Nasionalis

Penulis

Senin, 12 Mei 2003 00:00 WIB

Hari ini saya teringat Samadi, seorang laki-laki kurus yang kini mungkin sudah tak ada lagi, karena 16 tahun yang lalu itu umurnya 60, dan ia miskin, dan ia terdesak.

Sebenarnya ia punya sepetak pekarangan dan sepetak sawah di Desa Nglanji, di Kecamatan Kemusu, Boyolali. Tapi pada tahun 1987 itu ia harus melepaskan miliknya. Ia hidup di wilayah Kedung Ombo.

Sejak 1969 Negara telah memutuskan, sebuah waduk besar akan dibangun di wilayah itu. Sungai Serang, 90 kilometer di tenggara Semarang, harus dibendung. Petani yang bertahun-tahun hidup di wilayah seluas 37 desa di tiga kabupaten itu harus dipindahkan. Mereka tak akan disia-siakan, kata Negara, sebab ada ganti rugi. Wilayah baru juga disediakan.

Tapi Samadi menolak. Ia salah satu dari 1.700 kepala keluarga yang ingin bertahan.

Bertahan, melawankata itu sama, sebab di masa itu kehendak pemerintah tak bisa dibantah. Presiden sendiri menyebut sikap Samadi dan para tetangganya yang tak bersenjata itu ambalela, memberontak. Sebab, Negara berniat baik, kata presiden sampai para lurah. Negara ingin memperbaiki sistem pengairan sawah ladang di wilayah itu, yang miskin, yang tanahnya kuning berkapur, dan hasil padinya hanya empat ton tiap hektare.

Advertising
Advertising

Tapi Samadi menolak.

Di atas, orang bertanya, kenapa. Saya ingat ada seorang penduduk yang menjawab, "Karena para petugas kelurahan memaksa kami." Para petugas itu datang ke rumah-rumah, dan para petani disuruh cap jempol menyatakan setuju menerima uang ganti rugi dan siap pergi bertransmigrasi. Kalau tidak, mereka dibentak-bentak, bahkan dipukuli.

Juga Samadi. Ia mencoba menolak untuk menerima uang ganti rugi, tapi pada suatu hari ia digiring ke kantor Koramil. Di hadapan camat, muka orang tua itu digampar. Laki-laki berumur 60 tahun itu menyerah. Ia membubuhkan cap jempol persetujuan, dan melepas pekarangannya yang seluas 2.700 meter persegi untuk ditukar uang Rp 1,5 juta.

Ia memang masih menyimpan sepetak sawah dan sebuah gubuk yang tak diungkapkannya kepada orang-orang kelurahan. Di sanalah ia bertahan. Dan di sanalah dipasangnya sehelai Merah Putih di tiang setinggi 10 meter. Tiap pagi ia memandang ke bendera itu. Dengan cara itu, katanya, "Saya masih bisa merasa mempunyai negeri."

Hari ini saya teringat bendera dan kalimat sedih petani miskin itu: "supados taksih ngrumaosi nggadhahi nagari". Ada tiga patah katanya yang penting: ngrumaosi (merasa), nggadhahi (mempunyai), nagari (negeri). Dengan kata lain, sebuah "negeri" tak pernah benar-benar hadir di depan kitaia hanya dilambangkan dengan sehelai benderanamun kita merasa perlu mempunyainya.

Untuk apa sebenarnya? Seandainya ia berada bersama mereka yang sekarang menentang "globalisasi", Samadi akan mengatakan, "Tidak, kita ternyata tak bisa hidup di dunia tanpa tapal batas." Pada setiap orang selalu ada kebutuhan untuk tergabung dalam sebuah komunitas, dan sebuah "imagined community" seperti dalam uraian termasyhur Bennedict O'Anderson tentang "nasion" bisa sangat berarti bagi hidup seseorang.

Saya teringat Samadi. Tiap pagi ia memandang ke arah Sang Merah Putih, dengan rasa sayu. Tapi saya tak bisa menduga, adakah ia seorang "nasionalis". Ia berbicara tentang "negeri", tapi pada saat yang sama ia menampik "Negara". Nasionalisme, setidaknya dalam sejarah Indonesia dan di seantero geografi Asia dan Afrika ketika melawan kolonialisme dan menang, berangkat dari ide kedaulatan. Kedaulatan ini ditegakkan di sebuah wilayah, dengan sejumlah warga dan sebuah kekuasaan yang disebut "Negara", untuk menjaga dan mengelola semua itu.

Maka kaum nasionalis tak selamanya ingin membedakan, apalagi memisahkan, "Negara" dari "negeri". Mereka cenderung mempercayai bahwa ada hubungan alamiah antara Negara ("kekuasaan") yang berdaulat di satu wilayah dan penghuni wilayah itu. Tapi Samadi membuktikan tidak.

Mungkin ia memang bukan seorang nasionalis, mungkin ia seorang patriot. George Orwell menggambarkan "patriotisme" sebagai pengabdian kepada satu tempat tertentu dan satu cara hidup tertentu yang dianggap yang terbaik di dunia, tapi hal-hal yang tak hendak dipaksakan kepada orang lain. "Patriotisme pada dasarnya defensif," kata Orwell. Sebaliknya nasionalisme "tak terpisahkan dari hasrat akan kekuasaan".

Saya kira Samadi ingat akan Kumbakarna. Kesatria bertubuh raksasa dan bertampang seram itu mempertahankan negerinya dari serbuan pasukan Rama, meskipun ia menampik Rahwana, yang melambangkan kekuasaan dan kedaulatan Alengka, tanah airnya sendiri. Kumbakarna tahu ia akan kalahkonon ia mengenakan pakaian putih sebelum berangkat perangdan ia memang gugur. Tapi ia telah menunjukkan, seperti Samadi yang terpojok tapi mengibarkan bendera, bahwa kaum nasionalis bisa keliru. "Negeri", berarti wilayah dan penghuninya, dan "Negara" bisa berselisih tajam.

Itulah yang dicemaskan Bung Hatta pada tahun 1945. Ia menyarankan agar hak-hak warga negara dicantumkan dalam konstitusi. Sebab, seperti yang terjadi di Jerman di bawah "Nasionalisme-Sosialisme", Negara dapat mengekang warga, atas nama sebuah totalitas, atas nama persatuan dan kesatuan, dan bisa membentak, "Kalian ambalela!" seperti hardik Presiden Soeharto ke arah para petani yang bertahan di Kedung Ombo

Ketika sejumlah orang membela Samadi dan kawan-kawannya dengan mengerahkan bantuan organisasi-organisasi di luar negeri, untuk membuat Bank Dunia menyimak protes di dusun-dusun Kemusu itu, seorang menteri juga menghardik, "Tuan-tuan bukan nasionalis!"

Antara ambalela ,"memberontak", dan "bukan nasionalis" ada kaitan yang langsung: sebuah penolakan mutlak. Yang beda berarti "asing" atau "ganjil", sesuatu yang layak ditenggelamkan, seperti dusun Samadi di Nglanji itu, untuk menciptakan sesuatu yang kukuh, padu.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

4 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

5 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

13 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

55 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

59 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya