagi gairah seperti ini, demokrasi macam Amerika dan Inggris terkadang tak terasa seru. Regis Debray, cendekiawan sosialis terkenal Prancis yang pernah ikut bergerilya bersama Guevara, mengeluh tentang keadaan demokrasi Prancis yang mulai mirip sistem Anglo-Saxon itu: "Gairah pada umumnya telah mati," tulisnya di sebuah buku yang terbit di tahun 1989. "Masyarakat" telah menggantikan "nasion", katanya pula. "Tiap kita menemukan diri kita bersendiri, kemudian, hilang dalam sebuah kelimun individu yang semuanya serupa dalam hasrat mereka untuk tak mirip satu sama lain. Kembali-ke-individu merupakan tujuan luhur. Narsisme." Tapi narsisme juga bisa mengambil bentuk dalam "mati secara agung" yang tak ada dalam etos demokrasi liberal. Bergabung dengan gairah, tekad, dan keberanian, seorang yang menghendaki eksit yang dramatis adalah seorang pahlawan yang melihat dirinya sendiri sebagai sosok yang mengagumkan dan menggetarkan. Tapi dengan demikian ia juga membawa sebuah niat yang mencemaskan, terutama jika kita ingat kata-kata tokoh Galileo dalam lakon Bertold Brecht: "Sungguh malang sebuah negeri yang membutuhkan pahlawan." Pahlawan jadi penting ketika orang kebanyakan menjadi tak penting. Memang ada melankoli dalam kalimat Brecht, tapi saya kira bukan karena sejarah berakhir, melainkan karena wajah ganda modernitas yang tak akan selesai: selalu ada dalam dirinya sendiri daya yang mengelak, yang menentang, biarpun mungkin sia-sia, dan tak selamanya membuat hidup menjadi lebih baik. Antidot, dalam pelbagai kasus, juga bisa membawa racun. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Tunangan Ayu Ting Ting, Lettu Inf Muhammad Fardhana Pimpin Kegiatan Pemasangan Aliran Listrik Satgas Yonif 509 Kostrad

6 menit lalu

Tunangan Ayu Ting Ting, Lettu Inf Muhammad Fardhana Pimpin Kegiatan Pemasangan Aliran Listrik Satgas Yonif 509 Kostrad

Lettu Inf Muhammad Fardhana tunangan pedangdut Ayu Ting Ting, pimpin pemasangan aliran listrik Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua.

Baca Selengkapnya

Marak Nobar Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan di Instansi Pemda, Kemenpora Ingatkan Tak Dikomersialkan

13 menit lalu

Marak Nobar Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan di Instansi Pemda, Kemenpora Ingatkan Tak Dikomersialkan

Kemenpora mengingatkan agar acara nobar Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan di semifinal Piala Asia U-23 2024 tak dikomersialkan.

Baca Selengkapnya

MK: Arsul Sani Tidak Ikut Memutus Sengketa Pileg Terkait PPP

15 menit lalu

MK: Arsul Sani Tidak Ikut Memutus Sengketa Pileg Terkait PPP

Arsul Sani adalah bekas kader PPP yang kini menjabat hakim konstitusi.

Baca Selengkapnya

Ponsel Gaming Terbaru Infinix Pakai Dual Chip, Bisa Ubah 60 Jadi 120 FPS

19 menit lalu

Ponsel Gaming Terbaru Infinix Pakai Dual Chip, Bisa Ubah 60 Jadi 120 FPS

Infinix meluncurkan ponsel gaming terbarunya untuk seri Infinix GT 20 Pro. Tergolong kelas menengah, harga belum ketahuan.

Baca Selengkapnya

Konflik Iran-Israel, Aria Bima Tegaskan Peran Penting BUMN untuk Penguatan Ekspor

19 menit lalu

Konflik Iran-Israel, Aria Bima Tegaskan Peran Penting BUMN untuk Penguatan Ekspor

Pemerintah harus cermat menerapkan strategi, salah satunya melalui diplomasi perdagangan

Baca Selengkapnya

Robert Budi Hartono Menapaki 83 Tahun, Salah Satu Orang Terkaya Dimiliki Indonesia

22 menit lalu

Robert Budi Hartono Menapaki 83 Tahun, Salah Satu Orang Terkaya Dimiliki Indonesia

Hartono bersaudara merupakan pemilik beberapa perusahaan mentereng termasuk Perusahaan Rokok Djarum, profil Budi Hartono yang genap berusia 83 tahun.

Baca Selengkapnya

IHSG Tutup Sesi Pertama di Zona Hijau, Saham Bank BRI Paling Aktif baDiperdagangkan

23 menit lalu

IHSG Tutup Sesi Pertama di Zona Hijau, Saham Bank BRI Paling Aktif baDiperdagangkan

IHSG menguat 0,86 persen ke level 7.097,2 dalam sesi pertama perdagangan Senin, 29 April 2024.

Baca Selengkapnya

Profil Shen Yinhao, Wasit asal Cina Pemimpin Laga Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan

25 menit lalu

Profil Shen Yinhao, Wasit asal Cina Pemimpin Laga Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan

Timnas U-23 Indonesia memiliki kenangan buruk dengan wasit Shen Yinhao. Bagaimana kiprahnya di dunia perwasitan?

Baca Selengkapnya

Pengunjuk Rasa Pro-Israel Provokasi Kubu Pro-Palestina, Bentrok Pecah di Universitas California Los Angeles

26 menit lalu

Pengunjuk Rasa Pro-Israel Provokasi Kubu Pro-Palestina, Bentrok Pecah di Universitas California Los Angeles

Pengunjuk rasa pro-Palestina dan pro-Israel saling bentrok di kampus Universitas California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat.

Baca Selengkapnya

CIMB Niaga Belum Naikkan Suku Bunga Usai BI Rate Naik

26 menit lalu

CIMB Niaga Belum Naikkan Suku Bunga Usai BI Rate Naik

Bank CIMB Niaga belum berencana untuk menaikkan suku bunga, setelah BI menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25 persen.

Baca Selengkapnya