Beslan

Penulis

Senin, 6 September 2004 00:00 WIB

Makin lama saya makin tak tahu apa artinya "mengetahui". Terutama sekarang. Seakan-akan saya tengah berlari di sebuah maraton, tapi bukan berlomba dengan pelari lain, melainkan dengan kecepatan itu sendiri.

Lihat, saya bisa memperoleh informasi beberapa menit saja setelah sebuah peristiwa terjadi, seperti kali ini, ketika sekitar 250 orang tewas kena ledakan dan tembakan di sebuah kota di Rusia Selatan ituya, nun di sebuah kota yang tak pernah saya dengar sebelumnya, di sebuah wilayah yang disebut Republik Ossetia Utara, bagian dari Rusia, sebuah negeri yang begitu jauh tapi tiba-tiba memergoki kita dengan kengerian, kebuasan, setelah sejumlah orang militan yang bersenjata memasuki sekolah itu, menyandera anak-anak, guru, orang tua, memasang ranjau.

Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan? Begitu putus asakah mereka hingga mereka bersedia mati dengan bom meledak di tubuh mereka, seraya menantang serbuan pasukan komando Rusia, seraya membunuhi anak-anak, ya, anak-anak?

Kecepatan telah mengejar sayasatelit berputar, radio bekerja, televisi bekerja, Internet bekerjadan sebab itu jarak jadi jauh. Paradoks ini juga paradoks tentang "tahu". Duduk di depan komputer, saya tahu bahwa pada akhirnya banyak hal yang tak saya ketahui. Kecepatan bukannya menciutkan jarak, melainkan justru memelarkan jarak.

"Jarak" itu bukan jarak geografis, melainkan jarak antara bagian dalam diri saya yang berisi datadengan segala detail yang mungkindan bagian dalam diri saya yang mengolah data itu. Apa sebenarnya yang menyebabkan orang Chechnya mau membunuh siapa saja dan di mana saja? Bagian diri saya yang menyimpan datadengan bantuan Google, tentuakan mengeluarkan fakta geografis, sejarah, ekonomi, dan entah apa lagi, dan akan menyebut nama Shamil Basayev, atau bahkan "Magomed 'Magas' Yevloyev", dan seterusnya. Tapi ada jurang yang menganga antara semua itu dan apa yang dapat saya ketahui tentang orang-orang di Beslan itu, yang siap menyiapkan ranjau untuk meledakkan ratusan anak-anak.

Advertising
Advertising

Hak menentukan nasib sendiri orang Chechnya yang ditampik Kremlin? Semangat Islam ala Al-Qaidah? Tiba-tiba saya sadar bahwa "Chechnya", "Islam", dan seterusnya begitu membingungkan: "Chechnya" berarti anti-Rusia bagi Shamil Basayev, tapi mungkin tidak bagi Mufti Akhmad Kadirov. Betapa sulitnya identitas distabilkan untuk sebuah kelompok manusia, bahkan untuk diri sendiri pun.

Dan betapa mudahnya kata berbunyi. Akhirnya saya hanya tahu tentang dunia melalui kata ("Chechnya", "Rusia", "Islam", "teroris") yang tak saya buat sendiri, melainkan ditentukan oleh orang lain, disepakati, entah di mana dan bagaimana. Ada seorang filosof yang mengatakan kita hidup dalam "penjara bahasa", dan jangan-jangan dia benar. Kini saya merasakannya: saya tak pernah dapat keluar dari kata "Chechnya" sebagai penanda negeri di gigir utara Pegunungan Kaukasus itu, dan kalaupun saya mengganti penanda itu dengan "Belgedes", saya tetap tahu bahwa yang ditandai dengan kata itu adalah "kenyataan" yang akhirnya juga hanya bisa dimengerti dalam kerangka bahasa: "Belgedes terletak di antara republik X dan republik Z, penduduknya beragama Islam"semua itu batasan simbolis yang diamini ramai-ramai.

Meskipun simbol itu jangan-jangan ibarat kotakdan jangan-jangan tak sama isinya. Wittgenstein punya catatan yang terkenal tentang ini, dan biarlah saya sadur seenak saya: "Katakanlah tiap orang punya sebuah kotak dengan sesuatu di dalamnya: kita sebut sesuatu itu "kupu-kupu". Tapi sebetulnya tak ada orang yang dapat mengecek apa isi kotak orang lain. Tiap orang yang bilang ia tahu apa itu "kupu-kupu" mengatakannya dengan melihat kupu-kupunya sendiri. Bagaimana kalau ada yang berbeda? Bagaimana kalau satu-satunya isi dalam kotak itu berubah?"

Ada pepatah Melayu yang terkenal, yang berbunyi, "Kepala sama berbulu, pendapat berlainan", dan kita juga bisa membuat pepatah baru, "Kata sama-sama berbunyi, tapi maknanya." Saya tak ingin meneruskan pepatah baru ini. Sebab ada sesuatu dalam bahasa yang membuatnya terdorong mengklaim bahwa pada akhirnya "makna" itu berlaku universal, atau setidaknya mapan, dan bahwa sebuah kata mewakili sebuah "kenyataan". Kalau tidak, bukankah manusia akan hidup dalam kekacauan?

Tapi saya tak pernah bisa membayangkan, bagaimana kita berbicara tanpa kekacauan kini, ketika di Beslan anak-anak diletakkan di tengah ajang pembantaian. Saya ingat cerita tentang seorang perempuan tua di musim yang sangat dingin di Leningrad, berdiri dalam antrean yang amat panjang untuk menjenguk anaknya di penjara. Dengan parasnya yang sudah membiru itu ia berbisik kepada penyair Anna Akhmatova yang ada di dekatnya: "Dapatkah kau lukiskan ini?" Sang penyair diam.

Bukankah itu juga yang dimaksudkan Adorno dengan sedikit dramatis, bahwa setelah Auschwitztempat ribuan anak-anak juga dibunuh oleh Hitlertak ada lagi puisi bisa ditulis?

Kepedihan, juga kebuasan, merasuk jauh di dalam diri kita dari masa ke masa. Saya tak tahu bagaimana semua itu bisa dirumuskan ke dalam sesuatu yang stabil dan sama di mana saja. Tapi Internet bekerja terus, radio bekerja terus, juga TV, dan berasumsi bahwa dunia perlu tahu tentang 200 sekian yang mati di Beslan, 12 orang Nepal yang dibunuh di Irak, medali emas untuk Taufik, harga minyak dan kurs dolar, iklan mobil bekas, daftar dokter jaga, "terorisme", perjuangan untuk "keadilan". Kata pun bergegas, saya terengah-engah, dan kian sulit untuk tahu apa artinya "mengetahui"kecuali dengan bahasa dan posisi kita, dengan hasrat dan ketakutan kita.

Maka ada yang bilang, mari duduk diam, dan ikhlas bahwa kita tak akan tahu. Tapi sampai kapan? Tidakkah ada yang murung di siniterutama ketika ada orang yang bersedia membunuh anak-anak agar kehadiran dan niatnya diketahui dunia.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

3 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

4 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

13 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

54 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

59 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

59 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya