Kota Tuhan

Penulis

Minggu, 29 Juni 2003 00:00 WIB

Jika kita hidup di lorong-lorong miskin yang berlumur narkotik dan bergelimang darah, jika kita tinggal di bawah permukaan kota besar tempat gerombolan menembak manusia seperti menembak ayam, jika kita hidup di favela Rio de Janeiro, di mana 20 persen penduduk tinggal dalam keadaan jorok dan jelata, dengan kata lain, jika kita bagian dari Cidade de Deus seperti yang dipaparkan film sutradara Fernando Meirelles, bisakah kita melepaskan diri dari kedurjanaan?

Pertanyaan itu sama artinya dengan bisakah kita berharap. Di "Dunia Ketiga", di Rio ataupun Jakarta, yang dikepung kemiskinan, kejahatan, dan korupsi, harapan adalah problem pokok yang tak diakui. Seakan-akan dia sudah ada. Seakan-akan Yang Durjana, Evil yang menyengsarakan itu, adalah sesuatu yang jauh, yang mustahil bisa jadi bagian dari hidup sehari-hari.

Tapi abad ke-20 yang baru lewat menunjukkan, ada orang yang makan, minum, bersetubuh, berak, kencing, tidur, dan bekerja seperti orang kebanyakan, berkeluarga seperti orang kebanyakan, tapi pada saat yang sama sanggup mengerjakan tugas membunuh manusia dengan cara bengis dan dalam skala besar. Adolf Eichman adalah contoh yang terkenaldan kita ingat, birokrat yang setia di bawah pemerintahan Hitler inilah yang menggiring dengan rutin orang Yahudi untuk dibantai, yang jadi contoh Hannah Arndt ketika ia berbicara tentang the banality of evil, "banalnya kedurjanaan".

Kedurjanaan macam itu tentu saja tak hanya berkenaan dengan Jerman dan Holocaust. Apalagi di abad ke-21. Saya anggap yang tergambar dalam karya Meirelles, Cidade de Deus, menunjukkan bahwa kedurjanaan bisa jadi bagian hidup sehari-hari bukan karena manusia jadi sekrup sebuah Negara yang bengis. Kedurjanaan juga bisa jadi begitu di wilayah yang justru ditinggalkan Negara, di tengah kemelaratan dan anarki yang berlapis dan berliku bagaikan labirin. Di sana, orang seakan-akan telah menyerah, tak akan bisa keluar dari jebakan ruang pengap itu.

Tentang itulah agaknya Cidade de Deus, "Kota Tuhan" dalam karya Meirelles itu, menjawab De civitate Dei, "Kota Tuhan" dalam karya Santo Agustinus.

Advertising
Advertising

"Kota Tuhan" Agustinus di abad ke-4 adalah sebuah alternatif bagi Roma yang roboh karena keruntuhan akhlak. "Kota" itutentu saja sebuah kiasantak bersendi pada kekuasaan, melainkan pada sukma manusia yang dengan saleh menanti datangnya kembali Al Masih.

De civitate Dei adalah sebuah suara optimisme. Dalam gambaran Agustinus, Tuhan bukanlah dewa-dewa Romawi pra-Kristen yang melembagakan pertunjukan darah di arena seraya membuat manusia takut dan menjadikannya buas. Tuhan-nya Agustinus memberi manusia kemampuan untuk merenungi dan menikmati hadirat-Nya, dan memberinya kemauan bebas. Tuhan itu tak akan mencopot kemauan bebas makhluk ini meskipun bila ia berbuat dosa. Karena kebesaran sikap itu, menurut Agustinus, Tuhan akan lebih "memunculkan kebaikan dari dalam kedurjanaan" ketimbang mencegah kedurjanaan terjadi.

Tapi, mungkinkah ada harapan seperti itu di tengah wilayah miskin kota besar di abad ke-21?

Di "Kota Tuhan" Meirelles, kita ketemu Li'l Dice. Sejak kecil sampai dengan ketika ia dewasa dengan nama Li'l Zebos lorong-lorong hitam Rio de Janeiroia menyelesaikan hampir semua soal dengan pembunuhan. Ia bisa dengan tenang mengajar seorang anak umur 10 tahun untuk menembak mati seorang sebayanya yang tak berdaya.

Saya kira bahkan Santo Agustinus akan bertanya bagaimana mungkin Tuhan menciptakan Li'l Dice. Manusia ini tampak tak tahu bagaimana ia akan keluar dari labirin orang miskin kota itu, yang telah berjalin dengan narkotik, kekerasan, tapi memberinya kekuasaan dan kebebasan. Sejak ia masih disebut Li'l Dice, Ze memang hanya mengenal itu, bersama ratusan anak yang telah meninggalkan orang tua, ditinggalkan orang tua.

Rumah-rumah melarat mencekik mereka, dan liku-liku kota besar mengajari mereka untuk tidak tercekik dengan cara yang paling brutal. Favela Rio de Janeiro dalam Cidade de Deus adalah sebuah kombinasi rumah piatu dengan rumah jagal. Di sana, hari-hari bermain bertaut dengan saat-saat membantai, malam-malam narkoba bergabung dengan jam-jam berteman. Film Meirelles dibuka dengan adegan Li'l Ze dan serombongan bocah bersenjata mengejar seekor ayam yang lepas menjelang disembelih, melintasi liku-liku kampung yang sempit. Mereka berteriak, tertawa, menembak, tak takut kalau ada peluru yang mengenai orang yang lewat.

Dari mereka, "kebaikan" agaknya tak akan bisa muncul dari kedurjanaan, dan harapan patut ditertawakan. Ned, seorang pemuda tampan yang lurus hati, yang karena dendam bergabung dengan salah satu kelompok hitam di favela durjana itu, bertekad tak akan membunuh orang yang tak bersalah. Tapi pada akhirnya ia berbuat sama dengan bajingan lain.

Agustinus, apa yang akan Tuan katakan tentang "Kota Tuhan" ini? Tentu Tuan, seorang santo dari abad ke-4, tak akan menjawab. Tapi mungkin ada jawab yang terlupakan. Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidupyang sebentar, tapi menggugah, mungkin indah. Sebagaimana kedurjanaan bisa jadi banal, siapa tahu mukjizat juga bisa terjadi sebagai saat yang tak mengejutkan, dan kita sering melupakannya.

Adegan ini misalnya: dalam keadaan luka sehabis tembak-menembak, Ned mencoba menghibur seorang anak yang tergeletak hampir mati kena peluru. Anak itu kemudian yang ternyata membunuhnya. Tapi detik-detik ketika Ned berbicara hangat kepadanya mungkin adalah saat isyarat Tuhan: bahwa Ia tak meninggalkan "Kota"-Nyaatau kota mana pundan membuat hidup sepenuhnya keji dan nyeri.

Dengan atau tanpa Agustinus, bersyukur itu indah.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

6 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

6 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

15 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

57 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya