Pilih

Penulis

Senin, 2 Februari 2004 00:00 WIB

Nyonya A datang ke kampung kami dan berkata, "Pilihlah aku!" Saya kagum. Sebab saya tak termasuk mereka yang berkata, ketus, "Kok, ambisius banget, sih."

Seorang calon anggota parlemen, juga seorang calon presiden, memang tak bisa membisu, bukan? Ia harus menjajakan diri. Ia harus membujuk, bahkan seperti meminta, orang ramai. Ia ingin mereka mendukungnya, bukan? Tak perlu berpura-pura. Bersikap pura-pura menunjukkan seorang pemimpin ingin jadi mempelai yang dilamar. Padahal dialah yang harus jadi pelamar. Dan dengan jerih payah.

Siapa yang tak pernah merasakan jerih payah itu tak akan merasakan bagaimana berartinya suara orang lain. Siapa yang tak merasakan bagaimana pentingnya demos yang bebas menentukan pilihan tak akan pernah menghormati mereka. Dalam demokrasi, kekuasaan adalah sejenis utang. Si pemegang kuasa sadar bahwa kelak ia akan ditagih. Kekuasaan adalah proses dan hasil tawar-menawar.

Nyonya A datang dan bilang, "Pilihlah aku!" Tidak, ia tidak pantas dicemooh. Soalnya bukanlah ia terlalu berambisi atau tidak. Soalnya: apa yang ia tawarkan?

Ia menjawab, "Sebuah Indonesia yang lebih baik." Banyak orang memang tergugah mendengar itu. Sebab pada titik inilah politik dan demokrasi—dan khususnya pemilihan umum—tak lagi hanya bisa diterangkan dengan kiasan dunia perdagangan. Ada yang lebih dari itu. Sebab pemilihan umum, apalagi pada 2004, adalah percobaan bersama untuk merebut kembali apa yang dikatakan oleh Nyonya A, tanpa berpikir panjang, "sebuah Indonesia."

Advertising
Advertising

Bukan karena Republik sedang diancam keretakan teritorial. Lebih serius ketimbang pecahnya wilayah adalah Indonesia yang sedang kehilangan "komunitas".

Sebuah komunitas tumbuh dari ethos bersama yang menggugah hati dan membangun kepercayaan. Tapi dalam hal kepercayaan itulah—"kepercayaan" dalam arti trust—kita kini rusak berantakan. Kini saya cenderung mencurigai orang lain dan orang lain mencurigai saya. Bukan karena semua orang saling memata-matai seperti dalam suasana totaliter. Kita jadi begitu karena kita selalu waswas: benarkah ada seseorang yang tidak mengambil apa yang jadi hak "Indonesia" untuk dirinya sendiri? Dengan kata lain: mencuri?

Pada tahun 1967, sepatah istilah diperkenalkan oleh Nono Anwar Makarim di Harian Kami: "kleptokrasi"—sebuah pemerintahan yang akhirnya tersusun dari sosok dan sistem para maling. Ia berbicara tentang Indonesia, tentu. Sejak lahir sampai dengan mati, kita memang kepergok dengan orang-orang yang pernah curang dan mungkin akan selalu curang: orang di kantor kelurahan, orang di kantor polisi, orang di kantor penghulu, petugas administrasi sekolah, bahkan juga guru, pengacara, dan pasukan pemadam kebakaran. Dan kita tahu: pada saat pasukan branwir kota praja hanya mau memadamkan api bila dibayar tersendiri oleh seorang warga yang rumahnya jadi korban, pada saat itu "komunitas" kita raib, "Indonesia" kita tenggelam.

Kini Nyonya A datang, dan kita akan berseru, seperti sajak Taufiq Ismail itu berseru, "Kembalikan Indonesia kepadaku!" Bisakah ia melakukannya? Ia mengangguk, "Sulit, Bung, tapi insya Allah."

Saya kira ia jujur. Sebab kini Indonesia juga mengalami fragmentasi lain. Masyarakat jadi modern, dan masalah yang berbeda-beda muncul ke permukaan sekaligus—terkadang secara tak disangka-sangka, seperti ketika penyakit ayam jadi wabah flu burung dan Amrozi jadi teroris. Setiap segmen dalam masyarakat seakan-akan meminta perhatian untuk diperbaiki, dan kita—termasuk Nyonya A—akan dirundung pertanyaan: dari mana harus dimulai?

Ia menawarkan diri akan membawa "sebuah Indonesia yang lebih baik" bila ia dipilih. Tapi juga kata "yang lebih baik" masih butuh pertimbangan lebih jauh, apa ukurannya, bagaimana mengukurnya. "Baik" dan "lebih baik" mungkin memerlukan sebuah teori.

Namun kita tahu pada masa ini sebuah teori sering terdengar seperti sebuah omong besar yang melalaikan kenyataan bahwa selalu ada hal kecil yang tak tercakup. Pada masa ini kita tak bisa sepenuhnya berharap ada hal yang universal yang akan disetujui semua orang, sebagai dasar dan tujuan bersama yang menyebabkan teori itu sah. Sebab itu ada yang menganjurkan: mari kita hidup dengan ironi. Kita tak terlalu ngotot dengan satu premis. Selalu harus ada jarak dengan kesimpulan dan dugaan kita sendiri. Kita hanya perlu berpegang prinsip, "Jangan kejam kepada yang lain," seperti resep Richard Rorty. Kita tak perlu pongah bahwa kita tahu sebelum bekerja. Praxis harus dibebaskan, dan hasilnya bahkan kalau bisa harus segera bisa dinikmati.

Tapi itukah yang ingin kita dengar dari Nyonya A? Ada yang menganggap bahwa selama "sebuah Indonesia" belum lagi "sebuah Indonesia", kita tak berhak bermain-main dengan ironi. Kita perlu sebuah agenda yang kukuh dan tak mudah lekang di dalam fragmentasi dan ketidakpastian sekarang. Kita perlu punya satu jawaban yang padu untuk segala macam pertanyaan, termasuk yang kelak datangnya tak terduga. Singkatnya, kita perlu Tuhan. Sebab hanya Tuhan yang akan memberikan jawaban semacam itu.

Tapi bisakah Nyonya A mampu mewakili Tuhan dan jawabannya? Ia datang dan mengatakan, "Pilihlah aku!" Artinya, saya kira, ia tak menganggap kemampuan dirinya untuk memimpin sebuah bangsa ditopang oleh sebuah jawaban agung. Ia sadar ia akan naik bila didukung oleh orang ramai—yang tak semuanya dahsyat, sebab pasti ada juga yang pelupa, tak terlalu tinggi IQ-nya, tapi ramah meskipun terkadang dengki dan lalai bersembahyang.

Dan ketika ia bilang, "Pilihlah aku!" ia tahu ia tak akan ada di sana buat selama-lamanya. Itu sebabnya pemilihan umum memang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga kerendahan hati: "sebuah Indonesia yang lebih baik" selamanya akan jadi sebuah janji—tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Masyarakat Gelar Nobar Timnas U-23 Vs Uzbekistan, MNC Group: Silakan Asal Tidak Komersial

3 menit lalu

Masyarakat Gelar Nobar Timnas U-23 Vs Uzbekistan, MNC Group: Silakan Asal Tidak Komersial

Sejumlah komunitas warga dan pemerintahan daerah akan menggelar nobar atau nonton bareng pertandingan semifinal Piala AFC Timnas U-23 Vs Uzbekistan.

Baca Selengkapnya

Park Sung Hoon Sukses Bikin Penonton Queen of Tears Kesal Sampai Dipukul Ibu-ibu

3 menit lalu

Park Sung Hoon Sukses Bikin Penonton Queen of Tears Kesal Sampai Dipukul Ibu-ibu

Park Sung Hoon mengaku sempat dipukul oleh ibu-ibu yang terbawa suasana karena kesal dengan karakter Yoon Eun Sung di Queen of Tears.

Baca Selengkapnya

Serba-serbi Kesehatan Lutut: Lutut Sering Mati Rasa? Ketahui Penyebabnya

9 menit lalu

Serba-serbi Kesehatan Lutut: Lutut Sering Mati Rasa? Ketahui Penyebabnya

Penyebab dari mati rasa pada lutut bisa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seperti cedera akut hingga kondisi kronis.

Baca Selengkapnya

Profil Kiper Timnas Uzbekistan Abduvokhid Nematov, yang Berpeluang Dimainkan Lawan Timnas U-23 Indonesia

9 menit lalu

Profil Kiper Timnas Uzbekistan Abduvokhid Nematov, yang Berpeluang Dimainkan Lawan Timnas U-23 Indonesia

Abduvokhid Nematov adalah kiper utama Timnas Uzbekistan U-23 yang sering diturunkan Timur Kapadze selama Piala Asia U-23 2024.

Baca Selengkapnya

Ini Kompensasi yang Seharusnya Diterima Penumpang jika Terjadi Keterlambatan Kereta Api

12 menit lalu

Ini Kompensasi yang Seharusnya Diterima Penumpang jika Terjadi Keterlambatan Kereta Api

Aturan kompensasi diatur dalam Permenhub Nomor PM 63 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang dengan Kereta Api.

Baca Selengkapnya

Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U-23: Bung Kus Ungkap Pekerjaan Rumah Garuda Muda

12 menit lalu

Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U-23: Bung Kus Ungkap Pekerjaan Rumah Garuda Muda

Mohammad Kusnaeni memberikan analisisnya soal pekerjaan rumah Timnas U-23 Indonesia saat menghadapi Uzbekistan di semifinal Piala Asia U-23.

Baca Selengkapnya

Pemburu Liar Tembak Mati 6 Badak Jawa, Terancam Hukuman Penjara 5 Tahun dan Denda Rp 100 Juta

14 menit lalu

Pemburu Liar Tembak Mati 6 Badak Jawa, Terancam Hukuman Penjara 5 Tahun dan Denda Rp 100 Juta

Direskrimum Polda Banten mengungkap tindak pidana perburuan badak bercula satu atau badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Apa ancaman hukumannya?

Baca Selengkapnya

Pembatasan Kendaraan di UU DKJ, DPRD DKI: Sesuatu yang Harus Dikaji Lagi

15 menit lalu

Pembatasan Kendaraan di UU DKJ, DPRD DKI: Sesuatu yang Harus Dikaji Lagi

Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta mendesak untuk melakukan kajian yang matang sebelum menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi sesuai UU DKJ.

Baca Selengkapnya

Respons Penolakan Partai Gelora, Mardani Ali Sera Ingin PKS Tetap Jadi Oposisi

16 menit lalu

Respons Penolakan Partai Gelora, Mardani Ali Sera Ingin PKS Tetap Jadi Oposisi

Mardani Ali Sera menyarankan PKS berada di luar pemerintahan Prabowo-Gibran.

Baca Selengkapnya

Aksi Pemadaman Lampu Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

18 menit lalu

Aksi Pemadaman Lampu Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, melalui Dinas Lingkungan Hidup, kembali menggelar aksi hemat energi dan pengurangan emisi karbon dengan memadamkan lampu di sejumlah titik dan gedung di wilayah Jakarta.

Baca Selengkapnya