Pemerintah tak boleh menyerah untuk membebaskan Satinah, 40 tahun, tenaga kerja Indonesia yang akan dihukum pancung di Arab Saudi. Meski waktu eksekusi tinggal berbilang hari, yaitu 3 April mendatang, pemerintah masih bisa menyelamatkannya. Seluruh ikhtiar hingga detik-detik terakhir mesti dikerahkan untuk mengembalikan TKI asal Ungaran, Jawa Tengah, itu kepada keluarganya.
Sejumlah upaya memang sudah dilakukan pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, telah menelepon dan berkirim surat kepada Raja Arab Saudi ihwal pembunuhan yang dilakukan Satinah terhadap Nura al-Garib, majikannya, pada 2007. Hasilnya, waktu eksekusi diundurkan dari 2011 menjadi 2012, mundur lagi ke 2013, dan terakhir 2014. Langkah ini jelas harus diapresiasi.
Lobi ini juga mengubah vonis yang semula berupa hukuman had gillah atau mati mutlak menjadi hukuman mati qisas dengan peluang pemaafan melalui mekanisme pembayaran diyat atau uang darah. Vonis mati mutlak dijatuhkan setelah Satinah dinilai terbukti membunuh Nura dan mencuri uang 38 ribu riyal atau sekitar Rp 103 juta. Tapi Satinah mengatakan terpaksa membunuh lantaran tak terima dituduh mencuri uang, yang tak dilakukannya. Ia juga menyatakan sering dianiaya majikan.
Perubahan vonis itu jelas merupakan sinyal yang baik, apalagi pengadilan Arab Saudi memutuskan bisa mengganti hukuman pancung dengan membayar diyat sebesar 7 juta riyal atau Rp 21 miliar. Diyat harus dibayarkan kepada ahli waris korban. Jika diyat tak dibayarkan, hukuman pancung akan dilaksanakan paling lambat 3 April.
Patut disayangkan, kemudian pemerintah terkesan menyerah setelah gagal melobi keluarga korban untuk menurunkan nilai diyat-nya. Tim pelobi, baik dari perusahaan jasa TKI, relawan, maupun Dubes RI untuk Arab Saudi, menyatakan pemerintah hanya sanggup membayar hingga Rp 12 miliar. Tawar-menawar memang penting dilakukan. Tapi, dibandingkan dengan penyelamatan nyawa Satinah, nilai tersebut jelas tak seberapa.
Pemerintah juga sebenarnya sudah dibantu masyarakat, yang ramai-ramai mengumpulkan koin solidaritas. Lebih dari Rp 6 miliar terkumpul dari prakarsa ini. Pemerintah semestinya dengan mudah menutup sisanya dan bisa segera membebaskan ibu yang begitu dirindukan anaknya itu. Prakarsa ini menunjukkan bahwa masih ada harapan untuk TKI yang mencari keadilan.
Memang, dalam banyak hal, pemerintah kerap dikritik tak cukup berterima kasih kepada sekitar 6 juta TKI yang telah menyumbang devisa dengan nilai besar. Pada 2013 saja, uang kiriman atau remitansi TKI mencapai Rp 120 triliun atau sama dengan 6 persen dari dana APBN. Semestinya pemerintah memberi perlindungan yang memadai, termasuk menyediakan anggaran yang cukup untuk melindungi TKI yang telah berjasa kepada negara tersebut.
Jika tanpa perlindungan, lantas apa gunanya pemerintah membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia? Saat ini ada 265 buruh migran Indonesia yang divonis hukuman mati di negara tempat mereka bekerja. Mereka ini jelas membutuhkan penanganan cepat dan pantang menyerah.