Titanic

Penulis

Senin, 7 Juli 2003 00:00 WIB

Ketika di bulan April 1912 kapal Titanic pelan-pelan tenggelam di laut dingin di tengah malam, para penumpang kelas satu berusaha berebut tempat di sekoci penyelamat. Sejumlah kelasi mencegah mereka dengan menodongkan senjata, karena menurut aturan anak-anak dan perempuanlah yang harus diberi tempat lebih dulu…. Kurang-lebih itulah yang tampil dalam film James Cameron yang termasyhur itu—sebuah adegan yang mengesankan betapa orang-orang di kelas atas itu adalah mereka yang tak punya rasa belas dan tak bisa mengalah. Tapi sedikitnya separuh dari Titanic adalah sebuah fiksi. Ada yang mengatakan bahwa kejadian yang sebenarnya dalam bencana Titanic justru sebuah kisah kepahlawanan orang di kelas atas. Dalam daftar malapetaka Titanic ada John Jacob Astor, Benjamin Guggenheim, dan Isidor Straus, orang-orang kaya Amerika terkemuka, sementara yang selamat adalah mereka yang tak berdaya. Fareed Zakaria, dalam The Future of Freedom, mengutip statistik dari bencana hari itu: di antara penumpang kelas satu, semua anak kecil selamat, dan hanya lima perempuan yang mati—tiga di antaranya bersedia tenggelam bersama suami mereka. Benjamin Guggenheim, misalnya, menolak ikut masuk ke dalam sekoci. Ia memberi tempat kepada seorang perempuan yang kemudian memang selamat. Pesannya yang terakhir: "Katakan kepada istri saya…. Tak ada seorang perempuan pun tertinggal di kapal ini hanya gara-gara Ben Guggenheim seorang pengecut." Dengan itu, tema pun berubah. Yang tampak ialah bahwa selapis elite bukanlah dengan sendirinya sekelompok orang yang hanya mujur dan mendapat. Pengertian noblesse oblige tak datang dari angan-angan, bahwa siapa saja yang memiliki privilese dan berkuasa justru wajib untuk siap memberikan diri bagi kepentingan umum dan terutama untuk nasib mereka yang lemah. Fareed Zakaria hendak mengemukakan, sebagai bagian dari argumennya, bahwa dewasa ini sikap itu tengah tenggelam. Demokratisasi merambah ke mana-mana tapi justru tak mendatangkan kebebasan. Demokratisasi perlu. Tapi, dalam pandangan Zakaria, arus ini berbahaya bila tak tersedia satu lapisan masyarakat yang memimpin, yang senantiasa menghargai hak-hak perorangan untuk berpikir merdeka, bersuara merdeka, dan memiliki hukum yang dijalankan secara benar. Contoh buruk adalah Gujarat. Di negara bagian India itu, demokrasi berjalan, para pemimpin dipilih oleh rakyat banyak. Tapi demokrasi ini menghalalkan penindasan dan pembunuhan minoritas muslim oleh mayoritas Hindu—sebuah demokrasi yang dalam pengertian Fareed Zakaria disebut "tak-liberal". India, yang dulu dipimpin satu lapisan atas yang melahirkan Nehru, kini sudah digantikan oleh sebuah demokrasi yang memanjakan purbasangka orang jalanan. Dengan kata lain, di Gujarat, seperti halnya dalam demokrasi di tempat lain, tak ada elite seperti di kapal Titanic dalam versi Zakaria. Tak ada orang-orang yang dalam kata-kata Ki Hajar Dewantara bersikap ing ngarsa sung tuladha: jika berada di depan, kita wajib memberi teladan keadilan dan kelapangan hati. Ki Hajar adalah orang yang percaya pada sistem "demokrasi dengan kepemimpinan". Tapi dari mana datangnya kepemimpinan, dan bagaimana noblesse oblige bisa tumbuh? Zakaria memang tak membuktikan bahwa yang terjadi di Titanic mencerminkan sebuah code of honour atau patrap kehormatan kalangan atas. Meskipun demikian, harus diakui bahwa sejarah lapisan atas tak seluruhnya hitam. Pengertian "elite" tak hanya mengenai status, tapi juga serangkai nilai-nilai yang mencerminkan rasa bangga pada keluhuran diri dan rasa percaya akan posisinya dalam sejarah. Ernesto "Che" Guevara termasuk dalam lapisan itu: ia seorang dokter, anak keluarga kaya di Argentina, tapi mengabdikan hidupnya buat kaum yang papa di Amerika Latin. Ki Hajar Dewantara sendiri, yang datang dari Ndalem Pakualaman, Yogya, adalah contoh lain. Bahkan kakaknya bergerak di kalangan buruh. Tapi tentu saja dengan sikap ing ngarsa sung tuladha saja selapis pemimpin tak dengan sendirinya menumbuhkan dan mempertahankan kebebasan manusia. Kaum revolusioner di Rusia dan di Cina adalah sebuah elite yang siap berkorban bagi kepentingan umum, tapi tak akan membiarkan demokrasi tumbuh—satu hal yang kini juga tampak di Singapura, sebuah republik dengan kepemimpinan yang anehnya dikagumi Zakaria. Maka dibutuhkan sejenis elite lain. Tapi bagaimana mereka bisa dipesan, terutama di zaman ketika ideologi elitisme runtuh? Di zaman ini, cerita tentang noblesse oblige umumnya telah digantikan dengan cerita kapitalisme. Langsung atau tidak, kapitalisme mengajarkan bahwa hidup akan jadi lebih baik jika orang mengakui pamrihnya sendiri, dan bersama itu sadar akan perhitungan untung-rugi. Sebab, dengan demikian orang bisa berunding, tak ada yang merasa lebih suci dan tak ada orang yang tergila-gila untuk jadi "luhur" seraya menimbulkan heboh. Uang, kapital, dan pendidikan yang meluas memang telah menyebabkan kasta-kasta lama guncang atau runtuh. Sementara itu, kini belum lahir kasta baru dengan nilai-nilai yang mantap untuk menghindarkan Gujaratisme yang intoleran atau "premanokrasi" yang korup. Saya tak tahu adakah kita di jalan buntu. Tapi Indonesia bukannya tanpa sejarah selapis elite yang mengabdi. Kartini, Agus Salim, Tan Malaka, Bung Hatta, Bung Karno, Syahrir, Mononutu, Leimena, dan lain-lain tercatat telah berbuat yang terbaik untuk publik. Mereka memang dilupakan dalam masa "Orde Baru", ketika kehidupan politik seakan-akan sebuah kapal Titanic dalam versi yang busuk, ketika yang di atas sampai jam terakhir hanya hendak menyelamatkan diri sendiri. Tapi siapa tahu kini ada kesempatan untuk mengingat mereka kembali, untuk benih baru setelah 2004. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Suhu Panas di Thailand, Petani Pakai Boneka Doraemon untuk Berdoa agar Turun Hujan

1 menit lalu

Suhu Panas di Thailand, Petani Pakai Boneka Doraemon untuk Berdoa agar Turun Hujan

Sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Thailand, mengalami panas ekstrem beberapa pekan ini. Suhu 40 derajat Celcius terasa 52 derajat Celcius.

Baca Selengkapnya

Bima NTB Diguncang Gempa Magnitudo 4,9, Dampak Pergerakan Lempeng Indo-Australia

3 menit lalu

Bima NTB Diguncang Gempa Magnitudo 4,9, Dampak Pergerakan Lempeng Indo-Australia

Gempa M4,9 di area Bima, NTB, dipicu aktivitas lempeng Indo-Australia. Tidak ada gempa susulan dan tidak berpotensi tsunami.

Baca Selengkapnya

Bandara di Jepang Ini Tak Pernah Kehilangan Bagasi Penumpang, Apa Rahasianya?

11 menit lalu

Bandara di Jepang Ini Tak Pernah Kehilangan Bagasi Penumpang, Apa Rahasianya?

Bandara Internasional Kansai Jepang pertama kali dibuka pada 1994, dan diperkirakan melayani 28 juta penumpang per tahun.

Baca Selengkapnya

Mengenal Ali Jasim Pemain Timnas Irak U-23 yang Berharap Indonesia Lolos ke Olimpiade

13 menit lalu

Mengenal Ali Jasim Pemain Timnas Irak U-23 yang Berharap Indonesia Lolos ke Olimpiade

Setelah timnas Indonesia U-23 dikalahkan Irak saat perebutan peringkat ketika Piala Asia U-23 2024, Ali Jasim mengungkapkan harapannya

Baca Selengkapnya

Pedagang Siomay Curi 675 Celana Dalam Wanita Demi Kepuasan Seksual

27 menit lalu

Pedagang Siomay Curi 675 Celana Dalam Wanita Demi Kepuasan Seksual

Polisi menangkap seorang pemuda berinisial J, 31 tahun, karena diduga mencuri ratusan celana dalam wanita dari berbagai indekos

Baca Selengkapnya

Prabowo Ingin Bentuk Presidential Club, Demokrat: Gagasan Politik Tingkat Tinggi

27 menit lalu

Prabowo Ingin Bentuk Presidential Club, Demokrat: Gagasan Politik Tingkat Tinggi

Politikus Demokrat anggap gagasan Prabowo Subianto yang ingin membentuk Presidential Club sebagai politik tingkat tinggi.

Baca Selengkapnya

Pembangunan Jalan Tol Semarang - Demak Dikebut, Ada 2 Alasan

30 menit lalu

Pembangunan Jalan Tol Semarang - Demak Dikebut, Ada 2 Alasan

Juru Bicara Kementerian PUPR Endra S Atmawidjaja mengatakan Jalan Tol Semarang-Demak merupakan proyek strategis nasional (PSN) .

Baca Selengkapnya

Ragam Cerita Orang Tua Temani Anak Ikut UTBK di UNJ

31 menit lalu

Ragam Cerita Orang Tua Temani Anak Ikut UTBK di UNJ

Tak sedikit peserta UTBK di UNJ yang ditemani oleh orang tuanya.

Baca Selengkapnya

Pemerintah Merasa Toleransi dan Kebebasan Beragama di Indonesia Berjalan Baik

33 menit lalu

Pemerintah Merasa Toleransi dan Kebebasan Beragama di Indonesia Berjalan Baik

Kemenkumham mengklaim Indonesia telah menerapkan toleransi dan kebebasan beragama dengan baik.

Baca Selengkapnya

Soal Internet di Cina, Kampanye Larangan Tautan Ilegal hingga Mengenai Pendapatan Periklanan

41 menit lalu

Soal Internet di Cina, Kampanye Larangan Tautan Ilegal hingga Mengenai Pendapatan Periklanan

Komisi Urusan Intenet Pusat Cina telah memulai kampanye nasional selama dua bulan untuk melarang tautan ilegal dari sumber eksternal di berbagai media

Baca Selengkapnya