Pengabaian Pertanian Skala Kecil

Penulis

Jumat, 17 Oktober 2014 02:01 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Khudori, peminat masalah politik ekonomi pertanian dan globalisasi

Bila sebelumnya berputar-putar pada kemiskinan, kelaparan, ketahanan pangan, dan krisis pangan, kali ini Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2014, diperingati dengan tema "Family Farming: Feeding the World, Caring for the Earth". Ini bukan pertama kalinya FAO mengakui peran penting pertanian keluarga atau pertanian skala kecil. Namun, dalam perjalanannya, pertanian skala kecil mengalami peminggiran luar biasa. Sejak 1990-an mengikuti saran Bank Dunia dan IMF, negara-negara berkembang menyunat investasi pertanian, mempromosikan led-export production. Pertanian negara berkembang berubah radikal: dari terdiversifikasi dalam skala kecil-lokal menjadi model ekspor-industrial-monokultur yang digerakkan korporasi global. Petani pun merana.

Berdasarkan hasil kajian International Assessment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development (IAASTD, 2008), model pertanian ekspor-industrial-monokultur bukan resep ajaib untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Model itu menghancurkan lingkungan (air dan tanah), mengerosi keanekaragaman hayati dan kearifan lokal (pola tanam, waktu tanam, olah tanah, dan pengendalian hama), serta mengekspose warga pada kerentanan tak terperi. Krisis pangan terjadi akibat tali-temali suplai dan stok pangan menyusut, gagal panen, kenaikan harga BBM, perubahan iklim, permintaan biji-bijian Cina dan India makin besar, konversi pangan ke biofuel, dan spekulasi. Namun, menurut IAASTD, akar terdalam krisis pangan terjadi karena pemerintah lupa mengurus sektor pertanian skala kecil, aturan perdagangan yang tak adil, dan dumping negara maju.

Untuk mengikis kemiskinan, kelaparan, dan degradasi lingkungan, IAASTD menyarankan agar negara memperkuat pertanian skala kecil, meningkatkan investasi pertanian agro-ekologis, mengadopsi kerangka kerja perdagangan yang adil, menolak transgenik, memberi perhatian khusus kepada kearifan lokal, memberi peluang sama (kepada warga) agar berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, membalik akses dan kontrol sumber daya (air, tanah, dan modal) dari korporasi ke komunitas lokal, dan memperkuat organisasi tani. Ini pertama kalinya tim penilai independen memberi pengakuan peran pertanian skala kecil, termasuk hak warga menentukan sendiri sistem (produksi, konsumsi, dan distribusi) pertanian-pangan mereka-yang semua poin itu menjadi inti konsep kedaulatan pangan.

Ada empat alasan IAASTD memberi perhatian khusus bagi pertanian skala kecil. Pertama, sampai saat ini 75 persen warga miskin adalah petani kecil. Porsi petani kecil di Asia mencapai 87 persen, di Indonesia porsinya 55 persen. Menggenjot investasi pada pertanian skala kecil tak hanya memberi pangan dunia, tapi juga menyelesaikan kemiskinan dan kelaparan. Kedua, hasil riset-riset ekstensif menunjukkan pertanian keluarga/kecil jauh lebih produktif dari pertanian industrial, karena mengkonsumsi sedikit BBM, terutama apabila pangan diperdagangkan di tingkat lokal/regional (Rosset, 1999). Ketiga, bukti menunjukkan pertanian skala kecil dan terdiversifikasi bisa beradaptasi dan pejal. Ini sekaligus merupakan suatu model keberlanjutan yang ramah kearifan lokal dan keanekaragaman hayati. Keempat, pertanian skala kecil ramah terhadap perubahan iklim (Altieri, 2008).

Diakui atau tidak, kelaparan yang membiak di bumi terjadi salah satunya karena pengabaian terhadap pertanian skala kecil. Di bawah pendiktean IMF dan Bank Dunia, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjalani restrukturisasi ekonominya, tak terkecuali sektor pangan. Pangan yang semula terlindungi harus diliberalisasi. Pada saat yang sama, aneka subsidi dan pelbagai perlindungan petani ditiadakan. Peran negara dalam bentuk stabilisasi harga dicap sebagai biang distorsi. Negara harus menyingkir dari pasar. Impor pangan membanjir. Petani enggan berusaha tani karena insentif ekonomi tidak memadai. Saat harga pangan melejit tinggi karena krisis, baru terasa pentingnya kemandirian.

Saat ini, setiap malam, satu dari delapan penduduk bumi beranjak tidur sembari menahan lapar. Satu di antara empat anak di negara berkembang menderita kurang gizi. Mereka yang lapar hampir semiliar. Untuk menolong mereka, FAO menyeru peningkatan pendanaan domestik dan internasional untuk pertanian, investasi baru di perdesaan, perbaikan pemerintahan, kemitraan para pemangku kepentingan, dan adaptasi serta mitigasi perubahan iklim.

Masalahnya, tak mudah bagi negara-negara miskin untuk melakukan semua saran FAO. Investasi, misalnya. Menurut hitungan FAO, pertanian negara-negara berkembang membutuhkan suntikan US$ 30 miliar per tahun untuk membantu petani. Ini hanya 8,2 persen dari subsidi yang digelontorkan negara maju untuk pertanian pada 2007. Bagi Indonesia, tidak mudah mewujudkan rekomendasi FAO itu, kecuali ada pembalikan radikal dalam politik anggaran. Politik anggaran yang menjauh dari pertanian harus diubah. Konsekuensinya, pertanian dan pangan harus ditempatkan di posisi terhormat: persoalan bangsa-negara.


Berita terkait

Mentan Amran Genjot Produksi di NTB Melalui Pompanisasi

1 hari lalu

Mentan Amran Genjot Produksi di NTB Melalui Pompanisasi

Kekeringan El Nino sudah overlap dan harus waspada.

Baca Selengkapnya

Program Electrifying Agriculture PLN, Mampu Tingkatkan Produktivitas Pertanian

4 hari lalu

Program Electrifying Agriculture PLN, Mampu Tingkatkan Produktivitas Pertanian

Program Electrifying Agriculture (EA) dari PT PLN (Persero), terus memberikan dampak positif bagi pertanian di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Menteri Pertanian Ukraina Ditahan atas Dugaan Korupsi

8 hari lalu

Menteri Pertanian Ukraina Ditahan atas Dugaan Korupsi

Menteri Pertanian Ukraina Mykola Solsky ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka resmi dalam penyelidikan korupsi bernilai jutaan dolar

Baca Selengkapnya

Pengamat Pertanian Ragu Benih dari Cina Cocok di Indonesia

10 hari lalu

Pengamat Pertanian Ragu Benih dari Cina Cocok di Indonesia

Pengamat Pertanian Khudori meragukan sistem usaha tani dari Cina yang akan diterapkan di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Pupuk Subsidi Sudah Bisa Ditebus, Hanya di Kios Resmi

13 hari lalu

Pupuk Subsidi Sudah Bisa Ditebus, Hanya di Kios Resmi

PT Pupuk Indonesia mengumumkan pupuk subsidi sudah bisa ditebus di kios pupuk lengkap resmi wilayah masing-masing.

Baca Selengkapnya

Kemendag Dorong Produk Pertanian Indonesia Masuk Pasar Australia, Manggis Paling Diminati

13 hari lalu

Kemendag Dorong Produk Pertanian Indonesia Masuk Pasar Australia, Manggis Paling Diminati

Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Atase Perdagangan RI di Canberra berupaya mendorong para pelaku usaha produk pertanian Indonesia memasuki pasar Australia.

Baca Selengkapnya

Erupsi Marapi Rusak Ribuan Hektare Lahan Pertanian

23 hari lalu

Erupsi Marapi Rusak Ribuan Hektare Lahan Pertanian

Erupsi Gunung Marapi di Sumatera Barat telah merusak hingga ribuan hektare lahan pertanian di sekitar wilayah tersebut.

Baca Selengkapnya

Google Manfaatkan AI untuk Dukung Produktivitas Pertanian, Diklaim Sukses di India

35 hari lalu

Google Manfaatkan AI untuk Dukung Produktivitas Pertanian, Diklaim Sukses di India

Google berupaya untuk mengimplementasikan teknologi Google AI AnthroKrishi ini untuk skala global, termasuk Indonesia.

Baca Selengkapnya

Jokowi Resmikan Rehabilitasi Bendungan dan Irigasi Gumbasa, Nilainya Mencapai Rp 1,25 Triliun

38 hari lalu

Jokowi Resmikan Rehabilitasi Bendungan dan Irigasi Gumbasa, Nilainya Mencapai Rp 1,25 Triliun

Jokowi pada hari ini meresmikan bendungan dan daerah irigasi Gumbasa di Kabupaten Sigi, Sulteng yang telah direhabilitasi dan direkonstruksi.

Baca Selengkapnya

Guru Besar Unpad Ajarkan Empat Metode Pemberantasan Gulma Tani, Mana yang Paling Efektif?

38 hari lalu

Guru Besar Unpad Ajarkan Empat Metode Pemberantasan Gulma Tani, Mana yang Paling Efektif?

Guru Besar Unpad memaparkan sejumlah metode pemberantasan gulma di lahan tani. Pemakaian hebrisida efektif, namun berisiko.

Baca Selengkapnya