1965

Penulis

Senin, 4 Oktober 2004 00:00 WIB

Tentang pembantaian itu, tentang ribuan orang Indonesia yang dibunuh pada tahun 1965-1966 itu, pernahkah kita bisa bicara dengan pikiran terang? Mungkin belum. Mungkin tak akan.

Tak mudah menentukan di titik mana cerita ini harus dibuka. Ada yang memulainya pada malam antara 30 September dan 1 Oktober itu, ketika sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat ditangkap oleh sepasukan tentara dan kemudian dibunuh di hutan karet agak di luar pusat kota Jakarta. Orang bisa mengatakan dari sinilah kekerasan berjangkit. Partai Komunis Indonesia dianggap sebagai penggerak pembunuhan awal itu. Maka dengan dendam dan ketakutan, seperti digambarkan dalam buku Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), militer dan bukan-militer pun membantai beribu-ribu orang anggota PKI atau yang dianggap anggota PKI. Teror pun berkecamukdan sebuah pemerintahan baru ditegakkan.

Mengapa itu semua bisa terjadi? Pertanyaan ini segera bisa dibantah dengan: mengapa tidak? Kebuasan bukan barang asing dalam sejarah, dan yang pasti bukan dalam sejarah di kepulauan ini. Pada abad ke-17 di Mataram, tercatat Amangkurat I membinasakan 3.000 ulama yang dihimpun di alun-alun dalam waktu setengah jam.

Bukan karena orang Indonesia tak mampu mengendalikan kebengisannya sendiri, seperti ujar para analis murahan yang memakai kata Melayu "amok " sebagai penjelasan. Orang Indonesia juga makhluk yang merayap dalam sejarahdan sejarah itu adalah sebuah perjalanan yang menakutkan. Kekerasan pada tahun 1965-1966 itu tak datang mendadak.

Awalnya dapat ditarik jauh ke masa sebelumnya. Mungkin sejak 1945: Indonesia mencoba berdiri sebagai republik yang merdeka, tapi dunia pascakolonial bukanlah sebuah lingkungan yang ramah. Hanya setahun setelah proklamasi kemerdekaan, datang aksi militer Belanda yang tak ingin kehilangan kekuasaannya di sini. Perang mempertahankan kemerdekaan tak dapat dielakkan. Hampir berbareng dengan itu, berkecamuk gerilya Darul Islam dari hutan-hutan Jawa Barat. Dari luar, Perang Dingin antara "blok kapitalis" dan "blok komunis" menularkan ketegangannya. Bergaung pula suara bersemangat dan teriak kesakitan negeri yang baru merdeka dan mencoba merdeka di tempat lain di Asia dan Afrika.

Advertising
Advertising

Gabungan semua itu menyebabkan sebuah dasawarsa yang tampak "normal", yang berakhir pada tahun 1958, sebenarnya menyimpan sesuatu yang "tak normal". Dalam masa itu Indonesia, dengan sebuah demokrasi parlementer, berniat mengelola konflik dan persaingan lewat partai, lembaga perwakilan rakyat, dan peradilan. Dengan kata lain, sebuah sistem yang ingin teratur tapi tetap terbuka, ketika pers bebas, partai bebas, dan hakim-hakim mandiri.

Tapi tentara tak menyukainya, terutama karena demokrasi ini meletakkan mereka di bawah kekuasaan sipil. Apalagi sistem ini selalu mudah dianggap sebagai kegaduhan yang meretakkan persatuan, sebuah mekanisme yang tak bekerja efektif, sebuah struktur yang "meniru Barat".

Di antara yang menentang demokrasi "Barat" ini adalah Presiden Sukarno. Maka ketika sistem demokrasi parlementer itu tak mampu mengatasi pembangkangan bersenjata sejumlah kolonel (yang dibantu CIA), Indonesia menempuh jalan radikal. Bung Karno membubarkan parlemen yang pada tahun 1955 dipilih rakyat dengan penuh harap. Ia juga mengharamkan partai politik yang dianggap menentangnya: pers diberangus.

Pada tahun 1958 "demokrasi terpimpin" pun berlaku, dengan Sukarno di pucuk. "Ekonomi terpimpin" juga diperkenalkan, perusahaan asing diambil alih dan dikendalikan tentara dan birokrat, yang akhirnya memimpin pelbagai bidang usaha (hingga hari ini). Di mana-mana, suasana "revolusi" dicanangkan untuk mencapai cita-cita dahsyat "sosialisme Indonesia". Dan sebagai lazimnya "revolusi", permusuhan pun dijadikan ajaran: ada "kawan" dan "lawan", ada kaum "progresif revolusioner" dan "kontrarevolusioner". Ketika Perang Dingin kian memanas di Asiaketika AS kian terpojok di Vietnam dan "komunistofobia" menyebar ke mana-manasuasana permusuhan itu menebarkan saling curiga yang menajam di Indonesia.

Sejak itu sebenarnya benih kekerasan tumbuh subur. Pelbagai organisasi dilarang, puluhan koran dibredel, orang-orang dipenjarakan tanpa diadili. Apa saja yang dinilai "kontrarevolusioner" dihajar. Retorika diberi aksen imperatif yang galak dan kekerasan jadi penanda utama ("Ganyang!" adalah kata yang paling bergema). Semua kekuatan politik, apalagi PKI, mengobarkan suasana "revolusioner" itu. Propaganda yang berapi-api bersipongang, dan hampir tiap kelompok politik mengerahkan pemuda berpakaian seragam dengan tampang siap tempur.

Akhirnya, sebuah ledakan. Itulah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Orang terus berdebat, siapa yang menarik picu: CIA? RRC? Yang agaknya belum dilihat adalah bahwa api "revolusioner" itu pada akhirnya dapat dipakai untuk membasmi siapa saja. Para jenderal yang malam itu dibabat semuanya dituduh "kontrarevolusioner". Tapi ketika pada awal Oktober 1965 Mayjen Soeharto membalas, ia juga menyatakan para pembunuh itu "kontrarevolusioner". Dengan atau tanpa CIA dan RRC, "revolusi" Indonesia telah siap memakan anak-anaknya sendiri.

Tak berarti dosa 40 tahun yang lalu itu sebuah kutuk bersama. Ada algojo yang menyembelih, menyiksa, mengurung orang yang tak bersalah selama bertahun-tahun: mereka itu pelaku kejahatan besar. Tapi kejahatan itu jadi seperti perkara ringan, sejak "membabat" adalah aksi yang sah dalam mencapai cita-cita besar, komunis ataupun antikomunis.

Maka ikut bersalah pula mereka yang waktu itu menguasai bahasa dan posisi, bila mereka tak bertanya: tak pernah salahkah cita-cita? Tak adakah batasnya? Bukankah batas itu tersimpul dalam hidup yang berharga sehari-hari?

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

1 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

2 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

11 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

52 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

57 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

57 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya