Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai peninjauan kembali alias PK semakin merusak kepastian hukum. Tak semestinya majelis hakim konstitusi memperbolehkan peninjauan perkara lebih dari sekali. Putusan itu menimbulkan kesan melindungi hak asasi manusia, tapi mengandung mudarat besar: memungkinkan orang beperkara tanpa ujung.
Majelis hakim konstitusi menghapus Pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur bahwa peninjauan kembali hanya bisa dilakukan sekali. Putusan ini memenuhi permohonan Antasari Azhar, terpidana kasus pembunuhan. Menurut hakim konstitusi, perkara pidana menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia sehingga pembatasan upaya PK akan mengabaikan keadilan.
Dengan dalih kemanusiaan itu, putusan MK seakan mengesahkan praktek peninjauan kembali yang salah kaprah. Dalam kasus pidana, misalnya, bukan cuma terpidana yang mengajukan PK, melainkan juga kejaksaan. Akibatnya, peninjauan kembali terjadi lebih dari sekali.
Mahkamah Agung sebetulnya berupaya menertibkan lewat Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009. Dalam edaran ini ditegaskan lagi bahwa peninjauan sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang Mahkamah Agung dalam perkara perdata ataupun pidana hanya boleh diajukan sekali. Pengadilan negeri diminta menolak berkas peninjauan yang diajukan untuk kedua kalinya.
Kendati begitu, ada pengecualian bagi perkara perdata dan pidana yang memiliki dua putusan peninjauan kembali yang saling berlawanan. Untuk perkara semacam ini, boleh diajukan PK sekali lagi. Celakanya, pengecualian ini justru dipakai sebagai dalih orang untuk mengajukan peninjauan kembali lebih dari sekali kendati perkara tersebut tidak memiliki dua putusan PK yang saling bertentangan.
Putusan MK tersebut akan semakin membuat proses hukum bertele-tele, meskipun hanya berlaku untuk perkara pidana. Padahal vonis hakim telah mengalami koreksi lewat banding dan kasasi. Benar, secara teori PK tidak bisa menghalangi proses eksekusi putusan kasasi. Tapi, prakteknya, langkah hukum luar biasa ini tetap menjadi pertimbangan eksekusi.
Kalaupun eksekusi telah dilakukan, kecuali untuk hukuman mati, tetap saja belum ada kepastian karena bisa saja suatu saat putusan batal karena PK. Dampaknya akan luas pula bagi perkara yang memiliki aspek ganda: perdata dan pidana. Proses PK dalam kasus pidana bisa digunakan sebagai alasan untuk menunda eksekusi-setidaknya mengurangi kepastian hukum-kasus perdata.
Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, apa boleh buat, putusan itu mesti dilaksanakan. Mungkin mekanisme lain yang perlu diubah untuk mencegah agar proses hukum tidak terlalu rumit. Masalah ini bisa diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang KUHAP. Misalnya syarat pengajuan PK bisa diperketat dan proses penanganannya dipercepat. Memenuhi hak bagi pencari keadilan amat perlu, tapi menjamin kepastian hukum juga penting.