Lincoln

Penulis

Senin, 28 April 2003 00:00 WIB

PADA tahun 1950-an, ada sebuah foto yang tak terlupakan yang saya lihat di sebuah majalah: Bung Karno mengenakan jas panjang penangkis dingin, tampak dari punggung. Tangan kirinya merangkul si Guntur yang masih kecil.

Presiden dan putranya sedang dalam kunjungan pertama ke Washington, D.C. Mereka berdiri di ruang utama Lincoln Memorial, menatap ke patung pualam Abraham Lincoln yang duduk setinggi hampir enam meter. Bung Karno tampak sedang menjelaskan sesuatu kepada Guntur.

Kita tak tahu apa yang dikatakannya. Mungkin tentang Lincoln sebagai pembebas, seorang Presiden Amerika dari abad ke-19 yang menghapuskan perbudakan orang kulit hitam dan untuk itu bersedia menempuh perang yang sengit melawan bangsanya sendiri atau siapa saja yang menolak prinsip bahwa perbudakan bertentangan dengan cita-cita Republik. Perang saudara pun pecah, dan korban yang mati dan luka lebih dari sejuta jiwa.

Pasti Bung Karno juga membawa Guntur ke ruang selatan. Di dinding, pidato termasyhur di makam pahlawan di Gettysburg itu terpahat. Huruf-huruf merekam ucapan Lincoln pada tahun 1863 itu: "sebuah bangsa baru, yang dibuahi dalam Kemerdekaan, dan dipersembahkan untuk gagasan bahwa semua manusia diciptakan setara."

Kini 50 tahun telah lalu. Amerika bukan "bangsa baru" lagi. Saya tak tahu siapa lagi yang menjenguk kalimat di kuil Taman Potomac itu.

Advertising
Advertising

Dulu Amerika adalah sebuah inspirasi. Ia suara optimisme, bukan Eropa yang tua dan murung setelah dua perang dunia. Jika kemajuan adalah takdirnya, itu karena di Amerika manusia bebas mengembangkan pikiran dan imajinasi di bawah pemerintahan (dalam rumusan Lincoln) "oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat."

Tapi kini 50 tahun telah lalu.

Di Gedung Putih, Presiden Bushdengan wajah yang tak pernah cerdasbukanlah seseorang yang bisa bicara menggugah tentang gagasan dan pengorbanan. Ia telah menjatuhkan Saddam Hussein, tapi panji-panji "pembebasan Irak" dipasangnya seperti iklan mobil bekas. Tak banyak yang percaya bahwa memang itulah niatnya semula.

Juga orang-orang di sekitar Presiden sendiri. Sebab bagi mereka, yang penting bukanlah pembebasan dan ilham dari abad ke-19. Yang penting adalah rasa cemas abad ke-21. Bagi mereka, dunia adalah gurun liar di mana ancaman jadi bagian hakiki kehidupan global. Sebab itulah perang dimulai.

Sebelum bom pertama jatuh, ada sebuah perdebatan di Heinrich Bll Foundation di Washington, D.C. Di sana hadir tokoh Partai Hijau di Parlemen Eropa, Daniel Cohn-Bendit. Ia berkata kepada Richard Perle, orang penting dari Pentagon, "Tuan-tuan ingin mengubah dunia! Tuan-tuan mengklaim bahwa sejarah akan menunjukkan kebenaran ada di pihak Tuan!" Seperti kaum Bolsyewik, kata Cohn-Bendit.

Bolsyewik? Saya kira Cohn-Bendit keliru. Pemerintah AS yang sekarang tak berurusan dengan "kebenaran" dan menunggu sejarah. Di Gedung Putih dan Pentagon, tak ada Lenin, tak ada Lincoln.

Dan itulah soalnya. "Militer kita dipersenjatai sampai ke gigi," tulis Paul Berman, penulis Terror and Liberalism, dalam sebuah artikel dalam The New Republic, "tapi pemerintah kita, karena satu dan lain hal, telah melucuti diri sendiri secara sepihak dari kemampuan persuasi, teladan yang menggugah, kejernihan filsafat, dan kepemimpinan moral."

Dengan kata lain, agenda di Irak lebih ditentukan oleh senjata ketimbang oleh ide-ide. Richard Perle, orang yang cukup berpengaruh dalam menggagas perang melawan Saddam, menjawab Cohn-Bendit: tujuan perang adalah melucuti Irak dari senjata pemusnah massal; demokrasi adalah "sebuah keuntungan tambahan."

Itu berarti, seandainya Irak tak diduga punya senjata nuklir atau kimia, seandainya ia tak dianggap ancaman bagi AS, kediktatoran akan dibiarkan. Rakyat Irak akan tetap hidup dengan 1.001 berhala Saddam di atas pedestal dan 1.001 jerat leher di kamp tahanan.

Maka Berman ingin Lincoln kembali ke abad ke-21. Ia setuju agar AS mengirim pasukan, dengan senjata sampai ke gigi, untuk membangun sebuah demokrasi. Di sini ia mirip seorang Bolsyewik. Baginya perang Lincoln punya dua tujuan: sebagai pernyataan solidaritas dengan yang tertindas dan juga sebagai langkah mengubah "muka Bumi," dalam "sebuah proyek revolusioner untuk pembebasan universal." Sebab bagi Berman, dunia bukanlah dunia yang dibayangkan Thomas Hobbes, di mana sang Leviathan yang mahakuat menertibkan bumikalau perlu tanpa demokrasi.

Itu sebabnya Berman kecewa. Pemerintahan Bush diam-diam menganggap, seperti Perle, demokrasi hanyalah "sebuah keuntungan tambahan". Bagi Berman, orang-orang "realis" di Washington memerangi Saddam dengan niat menegakkan kuasa (power), dan itu saja: "kuasa untuk kuasa."

Saya pun berpendapat, bagi mereka, kuasa memang sesuatu yang sentral. Bagi mereka "nilai-nilai bersama" hanyalah sesuatu yang didesakkan ke segala penjuru oleh yang kuat. Yang "universal" tak pernah ada.

Tapi mereka bukan para "realis". Mereka kaum supremasis. Mereka menyangka kepelikan dunia akan dipecahkan dengan supremasi AS. Hanya dengan unggul kekuasaan, AS dapat mendorong dunia mengubah yang "buruk" jadi "baik" dengan menerima ukuran yang ditetapkan di Pentagon. Tanpa supremasi, gagasan besar cuma impian.

Tapi sadarkah mereka bahwa juga cuma impian untuk membayangkan supremasi yang lengkap? Di Irak, pasukan AS bisa menembaki tank-tank Garda Republik, tapi tak akan bisa menembaki para demonstran yang meneriakkan, "Yankee, go home!" Ada hal yang sama kuatnya dengan kuasa, yaitu legitimasi.

Maka mungkin kita perlu, seperti Bung Karno, seperti Berman, datang kembali ke Lincoln, dan membaca lagi pidato di Gettysburg. Di makam itu, yang hidup membutuhkan legitimasi bahkan dari yang telah matimereka yang tak punya kuasa tapi wakil paling sah dari cita-cita bersama.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

6 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

7 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

16 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

57 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya