The Clowns

Penulis

Senin, 12 Januari 2004 00:00 WIB

Hari itu, di Jakarta, saya melihat sebuah pemandangan yang tak pernah ada di bagian mana pun di dunia: di sebuah kantor yang tak begitu luas, sederet orang tampak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak henti-henti.

Saya mendatangi mereka dan bertanya: "Ada apa, ya, bapak-bapak dan ibu-ibu?" Mereka menjawab, serentak: "Kami semua ingin jadi calon anggota DPR."

Dan kembali mereka berdesak-desak, seperti orang yang ramai berebut tiket dan tempat untuk pulang mudik di hari Lebaran di Stasiun Gambir.

D-P-R. Apa gerangan arti singkatan itu bagi mereka? "Dewan Perwakilan Rakyat"? Sebuah jawatan dengan sekian ratus lowongan mendadak? Sebuah tempat undian berhadiah? Sebuah lembaga pemberi dana? Orang-orang di ruangan itu tak pernah bertanya. Atau saya keliru. Sebab mereka sebenarnya pernah bertanya, meskipun dalam bentuk sepotong kalimat yang itu-itu juga: "Adakah nama saya di dalam Daftar itu, Pak?"

Dan mereka terus berdesak, mereka terus cemas. Mereka berkeringat, mata mereka merah kurang tidur, tenggorokan mereka serak.

Sementara itu, nun di sebuah gedung yang jauh, di ruang tertutup, para pembuat Daftar, para pengurus partai duduk dengan sejumlah gelas kopi dan sejumlah batang rokok yang mengedarkan asap. Mereka tak akan keluar dari sana walaupun sejurus untuk menjawab pertanyaan orang yang berdesak-desak itu. Diam adalah emas, kata pepatah yang mereka pasang di pintu. Keputusan kami harus ditaati. Disiplin itu indah.

Tapi ada juga yang menduga dan mengatakan bahwa mereka sebenarnya tak tahu harus menjawab apa. Pendeknya: mereka telah membuat Daftar itu, artinya sederet nama-nama, dengan atau tanpa kriterium, dan menyuruh para sekretaris mengetiknya siang-malam, dan menamakan nama-nama itu "calon legislator". Lalu diumumkan.

Tentu tak pernah jelas apakah yang mereka susun itu: sejumlah orang yang kelak akan bekerja membuat undang-undang yang sesuai dengan cita-cita partai? Sejumlah orang yang secara teratur dan rajin datang ke rakyat pemilih dan mendengarkan apa yang diinginkan dan diamanatkan? Atau sejumlah konco? Atau sehimpun penyokong? Beberapa ratus penyetor upeti dan kesetiaan? Yang pasti, daftar itu kelak akan disebut juga daftar "wakil rakyat", tapi bahkan orang-orang itu sendiri tak yakin apakah mereka bisa dipanggil demikian.

Apa kemudian panggilan mereka yang tepat? Mungkin pertanyaan ini tak penting sama sekali. Berangsur-angsur saya sadar: saya sebenarnya sedang melihat sebuah persiapan pertunjukan di sebuah gedung komedi. Tiba-tiba ada sebuah pertanyaan terlintas di pikiran saya: Badut? Mereka badut?

Seorang teman yang kalem menjawab: "Ya, mungkin." Lalu ia menambahkan, dengan nada yang lebih kalem: "Tapi tak ada salahnya. Biarkan datang para pelawak. Keadaan sedang kacau. Send in the clowns...."

Isn't it bliss?
Don't you approve?
One who keeps tearing around,
One who can't move...
Where are the clowns?
Send in the clowns.

Dia pun menggumamkan lagu Stephen Sondheim itupetilan terkenal dari musikal A Little Night Music yang kini dilupakan. Sebuah senandung sayu dari New York tahun 1973, yang menurut hemat saya tak sepenuhnya tepat untuk masuk ke dalam sebuah percakapan tentang politik Indonesia di tahun 2004.

Tapi bukankah memang demikian: setiap kali di sebuah pertunjukan sirkus terjadi kesalahan atau kecelakaan, sang manajer akan memberi perintah, "Send in the clowns!", "Bawa masuk para badut!" Lalu para pelawak akan muncul ke depan panggung, pura-pura berdesak, pura-pura bertengkar, jumpalitan, menari-nari, dan penonton tak akan tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres di panggung itu tadi....

Teman saya punya cerita bahwa awal mula kehebohan ini sebenarnya memang sebuah kecelakaan yang benar-benar terjadi di balik panggung: sejumlah pemain sirkus politik yang mencoba meloncat dari trapeze terjungkal. Ajaib: mereka tidak mati. Mereka hanya berubah wujud: menjadi badakseperti dalam lakon Ionesco Les Rhinoceros.

Dalam lakon ini, penduduk sebuah kota kecil semua berubah menjadi badak berculadan hanya Berenger, seorang penduduk kota yang lumrah, tapi menolak konformitas, yang tetap jadi manusia.

Kata teman saya itu, mungkin tak ada seorang Berenger di balik panggung sirkus kita itu, tak ada seorang yang mau melawan konformitas yang telah menyebabkan para tokoh politik menjadi badak. Sebab itu manajer sirkus (siapa dia, tak kita ketahui) semakin panik. Ia sadar sesuatu yang amat mencemaskan tengah berlangsung. Maka ia pun mengatur agar penonton, orang ramai itu, tak tahu. The show must go on. Sebuah ilusi harus dibangun. Dan badut-badut dikerahkan....

Sorry, my dear!
And where are the clowns
Send in the clowns

Don't bother, they're here.

Penonton, orang ramai itu, memang kemudian tak menyadari bahwa sejumlah badak baru, hasil sebuah metamorfosis yang aneh, berbaris di balik pentas. Lalu mereka bertepuk, dan kemudian pulang.

Tapi di ruangan yang saya sebut di atas, pemandangan yang tak ada duanya di dunia itu belum juga hilang: sederet orang tampak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak henti-henti. Mereka semua ingin jadi calon anggota DPR.

Isn't it rich?

Isn't it queer?

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

3 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

3 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

12 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Vonis 7 Anggota Nonaktif PPLN Kuala Lumpur Lebih Rendah daripada Tuntutan Jaksa, Ini Hal-hal yang Meringankan

43 hari lalu

Vonis 7 Anggota Nonaktif PPLN Kuala Lumpur Lebih Rendah daripada Tuntutan Jaksa, Ini Hal-hal yang Meringankan

Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada seluruh terdakwa PPLN Kuala Lumpur itu masing-masing sebesar Rp 5 juta.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

53 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

58 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

59 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Ricuh di Bawaslu Papua Karena Dugaan Kecurangan Suara, Wakapolres Yalimo Terkena Lemparan Batu

1 Maret 2024

Ricuh di Bawaslu Papua Karena Dugaan Kecurangan Suara, Wakapolres Yalimo Terkena Lemparan Batu

Sekelompok massa menyerang Kantor Bawaslu Papua karena mereka menduga ada kecurangan suara saat rapat pleno di Distrik Abenaho.

Baca Selengkapnya

Tim Advokasi Peduli Pemilu: Pemilu 2024 Jadi Pementasan Nepotisme di Panggung Demokrasi Indonesia

1 Maret 2024

Tim Advokasi Peduli Pemilu: Pemilu 2024 Jadi Pementasan Nepotisme di Panggung Demokrasi Indonesia

Tim Advokasi Peduli Pemilu melakukan uji materi terhadap UU Pemilu agar penguasa tidak lagi sewenang-wenang saat pemilu.

Baca Selengkapnya

Pemilu 2024 Tingkatkan Kecemasan dan Depresi, Begini Rinciannya

28 Februari 2024

Pemilu 2024 Tingkatkan Kecemasan dan Depresi, Begini Rinciannya

Penelitian menemukan Pemilu 2024 berpengaruh terhadap meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi pada masyarakat.

Baca Selengkapnya