Anjloknya kereta api Malabar seharusnya menjadi kecelakaan terakhir yang dialami PT Kereta Api Indonesia. Kereta api rute Bandung-Malang itu terjun ke jurang akibat rel ambrol setelah tanah di bawahnya longsor. Lima orang tewas dan puluhan lainnya terluka akibat kecelakaan pada Jumat lalu itu.
Kecelakaan ini menunjukkan buruknya manajemen pengelolaan jalur rel kereta api dan fasilitas pendukungnya. Hal itu akhirnya berdampak pada pemeriksaan (inspeksi) atas infrastruktur dan kondisi lingkungan di sekitar fasilitas perkeretapian. Padahal PT KAI sebetulnya tahu persis jalur yang rawan. Dari total 386 kilometer jalur rel di Jawa Barat saja, 154 kilometer di antaranya rawan tanah longsor.
Kejadian itu juga bukan yang pertama kali. Pada November 2012, rel sepanjang 500 meter di dekat Stasiun Cilebut juga runtuh. Tanah longsor dalam skala kecil juga sering terjadi di semua jalur kereta di Jawa, terutama pada musim hujan. Beruntung, berbagai kecelakaan itu tak memakan korban.
Tentu saja, kita tak perlu menunggu jatuh korban sebelum memperketat dan mempersering inspeksi atas semua fasilitas kereta api. Selain pelayanan, keamanan selama perjalanan semestinya menjadi standar minimal yang harus dipenuhi pengelola angkutan kereta api.
Sayangnya, selama ini terjadi ketidakjelasan pelaksanaan pengawasan atas rel dan berbagai fasilitas pendukung, seperti sinyal pengatur perjalanan dan pantograf untuk kereta rel listrik. Sinyal sering kali hilang dicuri dan pantograf pun acap rusak. Akibatnya, perjalanan kereta sering terganggu dan penumpang dirugikan.
Ketidakjelasan itu akibat sikap konyol pemerintah yang tak sepenuhnya memenuhi kewajibannya sesuai dengan UU Perkeretapian. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab menyediakan stasiun, jalur perjalanan kereta, persinyalan, dan pengamanan. Tapi, dalam prakteknya, tanggung jawab itu dibebankan kepada PT KAI.
Pengalihan ini merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan pemerintah. Tugas itu tidak bisa dialihkan begitu saja karena akan menambah beban perusahaan kereta api pelat merah itu. Kalau pemerintah melakukannya, sesungguhnya Menteri Perhubungan bisa dituntut karena melanggar undang-undang.
Kemampuan PT KAI juga terbatas. Apalagi pemerintah juga sering menunggak pembayaran beban subsidi atas jasa pelayanan publik (public service obligation) yang dilaksanakan PT KAI. Seperti diketahui, untuk kereta ekonomi, pemerintah menetapkan tarif di bawah biaya produksi. Selisih itulah yang harus diganti pemerintah.
Pada kenyataannya, pemerintah sering menunggak. Jika pun dibayar, jumlah penggantiannya acap di bawah yang diklaim PT KAI. Dampaknya, KAI sering kesulitan membiayai pemeliharaan atau inspeksi atas rel dan fasilitas pendukungnya. Beban bertumpuk ini seharusnya bisa dihindari jika pemerintah konsisten melaksanakan UU Perekeretapian.
Toh, di Kementerian Perhubungan ada Direktorat Jenderal Perkeretapian yang seharusnya mengurus pekerjaan yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Jika semuanya diurus oleh PT KAI, para pejabat dan pegawai direktorat jenderal itu tak ubahnya makan gaji buta.